"Sial."
Meletakkan salep pereda nyeri dengan tangan bergetar, gadis itu meringis kesakitan. Dengan gerakan sepelan mungkin ia menarik celananya kembali ke atas dan melemparkan diri di kasur dalam posisi menelungkup. Ia meringis lagi kala kain sutera celananya kembali menimbulkan sensasi perih begitu bergesekan dengan bagian bawahnya.
Ivory mengangkat kepalanya sedikit. Dimiringkannya kepalanya ke arah kanan dan menatap jendela kamarnya yang terbuka. Semilir angin dingin menerpa tengkuknya. Ia sedikit menggigil.
Ia ingin bangkit dan menutup sumber ketidaknyamanan itu namun terlalu takut untuk bergerak lebih banyak. Pikirannya berkecamuk. Jauh di lubuk hatinya, yang paling dirasakan olehnya adalah rasa sakit.
Sakit hati.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri agar tak terlalu kecewa dengan permainan yang sedang ia mainkan. Ia sudah mewanti-wanti perasaannya agar bisa sedikit lebih kuat. Nyatanya rasa sakit itu masih tetap terasa. Semakin bertambah kala ia yang diharap untuk berada di sampingnya lebih memilih pergi bersama yang lebih dicinta.
Aaron hanya membelikan obat untuknya dan memberikannya kepada salah satu asisten rumah tangga di rumahnya. Pria itu meminta pembantunya untuk menyampaikan pereda nyeri pada Ivory dan pergi hingga larut malam. Terhitung sudah enam jam Ivory menanti pasangannya itu pulang. Sembari menahan luka dan nyeri di dada, ia masih berharap Aaron akan pulang malam ini untuk menemaninya.
"Apakah aku terlalu bodoh berharap kau pulang?" tanyanya dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya erat. "Apa salah jika aku berharap kau benar-benar peduli padaku?"
Jarum jam di kamarnya berdenting. Sudah tepat pukul sebelas malam. Perutnya terasa lapar, namun masakan yang sudah tersedia di meja tak juga membuat seleranya tergugah. Sungguh ini pertama kalinya ia menolak makanan. Bukan suatu hal yang wajar, dan sesungguhnya ia merasa sedikit berdosa karena sudah menyia-nyiakan masakan asisten rumah tangga yang baik hati itu. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan karena sebelumnya ia terlatih menahan lapar.
Perutnya berbunyi, Ivory mencengkeramnya kuat-kuat. Dirinya seketika membayangkan makan semangkuk ramen pedas yang dijajakan di mini market dekat rumahnya. Ia pernah mencoba makan ramen di mini market itu sekali—sewaktu Roger mengajaknya—dan rasanya enak sekali. Panas yang mengepul dan kental kuah mie seakan memanggilnya untuk bangkit dan mengenyahkan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya.
"Apa aku harus keluar di malam dingin seperti ini?"
Suhu di luar begitu dingin. Setidaknya minus lima. Belum lagi salju yang turun membasahi jalanan. Pasti akan sangat licin.
Tapi menyeruput kuah ramen terdengar sangat menggoda. Setidaknya hasratnya akan makanan panas dan pedas akan terpenuhi, 'kan?
Ivory menimbang-nimbang untuk sesaat. Kendati Aaron sudah memberikannya kartu kredit, Ivory tak ingin menggunakannya sedikit pun. Lagi pula ia masih memiliki sedikit sisa uang dari penjualan aprikotnya beberapa hari yang lalu.
Sepertinya satu mangkok ramen dan sebotol susu tak akan salah, bukan?
"Mungkin dengan makan ramen sakitku akan berkurang sedikit," ucapnya menyemangati diri.
Maka detik itu juga, ia bangun dengan rintihan pelan dan bergegas mengambil mantel panjang dari lemari.
Ketika menuruni tangga, ia menyadari jika rumah ini terasa begitu kosong tanpa Aaron. Asisten rumah tangga yang bekerja disana tak ada. Mereka sudah pulang ke rumahnya masing-masing dan beristirahat. Toh rumah mereka hanya berjarak seratus meter dari rumah majikannya.
Ivory berjalan dengan tertatih seraya mengambil boats dan kaus kaki wol yang berada di rak sepatu. Ia melirik sekilas sepatu boots di rak paling bawah. Ia memandanginya selama beberapa saat sebelum menyadari jika sepatu itu adalah milik pemimpin Guardian yang beberapa jam lalu datang ke rumahnya.
"Astaga." Ivory menepuk dahinya sendiri. "Kenapa tidak ku kembalikan langsung saja, sih?"
Mengerang kesal karena merasa tak enak, ia membuka pintu rumah dan keluar dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku mantel tebalnya.
Benar dugaannya, cuacanya sangat dingin. Bibirnya saja nyaris membeku jika ia tak menggerak-gerakkannya berulang kali. Sial baginya karena ia tak membawa gloves. Hot pack-pun tak ada. Tangannya saat ini nyaris mati rasa.
Ivory memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Ia menggertakkan gigi dan sedikit berlari agar bisa tiba di tempat secepatnya. Ia harus segera masuk ke dalam ruangan sebelum tubuhnya membeku.
Kakinya bergerak lincah hingga sampai di depan pintu mini market di hadapannya. Ia lalu mendorong pintunya dengan kuat. Ivory masuk ke dalam ruangan berpenghangat itu dengan tubuh yang menggigil hebat.
Nyerinya semakin menjadi-jadi. Ia butuh duduk. Secepat mungkin sebelum pingsan saking sakitnya.
Baru ketika ia akan menarik sebuah kursi di dekat mesin kopi, ia melihat sosok pemilik sepatu boots yang dipikirkannya tadi. Pria itu duduk sendiri di sana dengan semangkuk ramen, secangkir kecil kopi, dan sosis di tangan kiri. Guardian bernama Cakara itu menyantap makanannya dengan lahap.
"Tuan Guardian?" sapa Ivory pelan. Ragu pria di depannya itu mendengarnya, ia pun berdehem dan memanggil lagi orang itu dengan sedikit lebih keras. "Tuan Guardian?" ulangnya.
"Kelana?"
Cakara memandang Ivory dengan mata membelalak sebelum ia merendahkan suaranya dan berbisik dengan tatapan yang penuh kecemasan.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Ivory tertawa canggung dan menunjuk ke arah deretan ramen yang tersusun rapih tepat di sebelah kanannya. "Aku sedang ingin makan ramen. Jadi aku ke sini," terangnya.
Cakara, sementara itu, langsung bangkit dari duduknya dan memandang keluar mini market dengan waspada. Ia mengecek arloji di pergelangan tangan kirinya sebelum berdecak seakan kesal. "Tak seharusnya kau keluar selarut ini. Sebentar lagi tengah malam. Guardian lain akan mengadakan sweeping dan kau bisa terkena masalah."
Mulut Ivory terbuka sedikit. Ia memiringkan kepalanya dan melirik ke arah luar dengan sedikit takut. "Aku tak pernah dengar tentang sweeping," ujarnya gugup.
Cakara menarik tangan Ivory untuk menjauhi arah CCTV. Mereka berdua berdiri di balik microwave, tertutupi oleh vending machine besar berwarna biru. "Tentu saja kau belum mendengarnya. Kegiatan itu baru akan diadakan malam ini. Memang tak ada pemberitahuan sebelumnya," terangnya.
Ivory membelalakkan mata bundarnya.
"Tepat setelah Pre-Checking. Jika kau kedapatan keluar sendiri tanpa pasanganmu, kau bisa dibawa mereka ke Dewan Tertinggi. Terlebih statusmu sebagai Kaum Sekunder. Kau bisa dipenjara dengan mudah."
"Kenapa harus dipenjara? Apa salah orang yang ingin beli makan malam-malam?" tanya Ivory rungsang dan bingung.
"Sulit dijelaskan. Ini berhubungan dengan kericuhan yang terjadi di bagian tenggara. Para Petinggi berpikir jika mengetatkan jam malam maka akan meminimalisir kemungkinan picuan kekacauan yang mungkin akan terjadi di Makara."
"Siapa yang akan berbuat ricuh?"
"Jangan bertanya hal yang tak penting! Lebih baik fokus pada dirimu sendiri."
"Apa itu hanya berlaku untuk peserta Copulation saja?"
"Kau pikir untuk siapa lagi?"
Ivory menarik napas dengan susah payah. Tiga puluh menit lagi tepat tengah malam. Jika ketahuan bisa tamat riwayat Ivory karena Guardian mana pun tak pernah mengenal belas kasihan...
Tunggu dulu...
Bukankah pria di depannya itu juga bagian dari Guardian?
"Mati aku."