"Atlantis Land?"
Ivory melemparkan rasa penasarannya saat ia membaca kalimat yang tercetak dengan samar di depan matanya. Hologram di depannya menampilkan beberapa informasi terkait dengan tempat yang akan mereka kunjungi hari ini. Hanya dengan sentuhan jari telunjuknya saja, sederet gambar, video, dan keterangan tempat wisata di sekitar Makara tersedia untuknya. Aaron memberikan beberapa opsi yang harus Ivory pilih. Ia di minta memilih setidaknya tiga dari sepuluh tempat menarik bagi kencan pertama mereka.
"Kau pernah mendengarnya, bukan?" sahut Aaron dari balik kemudi.
Pria itu menarik sunglasses yang diselipkan di kancing teratas kemeja merah yang dikenakannya dan mengenakannya. Ivory melirik dada Aaron yang terekspos begitu saja setelah dengan santainya pemuda itu melepaskan dua buah kancing kemeja teratasnya. Tanpa sadar Ivory menelan ludahnya. Ia buru-buru kembali fokus pada layar Hologram.
"Umm ... Ku rasa Kak Roger pernah menyebutkannya sekali, dulu." Ia menyentuh tulisan next yang mengambang di depan wajahnya. Sedetik kemudian layar berganti menjadi Village Français dengan gambar bangunan khas Eropa yang mendominasi layar.
"Siapa Kak Roger? Salah satu keluargamu kah?"
"Bukan. Dia anak majikan tempatku bekerja. Dia sudah sangat baik denganku. Aku menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri."
"Oh ya? Dia ikut Copulation juga?"
"Tidak," jawab Ivory. "Dia Gen S. Kakeknya dahulu adalah salah satu anggota Para Petinggi."
"Ah, begitu." Aaron bergumam sambil menghentikan mobilnya di tengah lampu merah. "Seberapa dekat kau dengannya?"
Ivory melirik ke arah Aaron sekilas. Saat mendapati pria di sebelahnya tengah menatapnya tanpa berkedip, ia buru-buru mengalihkan fokusnya lagi pada layar Hologram. Berpura-pura membaca.
"Sejak kakakku meninggal, aku mulai bekerja dengannya. Aku sering diberi makanan oleh Kak Roger. Ia dulu bahkan membantu merawatku dan menemaniku saat tengah berduka. Ia sering bilang begini; 'Ivy, kalau kau lapar. Datang saja kemari. Aku akan memberikan makanan untukmu tanpa sepengetahuan Papa'." Ivory tersenyum saat mengingat kebaikan Roger. "Aku beruntung bisa dekat dengan orang sebaik Kak Roger."
"Kau sering dipanggil dengan Ivy?"
Ivory mengangguk. "Ivory terdengar terlalu panjang untuk disebut. Kata Kak Roger, Ivy lebih simple. Kakakku juga sering memanggilku dengan Ivy."
"Boleh kah aku memanggilmu Ivy juga?"
Netra Ivory mengerjap beberapa kali. "Tentu," cicitnya pelan.
Mana ada Kaum Primer yang pernah meminta izin padanya seperti Aaron barusan?
Sementara itu, Aaron memiringkan kepalanya dan menatap gadis di sampingnya yang sedang memandangi Hologram dengan tatapan kagum. Bibir penuh Ivory bahkan terbuka dan iris violet yang terlindungi kaca mata bulat gadis itu membola tak berkedip. Aaron menyadari jika Ivory yang sedang fokus akan seribu kali lipat lebih menyenangkan untuk dilihat dari pada saat gadis itu tengah ketakutan.
"Ivy?"
Ivory bergumam oh pelan dan mengembalikan atensinya pada dunia nyata.
"Maaf. Aku sedang memperhatikan layar tembus pandang ini," cicitnya. "Tadi kau bilang apa?"
"Kau terlihat lucu."
Aaron lantas menarik gemas pipi kiri pasangannya itu yang langsung dihujani dengan aduhan dari si empunya. Ivory meringis dan menatap pria di sampingnya dengan kaget. Ia tidak menyangka akan dicubit oleh Aaron. Tidak sakit memang. Hanya mengejutkan.
"Kenapa mencubitku?" ucapnya bernada merengek. Ia mengusap-usap pipinya yang tanpa disadari mulai berubah warna menjadi semerah tomat. "Apa ini balasanmu karena aku mencubitmu tadi pagi?"
Aaron Magnifico tertawa keras. Ia mengepalkan tangan kanannya menahan rasa gemas karena melihat Ivory mengaduh kesakitan. Di matanya, tindakan merengek yang barusan Ivory lakukan padanya begitu menyegarkan. Ivory terlihat begitu muda dan sesuai dengan usianya dibandingkan dengan ia yang menampakkan sifat takut dan khawatir beberapa saat yang lalu.
"Mengapa kau begitu menggemaskan?" tangannya terlepas dari kemudi dan beralih mengacak-acak rambut pasangannya.
Sekali lagi Ivory mengerang dan menatap kesal pada Aaron.
"Aarooon."
"Sorry," kekeh Aaron. "Aku tak tahan untuk tidak gemas padamu."
Bibir Ivory kembali dikerucutkan sedemikian rupa. Ia mengembalikan tatanan rambutnya ke tempat semula sembari menatap Aaron menahan rasa malu. Sedetik setelahnya, ia tersenyum malu-malu pada entah siapa.
"Namanya Hologram, Ivy." Jari telunjuk Aaron menunjuk ke arah benda yang disebut Ivory dengan layar tembus pandangbeberapa saat yang lalu. "Dia bekerja seperti layar laptop touchscreen. Kau hanya perlu menyentuh tombol ini—" ia menyentuh tombol power di dekat radio mobil. "—dan berikan perintah melalui suaramu tepat di depan Hologramnya sesaat setelah layarnya menyala."
"Seperti komputer?"
Aaron bergumam hmm pelan. "Ya bisa dibilang seperti itu. Tapi di sini komputer sudah lama tak di gunakan."
"Kau bergurau?" tanya Ivory kelewat heran. Ia menegakkan duduknya dan melanjutkan keheranannya. "Di tempatku tinggal, komputer adalah barang mewah yang sulit didapatkan. Aku bahkan hanya pernah menggunakannya tiga kali seumur hidupku." Ia menatap Hologram itu dengan tatapan memuja. "Dan di sini semuanya sudah begitu canggih."
"Well, kau bisa menemukan banyak rongsokan itu di tempat pembuangan akhir." Aaron mengedikkan kepalanya. "Lupakan. Jangan pernah menyentuh komputer lagi. Itu sudah sangat ketinggalan zaman."
Sekali lagi Ivory menyentuh tulisan next yang kali ini menampilkan tempat bernama 77. Ia terpaku pada tenda-tenda cantik yang tersebar di hamparan padang rumput hijau. Di sekitar tenda tersebut terdapat tong berukuran sedang yang di dalamnya diisi kobaran api dan berbagai alat pemanggang daging.
"Menarik," gumamnya tanpa sadar.
Aaron yang menyadari ucapan lirih dari pasangannya itu.
"Sudah menentukan pilihan?"
***
"Woah ... keren."
Secara otomatis bibir itu berucap saat netranya menangkap pemandangan indah yang membentang di hadapannya. Ivory melangkah lebih dulu memasuki bagunan mungil nan hangat dengan dominasi warna cokelat tua di setiap sudutnya. Tepat di atas pintu masuknya, tulisan 77 terpampang nyata bak ucapan selamat datang bagi para pengunjung.
"Masuk dulu, Ivy. Aku akan menyusul," ujar Aaron. Ia mengangguk meyakinkan Ivory dan berlalu dengan bercakap dengan salah satu pria paruh baya yang mendatanginya.
Dengan perintah itu, Ivory pun melangkah masuk.
Aroma pertama yang menguar dari tempat itu adalah aroma sedap daging sapi yang dipanggang. Kepulan asap dan suara penggorengan memenuhi ruangan yang tak terlalu luas tersebut. Ivory mengedarkan pandangan dan menatap pada salah satu koki yang sedang membalik sepotong besar daging berwarna kecokelatan yang mengeluarkan minyak alami karena proses pembakaran yang sempurna. Sungguh, saat itu juga Ivory nyaris pingsan menahan nikmatnya aroma yang menggoda.
"Sudah ku bilang tempo hari, sepatu yang ia berikan padaku kekecilan! Aku tak bisa memakainya! Bahkan jari kakiku tertekuk sepanjang acara itu..."
"Kalau kau mencampurnya dengan takaran dua banding satu dengan segelas perasan lemon dan beberapa serbuk kayu manis, kau akan mendapatkan racikan minuman terbaik di..."
"Mereka menjualnya dengan harga empat kali lipat lebih mahal di pasar. Bagaimana bisa aku membelinya? Daganganku saja sedang di ambang batas..."
"Pesanan nomor 5!"
Ivory tersenyum diam-diam.
Dengan melihat dan mendengar percakapan dari orang-orang di sekitarnya, ia bisa menyimpulkan bahwa tempat ini bukan lah tempat untuk golongan menengah atas saja. Tempat ini terbuka bagi semua kaum. Matanya bahkan melirik seorang pria dengan pakaian compang camping yang duduk di sudut ruangan sendirian yang ditemani dengan segelas besar beer dan semangkuk penuh kentang manis. Sementara itu, di seberangnya terdapat sekumpulan wanita dengan perhiasan yang mencolok dan tas mahal. Ivory semakin yakin akan opininya tersebut.
Bagaimana bisa ada tempat seperti ini di Makara? Ia tak tahu.
"Hey there."
Aaron mendatangi gadisnya. Senyum lembut dari bibirnya tercetak kala ia menarik Ivory untuk mendatangi meja kosong guna memesan makanan. Tangan Aaron melingkar kasual di pinggang Ivory kala keduanya berjalan beriringan.
"Kau mau makan apa?"
Dahi Ivory mengernyit. Seingatnya tadi di layar Hologram mobil Aaron—ralat—mobilnya, terdapat beberapa tenda dan alat panggangan. Dimana benda-benda itu?
"Umm ..." Ivory ragu-ragu menguatarakan rasa penarasannya. Mata bulatnya melirik Aaron yang menghadapkan seluruh tubuhnya ke arahnya. "Dimana tendanya?"
Aaron bergumam ah pelan dan menunjuk ke arah luar. Dari kaca jendela, Ivory bisa melihat tenda yang dicarinya terjejer rapih di belakang bangunan tersebut. Ia tersenyum kecil dan menggigit bibir bawahnya.
"Kau mau kita makan dis ana saja?"
Boleh kah Ivory meminta sesuatu pada kaum yang derajatnya lebih tinggi darinya?
Ia merasa tidak enak, tapi ia ingin...
Sepertinya memanggang masakan yang akan kita makan sendiri terasa lebih seru.
"Kau harus belajar mengutarakan keinginanmu, Ivy." Tangan kanan Aaron terulur dan menarik bibir bawah Ivory pelan, selembut mungkin. Ia menghentikan aksi menggigit bibir yang refleks Ivory lakukan di saat ia sedang bimbang. "Dan berhenti lah menggigit bibirmu. Aku tak mau hilang kendali lagi."