Di balik paras indah kekasihnya, pria bernama Victor Sakuta tahu jika gadis miliknya itu bukan lah orang yang mudah ditaklukkan.
Semenjak pertama kali mereka bertemu di arena, Victor meyakini jika targetnya itu tak ubahnya adalah jelmaan seekor meerkat yang selalu waspada akan lingkungan sekitar. Ia juga suka bersaing dengan orang lain, terutama yang lebih muda darinya untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi bagi keluarga atau orang yang disayanginya.
Namun, di balik sikapnya yang terkesan antipati, pada dasarnya seekor meerkat memiliki jiwa sosial dan ikatan kekeluargaan yang kuat. Ia selalu melindungi, berbagi, dan menjaga sesamanya dengan sangat baik. Protektif namun berjarak dalam satu waktu. Hal itu lah yang membuatnya semakin jatuh hati pada sosok Nora Sakuta; meerkatnya yang setia.
"Perhatikan makananmu!"
Victor membenarkan posisi nampannya yang oleng dan nyaris menumpahi kemeja putih rekan kerjanya, Bara. Ia menampilkan cengiran tak bersalahnya seperti biasa dan menggeser tubuh kurus Bara yang baru saja mendudukkan diri di sebelah kirinya.
"Ouch!"
"Geser sedikit," omel Victor. "Aku mau dekat-dekat kekasihku yang galak."
Ucapannya dihadiahi pukulan sendok sayur oleh orang yang disebut sebagai kekasih itu. Nora menatap kesal pada pasangannya kendati wajahnya memerah. Wanita itu tersipu malu, namun salah tingkah dan malah berakhir dengan memukul jidat lelakinya. Bukan pukulan keras tentu saja. Tapi cukup untuk membuat jidat itu memerah.
"Kapan sih kau belajar menyeimbangkan tubuhmu? Jika berjalan saja sering limbung, bagaimana kau akan menang dalam pertandingan nanti malam?" sembur Nora. Wanita cantik itu menyuapkan sesendok penuh sup kacang merah beserta daging asapyang dibungkus dengan selada. Ia mengunyahnya dengan brutal dan mengabaikan kekehan pasangannya yang tak terkontol.
Pria bernama belakang Sakuta menggeser tubuhnya agar semakin dekat dengan wanitanya. Dengan gerakan pelan, ia melingkarkan tangannya di pinggul ramping wanita itu. Ia lalu mengecup pundak yang tertutupi jas putih khas yang selalu dikenakan Nora.
"Jangan galak-galak, Hon. Kau semakin terlihat menggoda."
Kembali ia mendapat tamparan di paha kanannya. Nora menyingkirkan tangan yang melingkar dengan kasual di pinggulnya itu dan bergeser menjauh dari kekasihnya tanpa ragu. Ia kembali menunjukkan taringnya karena merasa sesi makannya terganggu.
"Jangan dekat-dekat. Aku sedang tak mau didekati!"
Victor mengaduh kesakitan. Ia mengusap-usap paha bekas tamparan Nora dan beralih beringsut menjauh dari kekasihnya yang sedang dalam mode berbahaya. Menjadi pasangan Nora selama beberapa tahun telah cukup melatih Victor untuk tahu bahwa mundur adalah pilihan terbaik. Jika ia kembali mendekati wanitanya yang tengah dalam mode galak, maka ia bisa terkena getahnya.
"Apa ia sedang PMS?" bisik Victor di telinga Bara yang langsung dijawab dengan anggukan takut-takut. Ternyata bukan hanya dirinya yang merasa terintimidasi jika kekasihnya sedang dalam masa PMS.
Victor mengabaikan raut wajah tak ramah yang ditunjukkan Nora. Ia beralih menyantap makan siangnya dalam diam dan berharap wanitanya bisa cepat kembali jinak seperti sedia kala. Sesekali ia akan melirik ke arah Nora yang kini tengah mengunyah potongan tomat dengan bunyi kecipak.
"Ku dengar kita kedatangan anggota baru."
Victor menghentikan kunyahannya dan meninggalkan sendoknya mengambang di udara dengan mulut menganga.
"Berapa orang?" tanyanya.
"Satu. Wanita. 28 tahun," sahut Bara.
Nora juga melakukan hal yang sama seperti pasangannya. Ia mengernyitkan keningnya dalam-dalam dan menatap tajam ke arah Bara yang tak berdosa. Berita yang disampaikan Bara seolah membuatnya yang tengah kesal jadi semakin kesal.
"Kenapa Paman Yoda tidak memberitahu kita?"
Bara mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. "Aku mendengarnya dari Sora. Dia memasang telinganya lebar-lebar saat melewati ruang kerja Paman Yoda. Dasar gadis itu. Suka sekali menguping."
Nora menghentikan kunyahannya. "Siapa yang membawanya kemari?" tanyanya lagi. Kembali mengabaikan makanannya yang baru setengah habis.
"Si Aneh itu. Kau tahu lah siapa."
Victor memukul tangan Bara yang hendak memasukkan sesendok kuah sup ayam ke mulutnya. Akibat pukulannya, kuah itu seketika berceceran di atas paha Bara yang tertutupi celana bahan berwarna putih. Anak muda itu memekik kaget.
"Kak!"
"Dia bukan orang aneh, Bocah."
Victor menulikan pendengarannya. Ia bergegas bangkit meninggalkan pasangannya dan Bara dalam kebingungan. Ia juga tidakmembersihkan makanannya terlebih dahulu seperti yang seharusnya setiap orang lakukan saat telah selesai menyantap makanan.
"Kak, mau kemana?"
"Jangan pergi dulu!"
"Aku akan menemui Paman Yoda," jawabnya tanpa sedikit pun menoleh ke arah belakang. Langkahnya tegas dan terburu-buru. Dadanya bergemuruh hebat. "Aku akan minta penjelasan langsung darinya," imbuhnya.
Victor berjalan dengan langkah lebar-lebar untuk menemui sosok yang mampu memberikan penjelasan padanya. Ia mengabaikan beberapa prajurit yang memberikan salam hormat untuk menyapanya. Padahal biasanya ia termasuk dalam golongan orang yang ramah. Sapaan tak pernah luput dari bibirnya, kemana pun ia pergi.
Akan tetapi, untuk saat ini, ia hanya ingin segera bertemu dengan Paman Yoda. Ia ingin meminta penjelasan akan berita yang baru saja ia dengar dari juniornya. Tanpa mengetuk pintu atau menekan bel seperti biasa, pria itu memasuki sebuah ruangan berlapis baja.
Ruang kedap suara itu terasa dingin meski tak ada pendingin ruangan di sana. Ruang itu juga tak terasa pengap, meski hanya seukuran bilik. Ruang itu memancarkan aroma kayu manis, walau pun tak ada pengharum ruangan.
Ruang kerja Paman Yoda, ruang mungil yang memiliki puluhan fungsi.
"Aku tak tahu jika kau memasukkan warga baru."
Victor Sakuta duduk dengan santainya tanpa menghiraukan tatapan dari mata lelah sosok yang dianggapnya sebagai ayah. Ia menyilangkan kakinya dan bertopang dagu. Ia menatap langsung ke arah mata cokelat sosok bertubuh subur itu tanpa sedikit pun berkedip.
"Jadi?"
"Aku sudah membayangkan kau akan bereaksi seperti ini, Sakuta," ujar Paman Yoda. Bujang paruh baya itu melepas kacamata yang bertengger di hidungnya dan meletakkannya di atas meja. Ia berdehem pelan. "Mari bicarakan baik-baik."
"Tidak bisa, Paman. Kau sudah berjanji akan melibatkanku."
"Memang, dan sedang ku lakukan."
"Setelah ia menapaki tanah ini dan kau baru akan memberitahuku?"
Paman Yoda tersenyum tenang. Tangannya menekan tombol kecil di balik meja dan seketika itu pula layar hologram menyala terang. Hologram itu menampilkan sederet file dalam bentuk foto yang dikemas apik dengan sorotan sinar berwarna hijau muda. Ia menunjuk ke arah layar hologram pada anak didiknya dengan sebuah kedikan kepala.
"Ava Maria, Gen S, Primer yang tinggal di sekitar Niskala. Dia bisa menjadi perantara selanjutnya yang sangat berguna bagi kita."
Victor memperhatikan foto di sudut kanan layar hologram itu. Seorang gadis berambut hitam panjang lurus dengan mata berwarna hitam kelam menatap tajam ke arahnya. Bibir gadis itu dipoles dengan lipstik merah tebal, sementara matanya dihiasi dengan winged eyeliner yang menampilkan kesan tegas dan keras. Dalam sekilas pandang, gadis itu terlihat seperti sosok leader yang bisa dipercaya bagi siapa pun yang mengikutinya.
"Dia bekerja di sektor keuangan. Pernah menjadi asisten salah satu pemimpin Guardian beberapa tahun yang lalu. Dia juga sosok yang dekat dengan banyak petinggi. Kau pikir apa yang kami temukan, Sakuta?"
Victor menyentuh dagu dengan ujung kukunya. Ia mengusap lambat-lambat bekas cukurannya yang tak terlalu bersih. "Bukank ah terlalu riskan..."
"Akui saja kau setuju dengan ide gegabahku kali ini," potong Paman Yoda. "Mereka semakin menekan wilayah Selatan. Tahu kah kau jika Westqueen semakin memanas? Banyak warga di sana yang mati kedinginan dan kelaparan karena menolak tawaran Utara untuk menyerahkan wilayahnya. Mereka juga sedang menyasar Surela dan sekitar Pirona. Mereka tak akan berhenti sebelum mendapatkan semuanya Victor. Ku ulangi, semuanya. Dan jika kita tak bergerak cepat, maka tak ada satu pun yang bisa diselamatkan. Tidak juga tanah yang kau pijak saat ini."
"Tapi mereka belum mengetahui keberadaan kita, 'kan?"
"Belum. Dan kata belum selalu memiliki akhir." Paman Yoda mematikan layar hologram yang semula menampilkan potret Ava Mair, gadis yang baru saja diselundupkan masuk ke wilayah mereka. "Pada akhirnya kata belum bisa menjadi telah. Kita semua akan menjadi abu saat hal itu tiba jika kita tak bergerak saat ini juga."
Victor menganggukkan kepalanya lambat-lambat.
"Dan apa jaminan gadis ini benar-benar berpihak pada kita?"
Paman Yoda tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya. "Nah, yang itu akan kau tahu dalam dua hari ke depan."