"Tarik kembali senjata kalian dan kembali ke pangkalan. Serahkan masalah sengketa warga di wilayah itu pada Komandan 3 dan berikan laporannya padaku secepatnya."
Dengan titah tersebut, pemuda yang sedang berdiri di balik tirai tipis nan kusut di depannya mematikan sambungan emergency call yang menyela pekerjaannya beberapa saat yang lalu. Ia mendesah kesal dan melepas alat kecil seukuran kancing baju dengan antena kecil sepanjang 2 cm yang menempel di telinganya. Ia meletakkannya di dalam saku seragamnya.
Sepasang obsidian kembarnya menyipit kala mendengar suara tangisan melengking bayi yang berada di balik tirai itu. Setidaknya ada 100 bayi yang menangis secara bersamaan, yang mana berhasil membuat telinganya berdengung sakit. Terburu-buru keluar dari ruangan, ia menutup pintu besi yang langsung menelan suara jerit tangis bayi itu dalam sekali hentak.
"Terlalu buruk untukmu, Tuan Park?"
Sosok yang di panggil dengan Tuan Park itu tersenyum getir sebelum menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
"Seperti yang kau duga bukan?" Dengan tangan kanan yang menekan sederet tombol di padlock yang terpasang di dinding, ia menyeringai lebar kepada si lawan bicara. "Lemah, chicken, payah, atau apa pun yang ada di pikiranmu. Bukan begitu Tuan Wang?"
"Kau hanya berburuk sangka, Caka," seru sosok yang di panggil dengan Tuan Wang itu. Bibirnya menyunggingkan smirk ringan sebelum membungkuk lima belas derajat padanya. "Kau masih atasanku. Kau tahu aku mencoba menghormatimu." Ia menegakkan tubuhnya dan memberi anggukan singkat. "Nah, selamat bertugas kembali."
"Kau juga tahu jika aku benci orang munafik," ucap pria yang dibilang memiliki jabatan lebih tinggi. Ia mendengus meremehkan. "Hentikan lah sikap palsumu itu. Kita berdua sadar betul jika diam-diam kita berniat saling menghabisi satu sama lain, Eros Wang."
Eros Wang, pria yang berumur satu tahun lebih tua dari Cakara mengacuhkan ucapan penuh kebencian dari atasannya. Ia memilih pergi meninggalkan ruangan. Derap langkah kakinya menggema di ruang tertutup itu, namun hawa dingin yang di bawanya masih terasa hingga beberapa meter ia melangkah.
Sepeninggal Eros Wang, Cakara memilih untuk pergi ke arah berlawanan dan masuk ke dalam ruang yang lebih terang dengan banyak kaca berukuran lebar yang mengelilingi ruang itu. Ia menarik napas dalam-dalam karena sungguh udara di rumah kaca inijauh lebih segar daripada di tempat penyimpanan bayi yang menangis itu. Ia merasa jauh lebih tenang.
Dengan langkah tegas Cakara berjalan mendatangi sebuah meja utama yang terletak tepat di tengah-tengah, dan menemukan sesosok gadis berambut panjang yang digelung sedemikian rupa sehingga membentuk sanggul kecil yang memperlihatkan tengkuk putih bersih Si Gadis. Gadis itu tersenyum ramah dan langsung berdiri ketika melihat siapa yang datang.
"Jangan bersikap sopan seolah-olah kau adalah kolegaku."
Gadis itu tersenyum lagi. "Aku sudah membayangkan kata-kata itu akan keluar dari mulutmu."
"Nah, itu kau tahu."
Cakara mengambil sebuah flashdisk pipih dari saku celana dan memberikannya pada si gadis.
"Data peserta Copulation tahun ini dari wilayah tengah, selatan, dan timur. Lengkap dengan riwayat hidup dan catatan kriminal mereka."
"Dan nama pasangannya?"
"Ada di sana."
"Baik." Gadis itu mengambil flashdisk putih yang di ulurkan Cakara dan memasangnya di sebuah kotak kecil berwarna hijau muda di sisi kirinya. Sedetik kemudian layar Hologram menyala dan menampilkan sederet nama-nama dan foto dalam tabel yang memanjang.
"Bilang pada Ayah, aku mau minta PDS* ini diganti. Ku dengar IT Team baru saja mengeluarkan model terbaru yang lebih cepat dan akurat. Bahkan warna yang tersedia lebih elegan dan eksklusif. Aku sudah bosan dengan yang ini." Si Gadis menggeser jari telunjuknya di layar Hologram dan memindai data-data itu dengan mata tajamnya yang dihiasi soft lense berwarna hijau zamrud.
"Bilang saja sendiri. Aku sedang sibuk," balas Cakara. "Ayah memberiku tugas tambahan untuk mengevaluasi pekerjaan nannybayi-bayi itu."
Gadis cantik itu mendengus. Ia memutar matanya malas seraya memandang layar Hologram di depannya dengan kesal. Seolah-olah benda itu lah yang membuat mood-nya turun seketika.
"Kalau kau dapat pekerjaan ekstra, seharusnya gajimu juga naik. Beli lah sepatu yang lebih bagus." Netranya melirik ke arah kaki Cakara. "Dimana bootsmu yang baru kau beli minggu lalu? Sudah rusak terkena tajamnya kerikil kehidupan?"
Mengabaikan ledekan sarkasme dari orang itu, Cakara teringat akan sosok gadis manis yang tempo hari ditemukannya di taman dekat ia berjaga. Sosok bermata bulat yang menangis sendirian di tengah malam itu masih melekat di ingatannya. Gadis itu lah yang membawa sepatu bootsnya hingga saat ini.
"Kezia, carikan data Ivory Kelana."
"Apa?"
"Data salah satu peserta Copulation tahun ini. Namanya Ivory Kelana. Kirim ke surelku sekarang."
"Kenapa kau mau tahu data orang itu?" tanya gadis bernama Kezia itu. Ia mengunyah sebuah permen karet mint seraya menatap Cakara curiga. Dia sudah tahu kebiasaan adiknya yang terkenal tak cukup tegas terhadap Kaum Sekunder atau pun warga lain. Tapi tetap saja ia masih penasaran untuk apa pria itu itu meminta data salah satu peserta.
"Karena dia menarik," jawab Cakara asal.
"Hold on, Little Boy. Kau tertarik pada peserta Copulation? For real? Untuk apa?"
"Jangan berisik. Berikan saja datanya padaku."
"No way! Kecuali kau—"
"Ku traktir Auce sepuasnya," potong Cakara.
"Ibu pasti akan tertawa riang jika tahu anak lelakinya—"
"Akan ku pesankan tas yang ada di keranjang belanja onlinemu."
"Itu baru adikku!" seru Kezia senang. Ancamannya ternyata berhasil membuat adiknya mau membelikan barang yang ia idamkan.
Sebelum Cakara berlalu, Kezia buru-buru mengetikkan nama Ivory Kelana. Dalam dua detik pencarian, data orang yang dimaksud adiknya itu langsung terpampang nyata di Hologram. Ia mengernyitkan keningnya karena merasa gadis yang dicari adiknya itu adalah gadis biasa-biasa saja dari Kaum Sekunder.
"Kau tertarik dengan gadis Gen F? Dia dari Kaum Sekunder, Caka," ujar Kezia bingung.
"Jangan berpikiran macam-macam."
Kezia mengedikkan bahunya. "Kau sendiri yang bilang jika Ivory itu menarik. Ku kira dia wanita Primer yang mengajukan diri untuk ikut pada Copulation tahun ini."
"Menarik itu punya banyak makna."
"Lalu menarik seperti apa yang kau maksud? Tentu bukan karena parasnya, 'kan? Masih lebih cantik mantanmu yang dulu itu dari pada gadis kampungan ini."
"Kirim saja datanya sekarang dan jangan banyak tanya," pungkas Cakara. Ia memutar matanya kemudian berlalu meninggalkan ruangan.
Setelah menutup pintu ruang kerja kakaknya, ia memeriksa ponselnya. Sesuai permintaan, kakaknya langsung mengirimkan data yang diminta ke surelnya. Ia membuka salinan data Ivory Kelana dan membaca alamat rumahnya. Cakara lalu memeriksa jadwalnya untuk hari itu.
Sayangnya, jadwalnya sudah penuh hingga malam hari. Namun, ia memiliki jeda waktu istirahat selama satu jam. Terdorong oleh rasa penasaran yang teramat sangat, ia menimbang-nimbang opsi yang berkeliaran di kepalanya. Ia bisa saja memanfaatkan waktu istirahatnya untuk melepas rasa lelah. Akan tetapi, ia juga bisa melewati jam istirahatnya untuk menemui gadis yang membuatnya penasaran.
Ia lalu memutuskan untuk menggunakan enam puluh menit waktu istirahatnya untuk berkendara menuju ke rumah gadis yang menyimpan sepatu bootnya.