Ivory menghela napasnya dengan panjang.
Ia lelah. Ia telah berjalan seharian mengelilingi bangunan itu dari lantai satu hingga lantai tiga puluh tiga. Ia mengikuti pergerakan pasangannya yang berjalan kesana-kemari memperkenalkannya pada kolega-koleganya yang berwajah datar dan dingin.
Ia terpaksa menyambut beberapa tatapan sinis dari gadis-gadis yang diam-diam menggosipinya dari balik lipstick tebal mereka. Ia dipaksa harus mendengar desas-desus aneh tentang ia yang dibilang merebut posisi pasangan sebenarnya Aaron, yaitu Joy. Ia terpaksa meredam semua itu demi membuat pasangannya merasa lega.
Ia beruntung, bersyukur teramat sangat karena pasangannya begitu mengerti dirinya. Tahu jika ia juga butuh diperhatikan, bukan sekadar menjadi budak pemuas nafsu belaka. Bukan hanya menjadi boneka dalam permainan yang mereka inginkan.
Namun, sebegitu ia mencoba menerima itu semua, nyatanya Ivory masih belum bisa terbiasa akan kehidupan yang harus dijalaninya berbulan mendatang. Ia masih saja kikuk dan risih meladeni tatapan orang-orang Kaum Primer yang seolah menelanjanginya. Memandang rendah dirinya dari balik perlindungan Aaron. Mencibirnya dari balik kasak-kusuk di sepanjang sudut.
Dan yang lebih parahnya adalah ia harus terus tersenyum melayani orang-orang itu.
Terlebih lagi, Aaron tak terlalu peka akan keadaan sekitar. Bahkan ketika rekan kerjanya terang-terangan menghina Ivory di depan batang hidungnya, Aaron tak membelanya. ia merasa sedikit terluka karena Aaron hanya tersenyum simpul dan menyuruh Warner untuk tidak membahas tentang rencana pernikahannya dengan Joy untuk saat ini. Ia tidak menyinggung tentang penghinaan yang dilontarkan untuk Ivory.
Ivory kembali berpikir bahwa mungkin saja memang begitu adanya dirinya di mata Aaron. Ia memang hanya lah Kaum Sekunder yang kampungan. Tak pantas bersanding dengan Kaum Primer sepertinya.
Gadis itu menahan kuat-kuat keinginannya untuk menangis dengan menggigit bagian dalam mulutnya hingga berdarah. Ia rasa luka sariawan telah tumbuh akibat ulahnya. Akan tetapi, rasanya itu lebih baik daripada ia harus menunjukkan air mata di hadapan Kaum Primer yang tak henti ia temui.
Ketidakpekaan Aaron akan suasana ternyata benar-benar Ivory rasakan saat pria itu terus mengumbar kemesraan dan skinshippadanya. Padahal ia tak henti mendapatkan tatapan meremehkan dari beberapa kolega Aaron. Ia tak menyangka Aaron ternyata tipikal orang yang sedikit berlebihan saat memperkenalkan pasangannya.
Sungguh, Ivory ingin pulang saat ini juga.
"Ivy, aku harus bertemu dengan klienku sekarang. Kau mau menunggu di sini atau ikut denganku?"
Saat itu juga perut Ivory berbunyi keras. Ia tersenyum canggung dan meremas perut tak berdosa yang meronta minta diisi.Padahal pagi tadi ia sudah sarapan dengan secangkir susu, sebuah apel, dan oatmeal. Namun, menjelang jam sebelas ini rupanya gadis itu sudah kelaparan.
Aaron terkekeh melihatnya tengah meremas perut. "Ternyata kau sudah lapar. Tunggu sebentar biar ku panggilkan seseorang untuk membawakanmu makanan."
"Tidak usah, Aar. Biar aku cari sendiri saja," tolak Ivory. Ia bangun dari duduknya dan meraih tas kecil yang dibawanya kemana-mana. "Dimana kantinnya?"
"Kau yakin bisa pergi sendiri?" tanya Aaron khawatir.
Ivory mengangguk mantap. "Aku tak akan tersesat. Lagi pula sudah waktunya meeting. Jangan sampai terlambat. Kau 'kan pimpinan di sini."
Aaron mengusap puncak kepala Ivory dengan sentuhan hangat. "Kalau begitu, makan dulu saja. Kantinnya ada di setiap lantai. Untuk lantai ini kantinnya ada di sebelah ruang pertemuan ketiga yang pintunya berwarna silver. Kau membawa kartunya, 'kan?"
Gadis dengan surai panjang itu mengangguk lagi. Untuk kali ini sepertinya ia akan menggunakan kartu pemberian Aaron karena ia tak tahu berapa harga makanan yang dijual di tempat seperti ini. "Baik. Aku pergi dulu," pamitnya.
Tanpa menunggu aba-aba lagi Ivory bergegas keluar dan mencari tempat yang dimaksud Aaron itu.
Tempat ini sungguh luar biasa menurutnya, terlepas dari beberapa orang menyebalkan yang ia temui di jalan. Lantai dua puluh lima terasa begitu hangat dan nyaman. Tidak seperti di luar yang dingin dan diselimuti es, tempat ini bagaikan ruang keluarga yang dipenuhi dengan perapian. Sangat hangat, sampai-sampai ia harus melepas coat tebalnya dan menyisakan hoodie hitam bertuliskan kata OFF putih yang juga tak kalah tebal.
Ia kembali memperhatikan lingkungannya. Kasak kusuk kembali terdengar. Ivory memilih untuk mengenakan tudung hoodienya dan berjalan dengan langkah cepat menuju kantin.
Setibanya di sana, ia langsung memesan semangkuk penuh sup jagung dan sushi. Entah mengapa ia merasa begitu lapar. Lebih lapar dari biasanya. Nafsu makannya semakin menjadi-jadi setelah mendengar sindiran-sindiran yang ditujukan kepadanya oleh gadis-gadis tadi.
Setelah membayar pesanannya, gadis itu mencari kursi di ujung yang jendelanya menghadap ke arah luar. Ia duduk membelakangi orang-orang dan mulai memakan makanannya. Sembari memandang pemandangan Makara yang dipenuhi kendaraan, gedung-gedung tinggi, dan beberapa helikopter yang beterbangan di angkasa, Ivory menelan substansi itu dengan lamunannya.
"Hati-hati kalau tak mau tersedak."
Ivory mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita asing telah duduk di hadapannya. Ia mengernyit selama beberapa saat sebelum memekik kaget. Ivory menjatuhkan sendoknya ke atas mangkuk saat menyadari siapa yang telah hadir di saat ia tengah menyantap makanannya.
"Kak Camelia?"
"Kau ingat juga rupanya."
Ivory memekik sekali lagi dan tersenyum lebar. Ia meminum air di gelasnya dengan buru-buru sebelum menyapa lagi sosok wanita yang ditemuinya di bus kala itu dengan nada antusiasnya. Ia terkejut luar biasa mendapati Camelia Ren berada di hadapannya.
"Kak, bagaimana kau bisa ada di sini? Apa pasanganmu juga bekerja di sini?"
Camelia menyesap soda kalengan di tangannya dan tersenyum samar. "Aku tentu harus menemui orang yang membuat heboh sekantor ini hanya karena kedatangannya."
Ivory tertawa kecil, merasa lebih bahagia dari sebelumnya karena pada akhirnya ia bisa bertemu Kaum Sekunder yang ia kenal di wilayah ini.
"Apa aku membuat kehebohan di sini?" tanya Ivory takut-takut.
"Aku mendengar beberapa orang menggosip di toilet lalu penasaran siapa sebenarnya yang menjadi bahan omongan. Ternyata gadis itu adalah kau," terang Camelia.
Gadis yang diajak bicara itu melemparkan senyum simpul sambil mengedikkan bahunya. "Entah apa yang mereka bicarakan tentangku. Aku tak peduli. Yang jelas, senang sekali bisa bertemu lagi denganmu!" ungkapnya.
"Aku juga, dan yeah, kau benar. Pasanganku bekerja di sini."
"Wow!"
"Dan aku juga bekerja di sini."
Ivory menautkan kedua alisnya. "Bekerja? Memang sedari dulu kau bekerja di sini atau setelah bertemu pasanganmu baru kau bekerja di gedung ini?"
"Setelah." Ia menyesap sisa soda itu sebelum merematnya dan melemparnya ke tempat sampah di belakang punggung Ivory. "Aku dipaksa bekerja."
"Dipaksa? Kenapa kau harus dipaksa bekerja? Kalau hamil nanti apa masih perlu kerja, Kak?"
Camelia menampilkan seringainya. "Tak semua orang beruntung mendapatkan pasangan sebaik pasanganmu, Ivory."
Ivory terdiam sejenak.
Ucapan itu membuatnya seperti tertampar. Camelia benar, tak semua orang beruntung sepertinya. Semesta sepertinya tengah bersuka cita kala memberikan nama Aaron sebagai pasangan Copulation-nya.
Seharusnya ia lebih bersyukur.
Mencoba memecahkan kecanggungan, ia lalu bertanya pada Camelia. "Pasanganmu bekerja di bagian apa?" tanyanya pada akhirnya.
"Dia bawahan Tuan Aaron Magnifico. Jabatannya cukup bagus di kantor ini."
"Wow," gumam Ivory. "Kalau kau bekerja di bagian apa, Kak?"
Camelia menarik zipper bomber jacket yang dikenakannya yang menampilkan pakaian khas berwarna biru muda yang terlihat kotor di beberapa bagian. "Cleaning," jawabnya singkat.
Gadis dengan nama belakang Kelana itu sedikit kaget dengan jawaban Camelia. "Cleaning? Maksudmu cleaning service?"
Camelia mengangguk sekali. "Ia orang yang sedikit keras."
Ivory berdehem kecil. "Mungkin ia ingin melatihmu untuk bekerja dari nol, Kak. Maka dari itu, kau harus memulainya dari … bawah."
"Mungkin. Semoga saja begitu."
Ivory merasakan aura lawan bicaranya itu menggelap. Perasaannya tak enak. Rasanya Camelia seperti enggan membicarakan tentang pasangannya. Entah apa yang membuatnya berpikiran seperti itu.
Sebenarnya masih ada satu pertanyaan yang membuatnya penasaran. Ia tak ingin menanyakannya, namun menahannya pun rasanya mustahil. Oleh karena itu, ia memberanikan diri melontarkan pertanyaannya.
"Siapa nama pasanganmu, Kak?"
"Namanya—"
"Menghabiskan waktu dengan mengobrol memang mengasyikkan, bukan begitu, Ren?"
Camelia terlonjak dari duduknya. Ia bergegas berdiri dan membungkuk penuh hormat di hadapan sosok wanita berpakaian rapih dengan rambut hitam ikal yang terlihat menawan. Wanita itu tak tersenyum, melainkan menatap tajam Camelia dengan tatapan yang patut untuk diselidiki.
"Maafkan saya. Saya akan kembali lagi ke belakang."
"Kau pikir berbincang dengan pasangan dari salah satu pimpinan perusahaan ini lebih menarik untukmu?" tanyanya sinis seraya melirik Ivory sekilas. Wanita itu memindai tubuhnya dari atas hingga bawah, sebelum fokus ke wajahnya selama beberapa saat. "Jalang beruntung. Berani menyingkirkan posisi tunangan Tuan Magnifico hanya dengan wajah seperti itu."
Ivory mengeratkan cengkeramannya pada celana yang ia kenakan. Ia menahan emosi agar tidak menyahut ucapan penuh sindiran itu. Padahal, besar keinginan Ivory untuk menerjang wanita kurang ajar itu dan menampar wajahnya.
"Tidak begitu, Nyonya. Saya hanya—"
"Kembali sekarang," ucap wanita itu sebelum berjalan meninggalkan Ivory Kelana dan Camelia Ren.
Gadis yang mengenakan jaket bomber itu bergegas mengembalikan kursi kantin menjadi ke posisi semula. "Aku harus pergi," ucap Camelia gelisah.
"Tunggu, Kak." Ivory menarik tangan kanan Camelia sehingga lengan jaketnya tersingkap. Begitu terkejutnya ia saat mendapati pergelangan tangan gadis itu dipenuhi dengan bekas sayatan panjang yang terlihat masih segar dan sedikit berdarah.
"Kak?"
Camelia menarik tangannya dengan sigap.
"Bye, Ivory. Jaga dirimu."
Detik itu pula Camelia meninggalkan Ivory sendiri dengan penuh pertanyaan akan apa yang menimpa rekan sejawatnya itu.