Satu jawaban dari Ivory sudah cukup untuk membuat harapan di hati Cakara tumbuh.
Betul apa yang dikatakan Ivory; gadis itu tak berhak mencintai pasangan Copulation-nya. Siapa lah dia sampai berani mencintai orang yang sudah memiliki tunangan? Lagi pula mereka hanya terikat selama satu tahun. Tak ada jaminan mereka akan kembali bersama setelah Copulation usai. Bahkan, jika menilik dari perkataan Ivory, sepertinya Aaron Magnifico akan segera menikahi tunangannya.
Kesempatan bagus buatnya, bukan?
Cakara menggeleng seketika. Tiba-tiba ia merasa bersalah karena sudah berpikir terlalu jauh. Pikiran rasionalnya yang selama ini selalu menuntunnya untuk bersikap dengan penuh adab menggeleng malu. Ia merasa seperti bukan pria baik saat pikiran negatif berkelebat di benaknya.
Ingat, mereka baru saja berteman. Ia tak ingin secepat itu merusak ikatan pertemanan mereka dengan angan-angan yang terlalu tinggi. Ia hanya akan berusaha menjadi kawan yang baik bagi gadis itu.
"Kenapa begitu?" tanyanya, sekali lagi mencoba mengulik lebih jauh.
Ivory meminum segelas penuh air putih sebelum meletakkan piringnya ke atas meja.
"Bahaya jika aku jatuh hati dengan Aaron. Aku akan menyakiti banyak orang. Aku akan mengecewakan banyak orang."
Pemuda Park memiringkan kepalanya tanda ingin tahu lebih banyak.
Ivory kemudian melanjutkan perkataanya. "Jika aku tak bisa mengontrol perasaanku, aku akan menyakiti Aaron, Joy, dan diriku sendiri. Aku tak pernah berhubungan dengan siapa pun sebelumnya. Mungkin itu sebabnya aku agak kesulitan mengontrol rasa sukaku pada Aaron. Walau begitu, aku masih dan akan terus berusaha sekuat tenaga untuk tak jatuh hati padanya." Ia lalu tertawa kikuk. "Maaf ya, aku malah jadi curhat."
"Tak apa," sahut Cakara tanpa ragu-ragu. "Sudah ku bilang, aku siap jadi teman curhatmu. Cerita saja jika itu bisa membuatmu lega."
Gadis itu mengangguk pelan. "Aaron sangat baik padaku. Aku merasa beruntung sekali bertemu dengan pria sebaik ia. Namun kadang-kadang … aku takut salah mengartikan sikap baiknya padaku. Aku sejatinya takut sekali," ucapnya.
"Takut apa, Kelana?"
Ivory menundukkan kepalanya sambil berucap nyaris tanpa suara. "Aku takut kalau-kalau jatuh hati padanya," ungkapnya.
Tentu mengontrol rasa suka pada seseorang bukan hal yang mudah.
Seperti halnya yang tengah dilakukan Cakara saat ini.
"Di saat-saat tertentu, seperti misalnya sekarang ini, aku merasa kesal saat ia memilih untuk pergi dengan tunangannya. Aku tak ingin ditinggal. Aku juga mau ditemani. Apa lagi kemarin setelah pemeriksaan, bagian bawah tubuhku masih sakit sekali. Aku benar-benar berharap Aaron akan tinggal dan menemaniku. Nyatanya, ia tetap pergi dengan tunangannya. Ia tak kembali bahkan sampai malam hari. Seharusnya aku tak kesal, tapi dadaku terasa sesak saat menanti Aaron pulang ke rumah," ucap Ivory menceritakan. Ia lalu tersenyum kecut dan melanjutkan lagi kegalauan hatinya. "Ah, bahkan aku baru sadar. Bagaimana bisa aku berharap Aaron pulang ke rumah kalau rumahnya saja ada pada gadis itu? Dia lah rumah Aaron yang sesungguhnya. Tunangan itu adalah tempat Aaron untuk pulang. Lancang sekali aku menganggap sebaliknya."
Cakara bisa melihat gurat kesedihan di mata Ivory. Gadis itu terlihat sekuat tenaga menahan air matanya. Ia bahkan menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri.
Sebesar itu kah rasa suka Ivory pada pasangan Copulation-nya?
"Aku tahu kau pasti merasa sulit memposisikan diri, tapi coba pikirkan perasaan tunangan Magnifico, Kelana. Gadis itu lebih dulu bertemu dengan pria itu. Mereka lebih dulu jatuh cinta. Dan sampai sekarang masih saling mengasihi. Dibandingkan kau yang baru saja datang, rasanya akan buang-buang waktu jika kau galau pada Magnifico." Cakara menyentuh telapak tangan Ivory pelan. Ia meremas lembut telapak tangan itu untuk menguatkan Ivory yang terlihat sedih. "Coba untuk tidak terbawa perasaan. Sebelum terlalu jauh, lebih baik menjaga betul perasaanmu agar tidak tumbuh. Aku tak ingin kau sakit hati nantinya."
Ivory memandang tangannya yang tengah digenggam oleh Pemimpin Guardian itu. Rasa cemas, khawatir, dan takut yang semula menyelimutinya kala berhadapan dengan Pemuda Park mulai sirna. Ia bisa merasakan bahwa pria di depannya ini bisa menjadi teman yang baik untuknya. Ia tidak terintimidasi sama sekali.
"Aku akan menahan perasaanku, Cakara. Terima kasih atas sarannya."
"Sama-sama, Kelana. Aku harap kau bisa menjalani kehidupan yang bahagia sampai tua," doa Cakara sungguh-sungguh.
Ivory tersenyum mendengar panjatan doa dari pria tersebut.
"Cakara, omong-omong, kenapa kau memanggilku dengan nama belakang?"
Sosok yang ditanya itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Kaget juga ia ditanya mendadak oleh Ivory. "Nama belakangmu bagus. Unik. Aku suka memanggilmu Kelana," jawabnya.
"Ey, tak adil! Kau menyuruhku memanggilmu dengan nama depan tapi kau memanggilku dengan nama belakang," protes gadis manis itu.
Pemuda Park tertawa renyah mendengar gadis yang menjadi teman barunya itu mengomel.
"Oke, oke. Aku akan memanggilmu Ivory."
"Orang terdekatku memanggilku Ivy. Kau bisa memanggilku Ivy juga."
Sang Pria memiringkan kepalanya sedikit sambil menahan senyum. "Kalau begitu, kau bisa panggil Caka sesekali. Kadang-kadang nama panggilanku juga diperpendek lagi. Kakakku kerap memanggilku Caka."
"Oke, impas!" sahut Ivory ceria. "Aku senang berteman denganmu, Caka!"
"Aku juga," jawab Cakara dengan seulas senyum. Ia suka melihat Ivory yang ceria.
Kembali mengunyah makanannya, Ivory juga mencoba kembali melanjutkan obrolan mereka. "Oh iya, sepatumu masih ada padaku. Aku ingin mengembalikannya padamu. Harus kah aku ambil sekarang dan ku bawa kemari?"
Cakara menggeleng pelan. "Tak usah. Gampang. Nanti saja. Lagi pula kau akan sulit menemukan jalan masuk ke Bowl jika tidak denganku," ungkapnya. Lagi pula ia tak mau Ivory terlalu lelah. Ia juga tak terlalu butuh sepatunya.
Ivory mengangguk perlahan. Ia menurut saja dengan perkataannya. Ia kemudian berceloteh kembali. "Rumahmu ini unik sekali. Luar biasa menarik. Bagaimana bisa kau membuat rumah bawah tanah yang sebegini canggihnya?"
Pria itu mulai mengupas apel di tangannya. Ia mengingat-ingat saat pertama kali ide pembuatan Bowl ini muncul. Sembari melemparkan sepotong apel ke dalam mulut, ia mulai bertutur kata.
"Aku dulu kerap bosan dengan suasana sekitarku. Kondisi di rumah tak terlalu menyenangkan buatku. Itu sebabnya aku ingin mempunyai tempat pelarian tersendiri yang tak diketahui banyak orang. Sebuah tempat tertutup yang aman dari gangguan. Tempat rahasia untukku berdiam diri saat tengah lelah. Aku lalu membuat rancangan dan mencoba membangunnya dengan beberapa bawahanku yang bisa ku percaya. Itu sebabnya aku membangun Bowl."
"Siapa lagi yang tahu tempat ini?"
"Tak banyak. Hanya kakakku, lima orang bawahanku yang membantuku membangun Bowl, dan … kau."
Ivory bertanya-tanya, sebagai warga sipil yang baru saja berkenalan dengan Cakara, kenapa ia diperbolehkan tahu tentang tempat rahasia ini?