Chereads / Cakrawala Asmaradanta / Chapter 13 - Chapter 13: Wanita Bersurai Kelabu

Chapter 13 - Chapter 13: Wanita Bersurai Kelabu

Aaron menggeliat dalam lelapnya.

Ia mencari-cari sosok yang selama ini tak henti menemaninya tidur barang sehari pun. Sosok yang menjadi human pillow-nya. Sosok yang selalu ia dekap karena dirinya paham betul jika ia akan kesulitan memejamkan mata tanpa memeluk sesuatu atau seseorang. Sosok yang kini telah pindah dari rumahnya.

"Aaron, bangun lah."

Aaron menarik tangan yang mencoba membangunkannya itu dan memeluknya. Pria itu memeluk tangan kurus yang ia kira sebagai sosok pujaan hatinya. Padahal sebenarnya tangan yang ia dekap erat adalah milik orang asing yang baru saja pindah ke rumahnya.

"Lepaskan tanganku, Aaron. Ku mohon, bangun lah. Ada tamu di luar."

"Hmm." Aaron semakin memeluk tangan itu erat dan merapatkan matanya menjauhi sinar matahari yang menggodanya untuk bangun.

"Aaron. Ayo lah. Jangan peluk tanganku."

"Sebentar saja, Joy. Aku masih mengantuk."

Ivory yang selama lima belas menit terakhir mencoba membangunkan Aaron itu pun tersenyum hambar. Bahkan dalam tidurnya, Aaron hanya mengingat Joy. Ivory berpikir pasti Aaron begitu mencintai gadis itu.

Kendati merasa nyaris putus asa membangunkan Si Pemilik Rumah, Ivory kembali mencoba menarik-narik tangannya yang terkunci kuat di antara tubuh Aaron. Ia mendengus kesal dan menepuk-nepuk pipi pasangannya itu.

'Pipinya sangat halus. Sesuai dengan wajah tampannya.' Ivory menggumam dalam hati.

Ivory memperhatikan lebih saksama lagi. Bahkan dalam tidurnya, Aaron masih terlihat menawan. Wajah kusutnya itu sama sekali tidak mengurangi tingkat ketampanannya.

Bulu mata lentiknya saja membuatnya iri. Alis tebal itu juga semakin mempertegas bingkai wajah pria itu. Apalagi hidung? Hidungnya begitu mancung sempurna. Intinya wajah Aaron itu bagaikan tak bercela. Sempurna setiap saat.

Ivory merasa rendah diri. Ia merasa tak pantas bersanding dengan Aaron walau pun hanya dalam permainan semata. Bagaimana bisa Aaron mau dengannya? Ia hanya lah kaum rendahan yang tak memiliki keistimewaan. Sementara Aaron memiliki hampir segalanya.

Omong-omong, tepukan di pipi tak berhasil.

Apa lagi yang harus Ivory lakukan sementara tamunya sudah menunggunya sejak seperempat jam yang lalu?

Mau tak mau ia harus melakukannya.

"Aww! Sakit!"

Tangannya akhirnya terlepas dari pelukan Aaron. Ia menatap pria yang mengaduh kesakitan itu sembari menahan rasa takut. Sikapnya kali ini memang cukup lancang.

"Maafkan aku, tapi kau tak mau bangun," cicit Ivory. Ia memeriksa lengan atas Aaron yang tertutupi kaus hitam yang dikenakan pria itu.

"Kenapa harus dicubit? Sakit, Ivory," rengek Aaron.

Ivory mengusap-usap tempat di mana ia baru saja mencubit pasangannya. Bagian itu memerah, membuatnya semakin merasa bersalah. Ia mengucap maaf berkali-kali sambil tak henti mengusap kulit Aaron.

"Habisnya kau tak mau bangun. Sudah lima belas menit aku membangunkanmu. Aku tak enak pada tamumu," ujar Ivory membela diri.

"Tamu?" beo Aaron. Tangan kanannya mengusap bekas cubitan di lengan kiri, sementara tangan kiri digunakannya untuk menggosok kedua matanya.

Ivory mengangguk dua kali. "Dia sudah menunggumu dari tadi," ucapnya. "Bangun lah. Aku tak enak membuat mereka menunggu."

Tak berapa lama mereka berdua pun bergegas keluar untuk menemui sosok yang telah menunggu si pemilik rumah sedari tadi, dengan Aaron yang tentunya telah mencuci mukanya.

"Selamat pagi, Tuan Magnifico," sapa salah satu tamu.

"Selamat pagi," sahut Aaron dengan suara seraknya.

Ivory yang merasa tak memiliki kapasitas apa pun di antara mereka memilih untuk menyingkir dan pergi ke arah dapur. Ia memutuskan untuk membuat sarapan bagi mereka berdua.

Gadis berusia dua puluh tahun itu sejenak tertegun melihat begitu luasnya dapur di rumah Aaron. Segalanya begitu rapih dan mengkilat. Pasti semuanya bernilai mahal.

"Aku harus hati-hati saat menyentuhnya," ucapnya pada diri sendiri. "Salah pegang bisa-bisa rusak."

Dan ia pun mencoba mengenali sekitarnya.

Tangannya menyentuh pisau bermata tajam dengan berbagai ukuran itu dengan hati-hati. Ia meraba-raba penggorengan dan kompor ajaib yang tak perlu menggunakan tabung gas. Kompor itu jelas belum pernah ia gunakan sebelumnya. Di daerahnya, tak ada seorang pun yang memliki kitchen set sebagus ini. Ia masih bingung bagaimana cara menggunakannya.

Ivory lalu membuka lemari es dan menemukan beberapa bahan makanan siap olah yang menggugah selera.

"Aku akan memasak masakan spesial untuk Aaron. Ku harap ia tak keberatan aku menggunakan bahan makanannya."

***

"Sayang."

Sebuah back hug didapat seorang lelaki setelah panggilan sayang itu terdengar. Pria yang dipeluk dari arah belakang itu tersenyum senang. Ia balik meremas tangan yang melingkar di perutnya.

"Kau sedang libur?"

Lelaki itu semakin mengeratkan tangan yang memeluknya. Ia mengangguk sekali dan menoleh ke arah belakang untuk memberi kecupan ringan di pipi orang itu. Ia senang karena hari ini dirinya mendapat jatah libur.

"Hari ini dan besok. Setelahnya aku akan kembali ke Vena."

Wanita yang memeluk pasangannya itu bergumam ringan. Netranya beralih dari wajah Sang Kekasih menuju ke pigura hijau yang sedang berada di atas nakas.

Pigura itu menampilkan sosok dua orang remaja tanggung perempuan serta seorang remaja laki-laki yang berpose kikuk di sana. Terdapat pula seorang pria yang berusia setidaknya empat kali lipat lebih tua dari tiga anak tadi. Sosok tertua itu memegang seekor ikan besar lengkap dengan kail yang masih tersangkut di mulut ikan itu. Wajah orang itu terlihat sangat puas. Berbanding terbalik dengan 3 orang di sebelahnya yang menatap canggung ke arah kamera.

Lelakinya, yang menyadari jika kekasihnya tengah menatap sendu pada figura tersebut kemudian bertanya dengan nada lembut.

"Kau merindukannya?"

Ia lalu menarik pinggul sang kekasih sehingga tubuhnya berbalik dan menghadap sempurna ke arahnya.

"Sangat. Selalu. Sampai kapan pun."

Wanita bersurai kelabu itu menyapu debu yang sedikit mengotori kaca pigura. Benda itu selalu saja kotor meski pun ia tak pernah berhenti membersihkannya. Ia padahal menggunakan alat pembersih khusus yang harus dibelinya secara diam-diam tanpa sepengetahuan kekasihnya. Penjual tersebut bilang jika alat pembersih debu itu sangat berguna dan ampuh membersihkan debu atau pun noda membandel.

Ternyata sama saja. Hanya bualan belaka. Toh piguranya masih tetap kotor.

Lelaki di hadapannya itu tersenyum simpul. Rambut hitam dengan sentuhan blonde tipis yang menghiasi kepalanya itu ia sibakkan, menampilkan jidatnya yang berkeringat sebagai bukti aktivitas fisiknya beberapa menit yang lalu. Ia meletakkan kacamata berframe hitam yang bertengger di matanya dan beralih memegang wajah kekasihnya dengan kedua tangannya.

"Aku yakin kita akan segera bertemu dengannya," ucapnya penuh keyakinan.

Sang Kekasih menggeleng ringan. "Dia pasti akan sangat marah padaku."

"Dia pasti akan mengerti keadaanmu, Sayang." Dikecupnya bibir menggoda kekasihnya. "Dia anak hebat yang mencintaimu."

"Dulu, Sayang," jawab wanita itu pelan.

"Dulu."