"Ivy, aku ingin bilang sesuatu padamu."
Gadis yang diajak bicara lalu mengangguk lamat-lamat. "Bilang saja," sahutnya.
Aaron terlihat begitu ragu-ragu untuk mengungkapkan hal yang mengganjal. Ivory menunggu selama beberapa detik, tapi pria itu hanya termangu dan kesulitan berucap. Aaron bahkan terlihat gelisah.
"Aar? Ada ap—"
"Kenapa lama sih, Sayang?"
Joy datang dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Ia cemberut dan terlihat begitu kesal. Kedua tangannya ia silangkan di depan dadanya sementara tatapan tajamnya memandang Ivory dengan pandangan tak suka.
"Aku butuh obatnya sekarang! Kalau tidak diminum sekarang nanti demamku tambah parah, Sayang."
"Honey, biar aku saja ya yang—"
"Suruh dia saja! Aku tak mau ditinggal! Nanti kalau kau pergi dan aku pingsan bagaimana?"
"Joy, tapi ini sudah setengah dua belas malam. Setengah jam lagi pasti ada Sweeping—"
"Apotek 'kan hanya tiga ratus meter dari sini? Tak butuh waktu lama untuk ke sana. Paling-paling sepuluh menit sudah dapat."
"Tapi, Joy—"
"Lagi pula Ivory pasti mau membantuku, 'kan? Iya 'kan, Vy?"
Ivory Kelana mengerjap beberapa kali.
Ia melirik dengan ragu ke arah jam yang kini menunjukkan pukul sebelas lebih tiga puluh lima menit.
"Aku bisa pergi untuk membelikanmu obat," ucap Ivory tersendat. Ia menunduk dan merasakan sesuatu mencekat lehernya. Rasanya sakit.
"Biar ku antar."
"Jangan!" teriak Joy kencang. Ia langsung mencengkeram erat lengan Aaron sambil melemparkan tatapan memelas.
"Tidak perlu, Aar. 'Kan dekat," cegah Ivory. Ia tertawa, meski tawanya terdengar ganjil.
"Tapi di luar salju sudah tebal."
"Aku akan memakai coat dan sepatu boots. Jangan khawatir. Kau perlu obat apa, Joy?"
"Kau tinggal ambil saja. Aku sudah pesan obatnya pada apotekernya. Bisa, 'kan?"
Ivory menggigit lidahnya kuat sebelum mengangguk dan memaksakan sebuah senyuman.
"Kau yakin tak perlu ditemani?"
"Aaron!"
Kaum Sekunder itu mengangguk pelan. "Tak usah, Aar. Aku tak apa."
"Kembali secepatnya. Jangan sampai lebih dari jam dua belas, ya?" pinta Aaron sambil memandangnya cemas.
"Iya," balasnya singkat.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ivory berjalan melewati mereka berdua. Sebelum berbelok, ia memandangi sosok Joy yang tengah memandangnya. Tunangan Aaron itu mengenakan pakaian lingerie hitam dengan lipstick merah terang yang terpoles rapih di bibirnya. Gadis itu melemparkan seringai sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Mana ada orang sakit seperti itu?
***
Apotek yang dimaksud Joy memang hanya berjarak lima menit jika berjalan kaki.
Akan tetapi, yang tak diketahui Ivory adalah ada banyak warga yang mengantri untuk membeli obat pada malam itu. Antrian mengular setidaknya sepanjang tiga meter membuat Ivory berdiri dengan gelisah. Entah mengapa malam ini banyak orang menyerbu apotek yang biasanya tak terlalu ramai ini.
Dengan hati yang gusar, ia menatap jam di dalam apotek yang kini menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh lima menit. Hanya tinggal sembilan orang yang mengantri di depannya. Ia menggosok-gosok telapak tangannya untuk menghalau hawa dingin yang menusuk tulang.
Ivory sedikit berdecak kesal saat antrian di depannya tak kunjung berubah. Satu orang yang berada di balik kasir kini malah berdebat dengan apoteker. Setelah Ivory mendengarkan dengan saksama, rupanya orang tersebut merupakan Kaum Sekunder yang membeli obat di sana. Hal tersebut dibuktikan dengan kartu identitas pria tersebut yang digeledah paksa oleh apoteker. Ivory meringis ngeri saat melihat Kaum Sekunder tersebut diseret keluar sambil dihujani dengan makian oleh satpam.
Sudah bukan rahasia lagi jika Kaum Sekunder tak diperbolehkan menggunakan toko yang sama dengan Kaum Primer, terutama apotek dan pusat kesehatan. Sebagian besar toko akan dibedakan untuk Kaum Primer dan Kaum Sekunder. Hanya beberapa toko yang memperbolehkan kedua kaum untuk membeli belanjaan di toko tersebut dalam satu waktu.
Pengecualian hanya berlaku apabila Kaum Sekunder tersebut mengikuti Copulation, seperti dirinya. Hal tersebut dibuktikan dengan menunjukkan kartu tanda peserta Copulation. Ivory tahu betul jika terdapat Kaum Sekunder yang mencoba menyelinap membeli barang di toko khusus Kaum Primer, maka nasibnya akan sama seperti pria yang diusir tadi.
"Terima kasih."
Setelah menerima obat dari apoteker, Ivory menerima uang kembalian sepuluh Hara. Ia memasukkannya ke dalam kantung saku coat, dan bergegas mencari pintu keluar. Di luar udara dingin berembus kencang. Bahkan coat tebal tak cukup menghangatkannya. Begitu pula dengan sepatu boots yang membalut kedua kakinya.
Omong-omong, sepatu itu milik Si Komandan Guardian.
Dari deretan sepatu yang sudah dibelikan Aaron untuknya, entah mengapa ia malah memilih sepatu Cakara Park. Tangannya secara otomatis terulur dan meraih boots tentara itu sesaat sebelum berangkat tadi. Ia tersenyum simpul membayangkan sikap baik Cakara yang entah kapan lagi bisa ia temui.
Ketika tengah melangkah dengan langkah lebar, ketenangan itu dipecahkan oleh suara riuh yang menerpa gendang telinanya. Terdengar beberapa orang sedang berdebat dan ribut. Bahkan Ivory bisa menangkap suara teriakan dan tangisan secara samar-samar.
Ia melihat salah satu gadis dengan iris berwarna hijau terang yang berlari melewatinya. Dari iris itu, ia tahu bahwa gadis itu adalah Kaum Sekunder. Ivory mencekal tangan gadis itu dan bertanya dengan gugup. "Apa sudah mulai?" tanya Ivory padanya.
Gadis itu menunjukkan jam tangan ke arah Ivory. "Pukul 12 tepat. Banyak Guardian yang turun ke jalanan!"
"Sial!"
Belum sempat Ivory menggerakkan satu inchi pun badannya, dua orang Guardian telah menerjang tubuhnya hingga terjatuh.
"Ada dua Sekunder di sini!" teriak Guardian tersebut.
Ivory dipaksa berdiri dengan cengkeraman di kerah bajunya. "Dimana pasanganmu?" tanyanya membentak.
"A ... Aku ... Arrgh ..."
Sebuah alat panjang seperti penggaris ditempelkan ke lengan kirinya, tempat dimana detector ditanamkan. Hal yang sama juga dilakukan pada gadis Kaum Sekunder yang ia tanyai tadi. Ketika benda itu menempel pada lengannya, rasanya begitu menyengat. Alat itu memancarkan panas yang teramat sangat. Seolah-olah lengannya terbakar. Tindakan itu membuat Ivory menggigit menjerit kesakitan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ivory penuh amarah.
Dua Guardian lain datang sembari membawa senjata laras panjang.
"Dimana pasanganmu!"
"Di … rumah," rintih Ivory.
Guardian itu memberikan informasi melalui mikrofon yang menempel pada kerah seragamnya. "Dia sendiri. Tanpa pasangan. Tertangkap basah melanggar aturan Copulation."
"Aku hanya—Hey, hentikan! Lepaskan tanganku!"
Ivory meronta-ronta saat tubuhnya diseret oleh dua orang Guardian di sisi kiri kanannya. Mereka tak mempedulikan teriakan dan cacian Ivory secuil pun. Tubuhnya diseret di tanah bersalju itu sejauh beberapa meter hingga pada akhirnya dilemparkan begitu saja di kaki truk.
Ia terkantuk sesuatu. Kakinya terasa perih. Ivory meringis menahan sakit sembari matanya membelalak.
"Tuan Wang, ada dua peserta lagi di radius seratus meter, sisi barat daya apotek."
Salah satu peserta Guardian mendekati Ivory yang terpojok kesakitan. Guardian itu menarik sebuah borgol dari pinggangnya dan meraup kedua tangan Ivory. Sontak saja Ivory meronta ketakutan.
"Lepaskan aku!"
"Diam!"
Sebuah pukulan mendarat di pelipis Ivory. Detik itu pula, Si Guardian memborgol kedua tangan Ivory Kelana ke arah belakang. Ivory terhuyung ke belakang dan menabrak sisi belakang truk.
"Mario, bawa mereka. Masukkan dalam sel kelas dua."
"Baik."
Masih menahan perih di kaki dan pelipis, tubuh Ivory diangkat dan kembali dilemparkan ke dalam bak truk. Tak berapa lama kemudian, kendaraan itu melaju entah kemana. Membawa serta Ivory dan setidaknya selusin peserta Guardian lain yang tertangkap basah.