Ivory menggigil. Jari-jari kakinya terasa dingin di bawah sana. Rasanya seperti berdiri di depan lemari es dengan suhu yang super rendah.
Ia menggeliat kecil dan membuka matanya. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia tak perlu menyesuaikan diri dengan cahaya karena praktis tak ada cahaya di sekitarnya. Ruangan itu gelap gulita, dingin, dan asing. Sudah pasti dirinya tak berada di kamar hangat di rumah pasangannya.
Ia bangkit dari tidurnya dan duduk. Dirinya merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal dan memandang ke sekitar. Mengingat-ingat lagi kata-kata penting yang seharusnya diingatnya sebelum tertidur pulas semalam.
'Tekan tombol kecil di bawah meja dan lampu akan menyala.'
Oh iya! Tombol itu.
Tangannya merogoh ke kolong meja yang dimaksud dan menemukan tonjolan kecil seukuran biji polong. Jari telunjuknya menekannya sekali dan seketika bias cahaya menerangi ruangan itu dari ujung ke ujung. Kepala Ivory terasa pening. Mungkin efek dari cahaya yang tiba-tiba menerobos masuk ke retinanya. Atau mungkin karena obat yang diminumnya semalam, yang mana cukup efektif meredakan sakit di area sensitifnya.
Ivory berdiri. Ia berjalan menuju ke arah meja di hadapannya dan menuangkan segelas air putih. Ia meminumnya hingga habis tak tersisa dan mengisinya lagi. Mengulangi hal tersebut hingga tiga kali.
Ini adalah tempat asing. Jelas. Namun anehnya ia tak merasa canggung. Ivory juga tak terlalu takut, kendati ruangan ini adalah ruang pribadi si Guardian itu.
Semalam setelah berhasil kabur dari Guardian yang akan melakukan sweeping, Cakara membawanya masuk untuk bersembunyi di tempat tinggalnya. Bukan rumah. Cakara lebih suka menyebutnya Bowl.
Cakara tak bercanda. Rumah itu benar-benar berbentuk bulat bak mangkuk. Bowl terletak di tengah hutan; sesuatu yang aneh karena setahunya tak pernah ada hutan di sekitar kota. Mereka harus melewati barisan pohon pinus raksasa yang terlihat begitu dingin bagi siapa pun yang melewatinya.
Seingatnya, semalam Cakara berdiri di salah satu pohon pinus terbesar di tengah hutan. Ia membuka padlock yang hebatnya terbuat dari batang pohon yang mirip sekali dengan batang yang asli. Pria itu lalu menekan beberapa kode sandi, eye scanning, finger checking, dan boom, pohon pinus terbesar itu membelah dan menampilkan deretan anak tangga bawah tanah yang begitu ajaib di mata Ivory. Cakara menariknya masuk meniti anak tangga berbahan akar pohon itu dan tiba lah mereka di Bowl yang pemuda itu maksud.
Cakara memberikan beberapa instruksi yang berguna baginya, seperti bagaimana cara menggunakan air panas, membuat minuman panas, menggunakan pocket mattress, dan kamar mandi. Ia memberikannya sebutir obat penghilang rasa sakit. Guardian itu lalu meninggalkannya sendiri. Bilangnya, ia akan bergabung dengan Guardian lain untuk menyelesaikan tugasnya sementara ia diperbolehkan untuk sembunyi di dalam Bowl.
Sungguh sebuah keajaiban untuk Ivory. Ivory yang ditinggal pergi Cakara kemudian dengan patuh menyeduh ramen instan, memakannya hingga habis tak bersisa, lalu minum obat yang diberikan. Setelahnya ia tertidur pulas.
Bila dipikir-pikir lagi, sungguh mencurigakan pertolongan yang diberikan pemuda Park itu karena statusnya sebagai salah satu dari para "robot" itu. Kenapa pula ia mau membantu gadis biasa seperti Ivory? Sudah dua kali pula. Bukan kah itu terasa aneh?
Namun Ivory sendiri merasa jauh lebih bingung pada dirinya. Mengapa pula ia masih menerima uluran tangan Cakara? Bukan kah seharusnya ia kabur atau lari? Atau setidaknya bersikap awas, bukan? Mengapa ia nyaman-nyaman saja tinggal di tempat pribadi Guardian itu? Bagaimana jika nantinya pemuda mencurigakan itu datang dengan bala tentaranya dan menyeret Ivory ke Para Petinggi?
"Harus kah aku diam-diam keluar dari sini?"
"Jangan begitu."
Ivory tersentak dan berbalik arah hingga menghadap sumber suara. Cakara berdiri di ujung pintu masuk dengan membawa sekantung penuh makanan kaleng dan buah-buahan. Mengangkat salah satu alisnya heran, ia meletakkan barang bawaannya itu di atas meja di tengah ruangan.
"Jangan curiga begitu. Sudah ku bilang aku tak berniat menangkapmu." Ia mengeluarkan satu per satu bahan makanan itu dan membuang kantungnya di tong sampah. Ia mengambil gelas kosong dan menuangkan orange juice di satu tangan. "Kau duduk tenang lah. Ku buatkan makan siang."
"Makan siang?" beo Ivory. Ia memandang mencari-cari jendela di Bowl itu...
Dan tak ada.
Ruangan itu tak memiliki jendela sama sekali.
Sungguh sebuah bangunan yang aneh.
"Sudah jam berapa sekarang?" tanyanya masih dalam mode panik.
"Dua siang. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku dan mendapat istirahat. Jadi jangan mempersulit keadaan dan duduk lah. Aku yakin kau pasti lapar."
Ivory tak langsung menurutinya. Gadis itu menyilangkan kedua tangan di dada dan memincingkan mata bulatnya. Memindai satu persatu benda yang menempel di tubuh pemuda Park untuk mendeteksi hal-hal yang di luar nalarnya, namun tetap saja ia tak menemukan keanehan apa-apa selain seragam khas Guardiannya.
"Duduk lah, Kelana."
"Kau tak akan menangkapku?"
"Astaga, tidak," jawabnya cepat. "Sudah berapa kali ku katakan padamu. Aku tak akan mencelakakanmu, dan kau percaya saja padaku, 'kan?"
"Darimana kau tahu aku percaya padamu?"
Cakara tertawa renyah. Menatap gemas pada gadis manis itu sebelum memanaskan dua kaleng sarden ke dalam microwave.Dirinya menahan diri untuk tidak tersenyum.
Ia tahu Ivory khawatir dan takut padanya. Dari nada suaranya yang bergetar saja ia sudah paham betul. Namun, yang membuatnya gemas adalah gadis itu mencoba untuk terlihat berani dengan menatapnya tajam. Padahal baginya, Ivory lebih terlihat seperti akan menangis.
"Kalau kau tak percaya padaku, mana mungkin kau mau makan semua ramen itu dan meminum obat yang ku berikan. Mana mau kau tidur dengan nyaman di kasurku dan percaya saja saat ku tinggal. Kau pikir dari mana aku bisa tahu kau percaya padaku?"
Ivory terdiam. Segala ucapan Guardian itu terasa benar di kepalanya. Ia memang melakukan segala yang dikatakan oleh pria di hadapannya.
Terutama obat itu.
Obat kecil mungil yang sangat bermanfaat menghilangkan rasa sakitnya. Ketika bangun tadi ia tak merasakan nyeri sedikit pun seperti sehari sebelumnya. Seperti magis, semua lukanya sembuh begitu saja.
"Tambahan lagi jika kau masih tak mempercayaiku. Hanya kau satu-satunya warga sipil yang ku bawa ke tempatku. Tak ada orang lain yang tahu tempat ini selain orang yang ku percayai saja."
"Jadi kau percaya padaku?" Ivory berjalan mendatangi pemuda Park. Ia berdiri di belakang lelaki itu dan memiringkan kepalanya sedikit. "Kenapa aku bisa jadi salah satunya?"
"Aku hanya percaya saja. Ku rasa kau tak akan menceritakan tentang tempat ini pada siapa pun, bukan begitu Kelana?"
Netra itu memandang tegas ke dalam violet eyes Ivory. Menuntut sebuah kejujuran dari jawaban yang akan terlontar dari bibir gadis awal dua puluhan itu. Cakara memandang wajah ayu dari gadis yang membuatnya penasaran selama beberapa waktu belakangan ini.
"Kelana?"
"Aku tak akan cerita pada siapa pun," jawab Ivory pada akhirnya. Menarik napas dalam-dalam ia mengalihkan adu pandang itu dengan deheman. "Apa yang bisa ku bantu, Tuan Guardian?"
"Cakara. Cakara saja," pinta Pemuda Park. Ia mengambil sarden yang telah matang dan menuangkannya di atas piring putih bersih yang tersedia.
"Umm ... Aku tak bisa. Itu terlalu tidak sopan," jawab Ivory tak enak. Ia tersenyum kikuk memperhatikan begitu cekatannya pemuda yang lebih tua darinya itu dalam menggunakan alat-alat dapur.
"Seluruh Amerta sudah berlaku sopan padaku. Satu orang yang tidak sopan mungkin bisa membuat hidupku lebih berwarna. Walau pun memanggil nama depanku menurutku masih sopan-sopan saja, sih."
"Seluruh Amerta? Wow, kau Guardian yang terkenal juga ya," celetuk Ivory.
"Aku Pemimpin Guardian, Kelana."