"Peluk, Sayang."
Gelayutan dan nada manja Joy membuat Ivory nyaris meremukkan cangkir yang ia genggam.
Terhitung sejak kepulangan mereka lima jam yang lalu, kesabaran Ivory benar-benar diuji. Semua dimulai dari kemunculan tunangan Aaron di rumah. Gadis itu entah bagaimana caranya bisa masuk dan duduk di ranjang kamar Aaron.
Yang pertama kali memergokinya adalah Ivory, yang kaget dengan teriakan cempreng tunangan Aaron tersebut. Joy dengan tidak santainya memanggil nama tunangannya. Aaron yang mendengar teriakan Joy pun bergegas masuk dan memeriksa keadaan gadisnya yang dikata tengah sakit.
Ivory dapat mengetahuinya dengan jelas jika Joy tidak sakit. Well, tak sepenuhnya salah. Gadis itu hanya pilek dan batuk—yang terdengar palsu. Suhu badannya saja normal dan wajahnya terlihat segar.
Yang membuat Ivory kesal adalah rengekan Joy yang tak pernah berhenti.
Demi apa pun itu, Ivory tahu jika Joy hanya mencari perhatian. Dan sialnya, Aaron Magnifico mencurahkan seluruh perhatiannya pada Si Tunangan. Aaron bahkan total abai pada Ivory. Padahal mereka telah berjanji jika Aaron tak diperkenankan untuk bertemu dengan Joy tanpa seizinnya.
1-0.
Ivory merasa kalah kali ini.
Di sini lah ia, duduk di dapur sembari menyesap cangkir yang telah kosong dengan kuat. Padahal satu tetes pun tak tersisa. Netra Ivory melirik dengan kesal pada love bird yang sedang cuddling di depan televisi. Joy memeluk erat-erat tubuh tegap Aaron sementara wajahnya dibenamkan di dada lelaki itu. Gadis tersebut tak lupa melontarkan ucapan bernada manja dan memanggil nama Aaron setidaknya sepuluh kali setiap menit.
"Peluknya kurang erat!"
Kali ini Ivory menggigit kuat-kuat pinggiran cangkir. Giginya terasa ngilu. Ingin hati melempar benda itu tepat ke kepala medusa yang sekarang sedang berkecup mesra dengan Aaron.
"Tidak tahu diri," desis Ivory. Jika bukan karena kesopanan ia pasti sudah serius melempar Joy dengan cangkirnya. Sekalian dengan rak piringnya bila perlu. "Tak bisa kah kau membedakan mana yang asli dan mana yang hanya berpura-pura?" bisiknya nyaris tanpa suara.
Cukup lima jam saja ia menahan diri mendengarkan celoteh penuh mesra Aaronnya dengan tunangannya.
Tunggu dulu.
Aaronnya?
Nya … Dari mananya?
Ironi.
Ia bahkan tak berhak memanggil Aaron dengan imbuhan kepemilikan.
Ingat, Aaron tak pernah mengikrarkan janji sehidup semati dengannya. Pria itu hanya bertugas membuahi dan merawatnya selama permainan ini berlangsung. Tak kurang dan tak lebih.
'Seharusnya aku yang tahu diri,' pikir Ivory pahit.
Sebelas lebih tiga puluh.
Ia memandang jam dinding yang detiknya terasa tak berdetak. Kenapa rasanya waktu berjalan begitu lambat saat ia tengah kesal? Padahal tadi saat tengah piknik di tepi sungai dengan Aaron ia rasa waktu berjalan cepat.
Ivory duduk dengan kaku sambil memandang jendela. Ia kini memilih mengunyah es krim cokelat sebagai penghilang kesal. Yep, menyantap es krim sementara di luar sana salju turun lebat adalah keputusan konyol yang pernah ia lakukan.
Normalnya, ia akan menggigil tak karuan hanya karena hawa dingin dari kulkas. Akan tetapi, kali ini bahkan bekunya es krim terasa seperti semangkuk penuh sup ayam panas di lidahnya. Es itu tak dingin sama sekali. Ia bahkan menghiraukan tenggorokannya yang terasa tak nyaman. Mungkin tenggorokannya terluka karena terlalu dipaksakan menelan substansi yang tak cocok di musim dingin.
Entah lah.
Apa pun itu, masih terasa lebih baik dibanding harus dekat-dekat dengan love bird yang entah sekarang ini tengah berbuat apa.
"Pembohong. Dia bilang akan menemui Joy jika aku memperbolehkannya. Memangnya tadi aku mengiyakan?" gumamnya pada diri sendiri.
Scoop terakhir ludes sudah dilahapnya. Ia kehabisan es krim. Sudah dua kotak besar ia habiskan tanpa sadar.
"Ivory?"
Gadis itu mengangkat kepalanya saat sosok pasangannya muncul di muka pintu. Aaron Magnifico datang tanpa Joy. Raut wajahnya terlihat sedikit resah. Pria itu bahkan menggigit bibir bawahnya, sesuatu yang jarang dilakukan.
"Iya," jawab Ivory. Ia menunduk dan memandang kotak es krim dan sendok yang berserakan di meja makan. "Aar, aku menghabiskan stok es krimnya—"
"Makan lah sebanyak yang kau mau, Ivy," jawab Aaron langsung. Kemudian ia berdehem dan melanjutkan ucapan tergagapnya. "Umm..."
"Joy akan menginap?" tebak Ivory.
Ia sudah memprediksikan hal ini semenjak Aaron menerima panggilan dari Joy. Meski terasa tak nyaman, namun ia telah menyiapkan perasaannya. Tak mungkin gadis itu mau pulang kala di luar salju tengah turun tanpa ampun.
"Uh ... Iya," jawab Aaron. "Dia bilang ingin tidur bersamaku. Jadi umm, kau err—"
"Aku tahu. Aku akan kembali ke kamarku," sahut Ivory singkat.
Ia berdiri, mengambil kotak es krim kosong dan sendok kotor lalu membuangnya ke tempat sampah. Hatinya terasa panas. Entah mengapa perutnya juga ikut-ikutan panas.
Aaron masih berdiri di ambang pintu. Begitu pula Ivory yang membelakanginya. Keduanya sama-sama terlihat ragu untuk mulai berbicara satu sama lain. Keheningan itu berlangsung selama beberapa saat.
Ivory memperhatikan butiran salju dari balik jendela dapur. Salju di luar sudah cukup tebal. Ketebalannya mungkin bisa menutupi mata kakinya.
Ivory meresapi hawa di ruangan tersebut. Hawa di dalam rumah dan di luar begitu kontras. Di sini, ia merasa sangat panas. Sementara di luar pasti lah begitu dingin tak terkira.
"Aar—"
"Ivy—"
Dua-duanya berbicara bersamaan. Ivory dan Aaron bahkan saling terkejut karena tak mengira akan berucap di saat yang sama. Di detik selanjutnya, Ivory berdehem dan mengedikkan kepalanya.
"Kau dulu, Aar."
"Kau … tak apa?" tanya Aaron pada akhirnya.
'Tidak. Aku tak baik-baik saja.' Ingin rasanya Ivory menjawab dengan jawaban itu.
Ivory menelan ludahnya. "Tentu. Kenapa tidak?" Ia bersusah payah ia menarik kedua sisi pipinya agar membentuk sebuah senyuman.
"Baik ... Syukur lah," ujar Aaron.
Ivory mengangguk dan berjalan ke arah pasangan Copulation-nya. Ketika ia berdiri tepat di hadapan Aaron, ia memperhatikan dengan jelas setiap jengkal wajah pria itu. Aaron terlihat lebih rileks dari sebelumnya. Bahkan dengan samar ia menangkap raut berseri pria tampan itu.
Aaron senang.
'Mungkin ia gembira bisa menghabiskan waktu dengan orang yang disayang,' pikirnya.
Ivory tak bisa memungkiri fakta bahwa Joy adalah sumber kebahagiaan Aaron. Pria itu terlihat khawatir setengah mati saat mendengar jika Joy sakit. Pria itu terlihat lega luar biasa ketika mendapati sakit yang dimaksud Joy tak separah seperti yang diceritakan dalam sambungan telepon. Pria itu juga dengan lembut memberikan afeksi penuh cinta pada tunangannya. Pria itu pula yang akan menatap Joy dengan pandangan teduh yang penuh dengan kasih sayang.
Ivory menyadari bahwa ia menghadapi sesuatu yang sulit untuk ia tembus, yakni kasih sayang murni tanpa ada kebohongan atau kecemburuan atau kegusaran.
Tak seperti dirinya yang menaruh perasaan pada Aaron dengan penuh kegusaran karena ia tahu rasa itu salah. Tak seperti dirinya yang kerap cemburu melihat kebersamaan Joy dan Aaron karena ia tahu mereka telah mengasihi satu sama lain terlebih dahulu. Tak seperti dirinya yang selalu membohongi diri sendiri dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja walau harus menyukai Aaron dalam diam.
Oleh karenanya, ia merasa kalah hari itu.