Pula River?"
"Ya."
"Untuk apa?"
"Piknik sekaligus melempar koin."
"Piknik di musim dingin? Melempar koin di Pula? Kau percaya mitos itu?"
"Kenapa tidak?"
Ivory Kelana memasukkan sekotak potongan buah ke dalam keranjang bekal yang sudah disiapkan Aaron. Ia memandang ke pasangannya yang tengah kesusahan memasukkan lengannya ke dalam long coat hitam yang menyangkut di bagian bahu. Ivory tersenyum simpul dan berjalan ke arah Aaron. Dengan gerak lembut, ia mengangkat lengan mantel itu sehingga Aaron dapat memasukkan tangan kanannya dengan mudah.
"Terima kasih."
"Uh huh," sahutnya. Ia memiringkan kepalanya dan memandang ragu keranjang piknik yang penuh akan makanan yang telah ia dan Aaron siapkan sejak pagi. "Aar, tapi sekarang sedang musim dingin. Kenapa kau mengajakku piknik di pinggiran Pula River?Bukan kah akan sangat dingin?"
Aaron Magnifico menahan senyumannya. Ia telah menduga pertanyaan semacam itu pada akhirnya terlontar dari bibir manis pasangannya sejak gadis itu ia minta untuk bersama-sama menyiapkan bekal makanan. Sesaat setelah Ivory membuka matanya, Aaron langsung menarik gadis itu menuju dapur dan mereka mulai sibuk memasak. Ivory tak banyak bertanya walau ia semula tak tahu untuk apa makanan sebanyak itu mereka buat di pagi buta.
Ternyata Aaron mengajaknya untuk piknik.
Kembali lagi ke ujaran Aaron, piknik di musim dingin dengan suhu di bawah nol derajat? Hanya Aaron Magnifico yang punya ide segila itu.
"Ingat tentang wish list yang akan kau tunjukkan padaku?"
Ivory mengangguk lambat-lambat. Ia mengingat-ingat lagi dimana terakhir kali ia meletakkan notebook yang penuh catatan usangnya. Seingatnya ia tak membawa buku itu ke kediaman Aaron.
"Kau tidak membaca semua wish list-ku, 'kan?" tanya Ivory dengan nada berbisik. Bola matanya membulat saat ia memandang horror pasangan Copulation-nya.
Aaron Magnifico mengangkat bahunya. Ia menggaruk tengkuknya salah tingkah dan memandang ke arah mana saja selain ke violet eyes indah milik Ivory. Ia merasa tak enak hati untuk menjawabnya.
"Well, yeah, tidak seperti itu juga. Aku hanya—"
"Tolong katakan kau tidak membaca wish-list yang ku tulis. Itu tak mungkin. Aku tak membawanya ke mari."
"Uhm … yeah. Kau tahu. Aku tidak membacanya." Aaron menggaruk pucuk hidungnya. "Kau berbicara dalam tidurmu."
Ivory merasa wajahnya terjatuh ke dasar lantai.
Dia? Berbicara? Dalam? Tidurnya?
Sial.
Ivory tahu betul jika dirinya memiliki satu kebiasaan memalukan; ia kerap berbicara dalam tidur. Namun, biasanya ia hanya akan mengatakan satu dua kalimat saja. Ia kira kebiasaan memalukannya ini telah hilang sejak ia pindah ke rumah Aaron, karena ia merasa tidurnya selalu nyenyak-nyenyak saja.
Ternyata ia salah.
"Sial," umpat Ivory pelan. "A … aku … bicara aa … pa saat tidur?"
Aaron tersenyum mengingatnya.
Ia memanggil ulang memori dua hari yang lalu di mana ia mendapati Ivory mengigau dalam tidurnya. Gadis yang selalu tidur di sebelahnya itu mengatakan sesuatu dengan jelas. Ia bahkan kaget karena dirinya mengira jika Ivory terjaga. Nyatanya, netra gadis itu terpejam erat.
"Kau bilang begini 'Dua hal beda dalam satu waktu itu akan seru'. Lalu kau bilang lagi, 'Wish list-ku' selama berulang-ulang. Aku mengasumsikan itu adalah salah satu daftar keinginanmu."
Ivory benar-benar kesulitan untuk menahan rasa malunya.
"Sial sial sial." Ivory mengumpat pelan sambil menutupi wajahnya. Gadis itu dapat merasakan pipinya memanas. Ia mundur beberapa langkah dan menggeleng beberapa kali. "Memalukan sekali. Seharusnya kau tak usah dengar. Aduh."
"Hei, kenapa begitu?"
Aaron menarik tangan Ivory yang semakin mundur darinya. Ia meraih pinggang ramping gadis itu sebelum membawa pasangannya dalam pelukan. Ia bisa merasakan Ivory sedikit menahan dirinya agar tak memeluknya, namun Aaron tetap kekeuh akan tindakannya.
"Maaf jika aku lancang membicarakannya. Tapi kau tak seharusnya malu. Itu bukan sesuatu yang memalukan." Aaron berbisik di telinga Ivory.
"Bagaimana bisa? Itu sangat memalukan! Bicara sendiri saat tidur saja sudah memalukan. Ini malah ditambah bicara yang tidak-tidak. Astaga," desah Ivory kesal.
Aaron merasa Ivory hendak kabur, namun ia semakin mengeratkan dekapannya.
"Ssh, tak perlu malu. Itu sama sekali tidak memalukan. Justru kebiasaan mengigaumu cukup unik menurutku. Lagi pula, aku pasanganmu, Ivory. Aku akan berusaha semampuku untuk mewujudkan keinginanmu."
Butuh beberapa saat sebelum Ivory mengangguk sekali. Aroma maskulin Aaron ditambah dengan parfume kayu manis dan muskdari lelaki itu begitu memabukkannya. Pelukan Aaron cukup ampuh menenangkan rasa malunya yang membara.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Waktu berlalu serasa lebih lambat saat Ivory berada dalam pelukan Aaron.
""Dua hal beda dalam satu waktu itu akan seru.' Dari gumamanmu itu, aku jadi punya ide untuk mencoba piknik saat musim dingin di Pula River. Sungai itu biasanya ramai dikunjungi saat musim panas. Di musim dingin seperti ini, jarang orang datang ke sana. Jadi tempat itu akan sepi. Ku rasa tepat bukan ideku ini?"
Ingatkan Ivory untuk tidak jatuh lebih dalam lagi pada pesona Kaum Primer yang satu ini.
***
"Harus ku akui memang gila."
"Gila kenapa?"
"Kau tahu apa yang ku maksud."
"Apa yang kau maksud?"
"CCTV. Peserta Copulation itu. Gadis dengan nama belakang Kelana jika aku tak salah?"
"Jika hal ini bocor atau kau mengadukannya pada Ayah, aku akan—"
"Tenanglah, Kiddo. Kau pikir aku sepicik itu? Kau tahu kakakmu ini tak akan menyesatkan adiknya."
Dengan kikikan dan tawa centil, Kezia menyesap Cappucino panas dalam cangkirnya. Gadis itu masih terkekeh melihat raut kesal adik laki-lakinya yang tertutupi oleh topi Guardian. Ia mendorong lagi cangkir milik Cakara agar pria itu mau menyesapnya barang satu dua kali.
"Ayo lah jangan terlalu kaku—"
"Bagaimana kau bisa tahu? Seingatku aku telah mengaktifkan mode aman sebelum menyadap CCTV rumah Aaron."
Kezia kembali terbahak mendengar nada panik dari pertanyaan Cakara. Ia berhenti beberapa detik kemudian setelah mendapatkan pelototan tajam dari adiknya. Kezia senang sekali saat menggoda Cakara.
"Tak sengaja. Sungguh. Aku sedang meretas beberapa situs jual beli organ saat tak sengaja melihat hasil kerjamu. Kau tahu aku bisa dengan mudah mendeteksinya dari hologramku, 'kan? Bukan kau saja yang mahir di bidang hacking, Kiddo."
"Kadang-kadang aku lupa jika kakakku sama jeniusnya dengan adiknya."
"Jangan merayu. Rayuanmu tak akan mempan."
"Aku tak merayumu. Aku tahu kau tak akan sejahat itu membongkar ... kau tahu, rahasia itu."
"Ah jadi kau menganggapnya sebagai rahasia?"
"Sshh. Pelankan suaramu!"
Kezia meringis saat adiknya itu mencubit lengan atasnya. Ia melirik Cakara yang memandang sekeliling dengan pandangan waspada kendati hanya ada mereka berdua di dalam ruang kerja Kezia. Dalam hati, Cakara mengumpat banyak-banyak karena merasa ceroboh. Untung saja hanya Kezia yang mengetahui tindakan tidak bijaksananya.
"Aku tak akan bilang!"
"Tapi jangan keras-keras!"
"Dasar menyebalkan," omel Kezia. Ia mencibir dan bangkit dari duduknya seketika. Tak lagi menyesap cairan yang masih mengepul itu. Ia kembali duduk di balik PDS baru miliknya. Kali ini warnyanya merah maroon.
"Mau apa kau?"
"Bekerja lah. Masih banyak hal yang perlu ku beli hari ini."
Cakara memperhatikan layar hologram yang menampilkan tampilan banyak organ dan bagian tubuh manusia.
"Kenapa pula kau beli organ? Bukannya biasanya Terry yang melakukannya?"
"Dokter Gery yang meminta. Terry sedang menyelesaikan tugas lain katanya," ujar Kezia. "Dokter Gery sedang mencari beberapa organ untuk keperluan lab."
"Keperluan lab?"
"Jangan tanyakan padaku. Aku tak tahu detailnya."
"Iya iya. Cerewet."
"Kau yang cerewet."
Cakara bangkit dari duduknya sembari membawa dua buah cangkir dan meletakkannya di dalam bak cuci. Ia membasuh kedua tangannya dengan bersih sembari pikirannya melayang-layang tak tentu arah. Sebagian besar karena rasa khawatirnya akan tindakan hacking yang sudah dilakukannya. Lamunannya membuatnya nyaris tak sadar jika air bekas cucian tangannya telah mengambang karena ia lupa membuka tutup penyedotnya.
"Dia manis juga. Aku mengakuinya. Apa dia sudah hamil?"
Cakara mengangkat kedua bahunya. "Aku belum tahu. First Checking baru akan dilakukan tiga hari lagi."
"Tapi aku masih lebih menyukai mantanmu yang cantik itu. Siapa namanya? Avi?"
Butuh beberapa detik sebelum Cakara menjawabnya dengan suara pelan.
"Ava Maria," ralat Cakara.
"Ah, benar. Itu maksudku," ujarnya. Kezia menghela napas sejenak dan memandang nanar pada Cakara. "Sayang sekali umurnya pendek. Aku tak menyangka ia bisa meninggal semuda itu."
"Penyakit jantung memang mengerikan," jawab Cakara ala kadarnya.
Kezia menghela napasnya. "Yeah, aku tahu. Apa kau datang ke pemakamannya?" tanyanya seraya mengunyah biskuit keju yang tersedia di meja. Tangan terampilnya menggeser-geser layar hologram itu dengan sebuah jari. Memperbesar beberapa sudut dan memicingkan mata saat melihat sesuatu yang ganjil. Lalu mengembalikan gambar ke ukuran semula dan melirik adiknya yang diam termangu di balik bak cuci piring.
"Tidak. Aku sibuk."
"Sibuk memandangi Ivory Kelana?"
"Oh diam lah. Aku benar-benar sibuk!" ujar Cakara kesal. Kesabarannya semakin menipis. "Hubungan kami telah lama berakhir. Jangan sangkut pautkan lagi aku dengan mendiang Ava. Aku tak suka."
"Iya, iya. Galak benar sih," gerutu Kezia. "Kembali ke tempatmu sana. Jangan menggangguku."
Tak tahu saja bahwa lima ratus kilometer dari tempat Cakara dan Kezia berbincang, Ava Maria masih hidup dan baik-baik saja.