"Sudah merasa lebih baik?"
Gadis yang ditanya mengangguk perlahan.
Nyatanya memang sosok tersebut menunjukkan kemajuan yang berarti dibanding beberapa hari yang lalu. Dibandingkan saat baru tiba, Ava Maria kali ini bisa dibilang lebih bernyawa. Paras cantiknya yang semula tertutupi luka dan lebam di sana-sini mulai sirna.
Aura cerahnya sedikit terpatri berkat perawatan dan obat-obatan yang Nora berikan. Nora bahkan dengan terpaksa memotong rambut panjang gadis itu. Ukuran sebahu menurutnya akan lebih baik. Setidaknya rambut pendek tak akan mengganggu pengobatan dan aktivitasnya yang terbatas.
Nora kembali memandang wajah Ava tanpa berkedip. Ia menelisik wajah kecil sosok pendatang dari utara tersebut dengan ekspresi datar. Kendati ada puluhan pertanyaan yang mengambang di benak, namun ia memilih menahannya dulu. Ia akan menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan segala hal yang membuatnya penasaran sejak keberadaan Ava di wilayah ini terungkap. Terlebih sebelumnya ia telah diwanti-wanti oleh Victor supaya bisa lebih menahan rasa penasarannya.
Nora Sakuta meletakkan kembali gelas yang isinya sudah habis. Ava menghabiskan air putih dalam sekali tenggak setelah tidur panjangnya yang nyaris menyentuh angka dua puluh empat jam. Semua itu tak terlepas dari pengaruh obat bius dan efek pasca operasi.
"Terima kasih, umm—"
"Nora Sakuta. Panggil saja Nora. Aku tak keberatan."
Gadis dengan nama belakang Maria itu mengangguk pelan. Ia membenarkan posisi tidurnya di atas ranjang rumah sakit tempat Nora berjaga kali ini. Ia menggerakkan jemarinya menyentuh kulitnya yang tertutup pakaian rumah sakit. Jemarinya menyentuh wajahnya yang telah bersih tanpa bekas darah. Beberapa saat kemudian, ia menyadari jika rambutnya sudah dipangkas banyak.
"Rambutku—"
"Aku yang memotongnya," jawab Nora langsung. "Prosedur penyembuhan. Lebih baik begitu dari pada membiarkannya memperlambat penyembuhanmu."
"Terima kasih sekali lagi. Kau pasti berpengalaman banyak dalam dunia medis."
Nora tertawa ringan. "Tak banyak dokter di sini," jawabnya singkat.
"Kau merendah," sahut Ava.
"Itu fakta. Tak banyak orang yang mau belajar medis di sini. Kebanyakan dari kami memilih berlatih untuk bertempur. Membosankan."
Ava Maria menegakkan duduknya dengan bersandar pada kepala ranjang rumah sakit. "Kalau begitu ajari aku agar tahu ilmu kesehatan," tukas Ava. "Aku ingin jadi sepertimu."
"Akan ku lakukan setelah kau mendapat izin dari Paman Yoda tersayang," jawab Nora seraya mengedipkan sebelah matanya. Ia berdiri dan mengambil mangkuk bubur dari atas meja. "Habiskan makanan ini dan minum obatmu. Jika kau sudah bisa bangun nanti, bergabung lah dengan rapat besar di Arteri. Paman Yoda akan mengenalkanmu pada warga."
Ava melirik mangkuk bubur yang panasnya masih mengepul. Ia mengangkat sebelah alisnya menatap heran pada Nora. "Kau … tidak ingin kenalan dulu denganku sebelum aku diperkenalkan ke warga? Tidak kah kau penasaran denganku? Atau Paman Yoda sudah menjelaskan segalanya padamu?"
Nora yang tengah menata obat-obatan Ava kemudian menghentikan pergerakan tangannya.
"Untuk ukuran orang baru, kau cukup terdengar percaya diri juga."
Ava memejamkan matanya sejenak. "Percaya diri terkadang menjadi senjata ampuh untuk bertahan hidup," ucapnya dengan suara mengantuk.
"Jelas terlihat begitu. Kalau tidak, kau pasti sudah jadi tulang belulang di Utara," sahut Nora. "Yang kembali ke sini mungkin hanya namamu saja, tanpa raganya."
Ava tertawa dengan suara parau. Ia membuka matanya dan menatap Nora dengan pandangan kagum. "Aku suka caramu bicara, Nora. Kau terdengar seperti orang blak-blakan, namun masih menahan diri untuk tidak terang-terangan terlihat begitu. Ku rasa kita bisa menjadi teman baik."
"Aku lebih ingin tahu apakah kau bisa menjadi sekutu yang dipercaya atau sekadar agen bermuka dua yang patut diwaspadai keberadaannya."
Dengan satu kalimat itu, Nora keluar meninggalkan ruang inap Ava Maria.
***
Ivory merintih kala tubuhnya menabrak dinding ruang tahanan yang dingin.
Salah seorang Guardian mendorong tubuhnya dengan kasar. Tubrukan antara bahunya dengan dinding membuat bagian tubuh tersebut terasa nyeri tak karuan. Ia bahkan terjerembab coatnya sendiri saat mencoba bangun. Sedetik setelahnya, ia mengumpat keras-keras di kegelapan ruangan.
"Ada orang baru."
"Berapa banyak yang tertangkap?"
"Sepertinya hanya satu."
Ivory berdiri mematung. Ternyata bukan hanya dirinya yang dijebloskan ke ruang tahanan berukuran tiga kali empat meter berpenerangan minim itu. Duduk berhimpitan di ujung ruangan, ia melihat setidaknya tiga ah, empat orang memandanginya penasaran. Salah satu dari mereka duduk dengan menenggelamkan kepala di antara kedua kaki yang terlipat.
Semuanya wanita. Termasuk wanita yang duduk diam itu. Ivory mendekati mereka pelan-pelan agar bisa melihat wajahnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Apa yang mereka katakan padamu?"
Satu per satu dari mereka melontarkan pertanyaannya. Ivory membola saat gambaran samar wajah sahabat seperjuangannya dulu terpatri dengan jelas di hadapannya. Dari sekian banyak tempat yang ada di Makara, tak pernah sedikit pun Ivory menyangka akan bertemu dengannya di tempat segelap ini.
"Megan?"
"Ivory?"
Ivory nyaris berteriak sebelum memeluk sahabatnya itu erat-erat. Ia merasa sedikit lega ada satu orang yang ia kenal. Tangannya merasakan lengket cairan di bahu Megan yang mengenakan atasan off-shoulder. Setelah Ivory melepaskan pelukannya, baru ia menyadari jika cairan itu adalah darah.
"Megan, kau berdarah!"
"Bahuku tadi terkena paku, jadinya berdarah," jawab Megan. Ia kemudian menggeleng dua kali. "Bagaimana bisa mereka menangkapmu juga?"
Ivory Kelana mengangguk pelan sebelum meringis lagi. Pelipisnya terasa nyeri. Mungkin efek dari benturan yang ia terima selama perjalanan ke ruang tahanan ini.
"Kau kenapa, Vy?"
"Perih," jawab Ivory singkat.
"Ivory?"
Panggilan dari suara yang familiar itu mengalihkan perhatiannya. Ivory Kelana menunduk dan mendapati sosok yang menyembunyikan wajahnya tadi adalah sosok yang ia kenal juga. Ia nyaris tak mempercayai apa yang ia lihat.
"Kak Camelia?" panggil Ivory lambat-lambat.
Camelia bangkit dari duduknya dengan tertatih. Sembari merambat pada tembok, ia menyeret kakinya yang bengkak sebelah. Ia menahan rasa sakit di sekujur badannya dengan menggigit pipi bagian dalamnya.
Ia menatap Ivory dengan matanya yang membulat. Ia jelas sama terkejutnya dengan Ivory. Sama tak menyangka bahwa mereka akan bertemu dalam kondisi yang tak terduga seperti sekarang.
"Astaga, kau juga kena. Apa yang kau lakukan?"
Ivory tergagap. Bukan karena pertanyaannya, melainkan fakta bahwa orang yang dikenalnya itu wajahnya dipenuhi dengan luka dan darah. Dalam temaramnya ruangan ia melihat jajaran lebam dan bengkak yang menguarkan bau anyir. Jika bukan karena suaranya yang tak asing, mungkin Ivory tak akan tahu jika wanita itu adalah Camelia.
Mengabaikan Megan yang menanyakan identitas Camelia pada Ivory, gadis itu mendekati sosok yang terluka.
"Kak, apa mereka memukulimu?"
Camelia terkekeh pelan. "Ini bukan apa-apa. Apa kau meninggalkan rumah tanpa pasanganmu?"
"Kak, kenapa mereka menyakitimu? Kau harus segera diobati! Lukamu parah sekali. Aku akan memanggil—"
"Tidak usah, Ivory. Serius, aku tak apa-apa," potong Camelia. Ia mencengkeram pundak Ivory dan menggoyangkan tubuh ringkih itu. "Dengarkan aku. Tak lama lagi satu per satu dari kita akan dipanggil menghadap perwakilan Para Petinggi. Kau akan lolos dari hukuman jika memenuhi syarat. Akan tetapi, jika tidak, maka kau akan menghabiskan waktumu hingga permainan ini berakhir di penjara. Kau harus lolos pemeriksaan, Ivory."
Netra Ivory membesar dari sebelumnya. Tiba-tiba saja merasa luar biasa panik. "Pemeriksaan? Syaratnya apa? Apa yang harus kulakukan agar lolos?"
"Kau harus—"
"Camelia Ren!"
Tanpa mereka sadari beberapa Guardian telah membuka pintu ruang tahanan. Masing-masing dari mereka membawa senjata laras panjang di sisi kiri tubuh. Sebelum Camelia dapat memberitahu apa syarat agar lolos dari jeratan hukum, wanita itu telah diseret dengan keji oleh seorang Guardian berbadan tinggi.
"Tolong obati dia. Dia terluka parah!"
Ivory meminta pertolongan pada sosok tersebut sebelum salah satu dari Guardian maju dan menendang tulang keringnya.
"Diam atau ku tembak kau sekarang juga!"
"Ivy!"
Megan bergegas mendekatinya. Ia menatap iba pada sahabatnya yang mengerang kesakitan seraya memegangi kaki kirinya sambil terduduk. Di detik berikutnya, pintu ruang tahanan tertutup dengan suara berdebam keras.
"Kemari, Ivy. Duduk saja. Tak ada gunanya meminta bantuan mereka."
Benar ucapan Megan; tak ada gunanya meminta tolong pada sosok yang tak memiliki hati seperti Guardian. Sudah bukan rahasia lagi jika Guardian selalu memperlakukan Kaum Sekunder bak seonggok kotoran yang menjijikan. Ivory merasa dirinya sungguh bodoh karena menganggap bahwa setidaknya ada satu saja Guardian yang masih memiliki sifat manusiawi.
Seperti halnya Cakara Park.
Akan tetapi, amarah yang semula menguasai relung dadanya perlahan memudar. Pudaran itu kemudian digantikan dengan rasa cemas akibat ucapan Camelia. Walau bagaimana pun, ia merasa takut jika gagal dalam proses pemeriksaan entah apa yang menantinya di ujung sana.
Ancaman akan tinggal di penjara menghantuinya. Ia tak bisa membayangkan harus tinggal di tempat seperti ini. Terlebih kesalahannya hanya lah sederhana. Rasanya sangat tidak adil.
Sekelebat bayangan Aaron tiba-tiba saja melintas di pikirannya.
Jika saja ia tak keluar. Jika saja Joy tidak menyuruhnya untuk membelikan obat. Jika saja ia menerima tawaran Aaron untuk mengantarnya...
'Aar, tolong aku…'