Ivory mengerang tertahan.
Ia memandang frustasi ke arah sederet benda-benda asing yang baru ia lihat selama 20 tahun hidupnya.
Tak pernah sekali pun ia melihat deretan alat-alat perawatan kecantikan dengan berbagai bentuk dan merk sebanyak itu sebelumnya. Ia bahkan tidak tahu apa saja fungsinya karena sungguh, yang ia butuhkan untuk merawat tubuhnya hanya lah sabun dan shampoo saja. Itu sudah lebih dari cukup.
Tangan gadis bernama belakang Kelana itu terulur dan mengambil sebuah alat yang berbentuk seperti emas batangan seukuran remot AC dengan tangan kanannya. Ia menyentuh perlahan bagian kepala alat itu dan melepaskan tutupnya.
Untuk sejenak Ivory mengasumsikan jika benda itu adalah remot-entah-apa. Namun, yang terlihat ganjil dari benda itu adalah adanya tombol kecil yang memancarkan sinar berwarna merah menyala yang membuatnya sedikit kaget. Ivory langsung menutup kembali alat itu dan meletakkannya di rak berwarna silver bersamaan dengan barang-barang lainnya yang kegunaannya masih menjadi misteri.
Ivory mengacak-acak rambutnya kesal.
Ia sudah selesai mandi sekitar 20 menit yang lalu. Ia bahkan menuruti saran salah satu asisten rumah tangga di rumah pasangan Copulation-nya itu untuk menggunakan alat-alat aneh di depannya guna melancarkan hal yang sebentar lagi akan mereka lakukan.
Pembuahan.
Ivory bertanya-tanya, mengapa pula ia harus bersiap?
Tentu saja harus. Memangnya ia akan membiarkan dirinya meninggalkan kesan pertama yang tak menarik tentang tubuhnya? Ivory tentu masih sadar diri untuk sekadar menarik atensi Aaron agar merasa nyaman dalam pembuahan nanti.
Tapi tetap saja hal itu tidak menyembunyikan kekalutan dirinya. Kesiapan hatinya. Kesiapan mentalnya.
Ia masih belum sepenuhnya yakin dan rela untuk menyerahkan tubuhnya ke tangan pemuda tampan yang diam-diam dikaguminya itu. Apalagi dengan status mereka yang hanya sekedar partner ranjang. Tanpa ikatan, tanpa perasaan. Bagaimana bisa ia melakukan hubungan seperti itu?
"Arghh! Sial!"
Ivory membenturkan kepalanya ke kaca berukuran full body di kamar mandi rumah itu beberapa kali. Sungguh, ia begitu galau dan takut untuk keluar.
Ia dan Aaron telah sepakat untuk melakukan pembuahan hari ini juga mengingat waktu yang mereka miliki tak banyak. Mereka dikejar waktu. Pre-Checking akan diadakan dalam waktu dekat. Tak ada jalan keluar lainnya selain menyelesaikan apa yang mereka paksa untuk mulai.
Pasangannya, Aaron, sebenarnya merasa sangat tak enak harus menyentuh Ivory lagi dengan keadaan yang serba salah seperti ini. Tapi ia juga tak dapat menolak keinginan Para Petinggi dan mengabaikan tahap Pre-Checking begitu saja karena taruhannya adalah nyawa.
Nyawa Ivory terancam jika mereka tak melakukannya.
Mereka berdua bisa membayangkan hukuman-hukuman mengerikan yang disiapkan Para Petinggi nantinya jika Ivory ketahuan masih belum tersentuh. Sejak tahap Pre-Checking diadakan, banyak peserta Copulation yang dianggap gugur karena tidak melaksanakan kewajiban mereka.
Bagi mereka yang gugur pasti akan mendapat hukuman. Terkhusus bagi Kaum Sekunder yang gugur, mereka akan dieksekusi karena dianggap abai. Sementara bagi Kaum Primer, tentu tak ada hukuman yang berarti selain membayar denda. Oleh karena itu, jika Ivory dan Aaron tak melakukan "tugas" mereka sesegera mungkin, maka mereka bisa dianggap lalai dan gagal melaksanakan tugas dari Dewan Tertinggi.
Ivory kembali memusatkan perhatiannya pada tubuh telanjangnya yang terpantul dari kaca. Ia melirik lagi tubuhnya yang hanya terbalut selembar handuk, lalu menghela napas dengan kasar.
Ia meraba-raba tubuhnya lagi sekilas, memeriksa kalau-kalau ada gatal, ruam, atau benjolan yang membuatnya terlihat jelek di depan Aaron. Ia memeriksa kedua ketiaknya yang sudah ia cukur dengan alat cukur sederhana miliknya, bukannya menggunakan benda mencurigakan yang disediakan Aaron. Apa pun itu, kini kedua lipatan tangannya itu sudah bersih mulus, tak ada rambut bahkan sehelai pun.
Pandangannya lalu turun ke arah dadanya yang tak terlalu buruk. Kedua buah dadanya menurutnya tak begitu memalukan untuk dilihat. Memang ukurannya tak sebesar milik Joy, namun masih dalam size yang cukup 'oke' menurutnya.
Walau tetap saja, ia masih merasa rendah diri.
Satu-satunya yang membuatnya sedikit percaya diri hanya lah bongkahan pantatnya yang sedikit lebih besar dari Joy. Setidaknya masih ada satu hal yang bisa dibanggakan darinya sebagai orang yang memiliki banyak kekurangan.
Bagaimana nanti jika Aaron tak tertarik dengannya?
"Ivory, kau masih di dalam?"
Ivory tersentak dari lamunannya dan bergegas meraih bathrobe yang berada tak jauh dari jangkauannya. Ia buru-buru melepaskan handuk yang membalut tubuhnya. Gadis itu dengan gerakan terburu, mengenakan bathrobe tersebut dan menali talinya dengan erat sebelum menjawab sahutan Aaron.
"Sebentar, Aaron. Aku belum selesai!"
Jantungnya berdegup cepat. Keringat dingin perlahan membasahi kedua telapak tangannya. Kegugupan kembali menguasainya.
Apakah Aaron sudah tidak sabar?
"Astaga, bagaimana ini?" tanyanya pada diri sendiri. Panik. Ia memandang ke sekelilingnya mencari bantuan tak kasat mata.
"Apalagi yang harus ku siapkan? Aku harus pakai baju apa? Kaos? Piama? Baju oversized? Aaron suka aku dengan pakaian model apa? Tapi bukannya semua itu pada akhirnya akan terlepas juga? Kami berdua akan telanjang bukan? Aduh." Ivory menggumam sendiri saking bingungnya.
"Ivy, aku hanya mau mengambil handphoneku yang tertinggal di dalam. Bukakan sebentar, tolong."
Handphone?
Jadi Aaron hanya mau mengambil ponselnya?
"Ivy, buka pintunya!"
Ivory gelagapan dan buru-buru membuka pintu yang terkunci. Aaron memandang geli ke arah pasangannya yang terlihat kikuk. Melenggang masuk dengan santai, ia sedikit berjinjit dan meraih ponselnya yang terletak di atas lemari P3K. Tepat di sebelah kanan Ivory.
"Kau sedang besiap?" tanyanya ramah. Sebisa mungkin Aaron menelan ludah kala collarbone milik Ivory mengintip malu-malu dari dalam pakaian mandinya.
"Uh huh," gumam Ivory. Ia buru-buru menundukkan pandangannya menahan malu. Telinganya terasa hangat seketika.
"Baik lah. Aku menunggumu di kamar."
Sebelum Aaron sepenuhnya keluar dari kamar mandi itu, Ivory buru-buru menahannya dengan memanggil lirih namanya.
"Aaron, tunggu."
Aaron membalikkan badannya dan memiringkan kepalanya sedikit.
"Iya, Ivy?
'Astaga, manis sekali cara menjawabnya.' Batin Ivory menjerit tanpa suara.
Saat itu pula Ivory lupa akan pertanyaan yang semula sudah ia siapkan. Pertanyaan itu entah bagaimana menguap bagaikan kepulan asap. Pergi meninggalkannya yang tengah tergagap. Dan itu semua karena nada manis dari Aaron yang membuat lututnya bergetar.
Ia meleleh.
"Itu ... Umm ... Apa ya..."
Aaron tertawa kecil melihat pasangannya itu gelagapan. Ia tahu betul jika Ivory tengah salah tingkah. Entah kenapa, ia suka melihatnya seperti itu.
"Kenapa, Ivy?"
Ah, persetan dengan pertanyaannya. Suara deep Aaron selalu dapat membuat otaknya berkabut dalam hitungan nano detik. Semudah itu ia terpengaruh olehnya.
Karena terlanjur menanggung malu, akhirnya ia melihat ke arah rak di depannya dan menarik alat berbentuk seperti remote tadi dan mengacungkannya pada Aaron.
"Apa fungsi benda ini, Aaron?" tanya Ivory secepat kilat. Ia diam-diam menelan ludahnya dan memandang ragu pada Aaron.
"Kau tak tahu?"
Ivory menggeleng perlahan.
"Itu untuk mencukur rambut kemaluan."
Mati Ivory.
Matanya membelalak seakan-akan ingin melompat keluar dan menertawakan kebodohannya.
Mencukur ... Anu?
"Buka saja tutupnya dan tekan tombol di bawah sana. Nanti akan keluar sinar warna merah. Arahkan langsung saja ke milikmu, dan yeah, rambutnya akan rontok begitu saja. Jauh lebih efektif dan tidak sakit jika dibandingkan dengan waxing."
Bahkan Aaron menjelaskan cara kerjanya dengan detail.
Tepat di hadapannya.
Ia merasa akan mati karena rasa malunya.
Aaron tertawa kecil melihat raut wajah horror pasangannya. Ia sudah tahu jika Ivory hanya basa basi saja menanyakan kegunaan alat cukur itu tapi faktanya, ia memang suka menggoda Ivory. Melihat semburat merah di kedua pipinya, telinganya yang berwarna senada, dan kedua mata yang membola ... sungguh menarik.
Aaron tertawa lagi dan keluar meninggalkan Ivory yang shock.
"Ivory, kau gila," bisiknya pada diri sendiri. Ia menatap tak percaya punggung lebar yang meninggalkannya dengan tawa geli.
Ia ingin terlihat menarik di depan Aaron, namun yang ada ia malah seribu kali terlihat konyol.
Tolong tenggelamkan Ivory di rawa-rawa sekarang juga.