Napas Ivory tercekat.
Lagi-lagi Aaron sukses membuat tubuhnya meremang karena sentuhannya. Dan ucapannya. Dan kali ini yang disentuh pria itu adalah bibirnya...
"Jadi?"
Ivory menghentikan pikirannya yang mulai mengelana entah kemana. Ia mengangguk perlahan dan tersenyum malu-malu pada pasangannya. Mungkin memang ia harus belajar untuk mengutarakan keinginannya.
"Aku mau," ujarnya.
Sedetik setelahnya Aaron segera memesan tempat bagi mereka berdua untuk menghabiskan kencan pertama mereka. Keduanya digiring oleh salah satu pramusaji cantik yang tak henti menebar senyum lebar ke arah Aaron. Gadis itu berjalan di depan mereka bedua dengan lenggak-lenggok yang terkesan dipaksakan. Ivory nyaris muak melihat gaya pramusaji yang coba menarik atensi pasangannya dengan usaha yang berlebihan.
'Oh, berhenti lah berjalan seperti bebek,' gumam Ivory dalam hati.
Gadis itu akhirnya berhenti menunjukkan atraksi jalan bebeknya saat mereka tiba di salah satu tenda yang kosong. Ivory memperhatikan sekelilingnya. Semula ia kira jarak antara satu tenda dengan yang lain sangat dekat, namun ia salah. Jaraknya mungkin sepuluh meter, dan di kanan-kiri, depan-belakangnya sudah diisi dengan masing-masing ... pasangan.
Ivory merutuk diam-diam.
Ia bertanya-tanya, apakah ini memang tenda khusus bagi pasangan? Ivory sedikit panik.
Sungguh ia tak bermaksud ingin berduaan saja dengan Aaron. Ia memilih tempat ini karena tenda yang tertera di Hologram terlihat begitu cantik dan menarik. Ia tak tahu kalau tenda di tempat makan ini ditujukan bagi pasangan.
Ia khawatir jika Aaron berpikir bahwa Ivory sengaja memilih tempat untuk berduaan.
"Hanya ini yang tersisa, Tuan Magnifico," ucap pramusaji itu. "Tenda yang lain sudah penuh dengan pasangan lain karena kau tahu, sebentar lagi musim dingin tiba."
Aaron Magnifico hanya mengangguk singkat. Setelahnya, pramusaji itu mulai menata daging-daging mentah beserta bumbunya di atas sebuah troli yang sedari tadi didorongnya. Berbagai saus, sayur, dan minuman juga berbaris rapih di sana. Siap disantap oleh Aaron dan Ivory.
Ivory memperhatikan bagaimana cekatannya pramusaji itu mengoleskan berbagai bumbu dan saus ke seluruh daging itu secara merata. Pramusaji itu membolak-baliknya beberapa kali dengan tangan kanan sementara tangan kirinya dengan cepat menyalakan bara api di alat pemanggang yang tersedia. Ya, walau pun sikap genitnya itu sedikit mengganggu, Ivory harus mengakui jika tangan pramusaji itu terampil dan hebat.
Bunyi desisan daging yang menempel pada besi panas sungguh membuat Ivory harus menelan ludahnya. Ia menatap daging itu dengan sorot mata merindu, seolah lama tak bertemu. Memang begitu lah faktanya. Ivory tak pernah makan daging.
Bukan.
Bukannya tidak pernah. Hanya jarang.
Jarang yang menahun, sehingga sampai ke tahap pernah.
Ivory pernah makan daging. Tentu saja itu semua berkat bantuan tangan dermawan Roger yang sempat memasak sepanci besar sup daging sapi pedas yang mereka makan bersama usai pekerjaan selesai. Sejak saat itu, Ivory tak pernah makan makanan mewah itu lagi.
"Serahkan padaku. Aku akan mengurusnya."
Gadis pramusaji itu mengedip genit pada Aaron, yang dibalas dengan senyum tipis pemuda itu. Ia mengeluarkan selembar seratus hara dari dompet dan menyerahkannya pada pramusaji itu yang langsung memekik kegirangan. Tak berapa lama, pramusaji itu segera menghilang dari pandangan.
"Aaron," panggil Ivory setelah gadis itu melesat pergi. "Bukan kah itu terlalu banyak untuk sebuah tip?"
Dan yang ditanyai hanya terkekeh pelan. Ia mengusap lagi rambut Ivory. Hanya mengusap, tidak mengacak-acak, tapi tetap saja efeknya masih sama seperti biasa.
Jantung Ivory berdegup lebih kencang.
"Seratus hara tak ada artinya buatku, Ivy. Semua orang memberi tip sebesar itu. Lagi pula aku menghasilkan satu juta hara setiap jamnya. Tak usah khawatir."
Ivory hanya menggeleng lemah. "Aku tak mengerti dengan kehidupan Kaum Primer," gumamnya bingung.
Pasangan Copulation itu sibuk membakar berbagai potong daging hingga tingkat kematangannya sempurna. Ivory bertugas membaluri daging dengan bumbu, sementara Aaron sedang berusaha membuat dagingnya agar tidak gosong. Keduanya bergerak begitu selaras dan harmonis. Sesekali Aaron akan meminta pasangannya untuk mengambilkan saus, dan Ivory dengan sigap akan memberikan apa pun yang dibutuhkan Aaron. Keduanya bercakap ringan seraya tertawa akan pengalaman pribadi yang dituturkan satu sama lain.
"Kau tahu, aku bahkan pernah nyaris dikeluarkan dari sekolah karena membakar buku pelajaran Matematika milik teman sekelasku! Mama memarahiku habis-habisan. Aku dihukum Papa dengan cara menyita seluruh mainan dan gadgetku. Mereka bahkan memotong uang jajanku sebulan penuh."
Ivory terbahak mendengar penuturan pasangannya. Dari percakapan mereka, Ivory jadi tahu jika Aaron mulanya adalah anak laki-laki yang cukup bandel dan menyusahkan kedua orang tuanya. Ia kira pria itu adalah golongan pria dari Kaum Primer yang penurut, ternyata sama saja. Aaron ternyata juga memiliki banyak aib di masa kecil.
"Belum lagi waktu Chicko mencoba menipuku dan menjebakku agar datang ke lapangan di sore hari. Untung aku menyadarinya dan berhasil menjebaknya balik. Aku mengolesi lem di jok sepedanya. Esok harinya, ia bahkan datang ke sekolah dengan celana yang bolong di beberapa tempat."
"Kenapa kau sangat nakal?" tanya Ivory di antara tawanya. Ia bahkan harus memegangi perutnya yang terasa kram menahan ledakan tawa. "Aku tak menyangka kau pernah sebandel itu."
"Namanya juga anak laki-laki," jawab Aaron yang terkikik sembari mengangkat daging yang sudah matang. Ia meletakkannya di atas piring lebar yang di bawa Ivory dengan kedua tangannya.
Setelah semua makanannya siap, mereka duduk berdua di tepi tenda dan menikmati makanan mereka yang didapatkan dengan penuh perjuangan selama setengah jam belakangan.
"Selamat makan!"
Satu gigitan akhirnya tiba di antara giginya. Ivory mulai mengunyah dalam diam dan membelalakkan matanya sebagai seketika. Tekstur daging yang smokey dan juicy membuat lidahnya menari-nari. Ia merasa seperti mengicip masakan surga saat mengunyah daging itu lambat-lambat.
"Ini sangat sangat sangat enak, Aar!" pekik Ivory. Ia tersenyum lebar seraya menatap Aaron dengan binar bahagia.
"Kau suka?" tanya Aaron yang dibalas dengan anggukkan antusias dari gadis manisnya.
"Suka sekali. Ini luar biasa. Terima kasih, Aaron."
"Sama-sama," jawab Aaron. Ia menatap lekat Ivory yang makan dengan lahapnya. "Apa yang biasanya kau makan di rumah?"
Sialnya saat itu mulut Ivory penuh akan makanan. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan dan meminta Aaron untuk menunggu sejenak. Sial bagi Ivory karena daging panas yang memenuhi mulutnya membuatnya mengibas-kibaskan tangan untuk mengurangi rasa panasnya.
"Astaga. Lucunya kau ini," komentar Aaron sambil menuangkan segelas air putih dan menyerahkannya pada Ivory.
Ivory meminumnya perlahan hingga mulut penuhnya kembali kosong. "Terima kasih. Maaf tidak sopan."
"Berhenti lah meminta maaf," tegur Aaron. Ia berdecak kesal. "Aku ingin kau bersikap seterbuka mungkin padaku. Jangan terlalu kaku, okay?"
Ivory mengangguk dua kali.
"Di rumah aku biasanya makan sayur-sayuran dan ikan makarel. Setidaknya sebulan sekali makan gurita. Di tempat tinggalku, harga ikan masih terjangkau," jawab Ivory atas pertanyaan yang dilontarkan Aaron sebelumnya.
"Kau tidak makan daging?"
"Itu terlalu mahal."
"Bahkan daging babi?"
Ivory tersenyum kecut. "Harga daging babi itu bisa sebulan penuh gajiku. Jika aku ingin makan sepotong daging sapi, setidaknya menunggu hingga tiga bulan bekerja, baru lah aku bisa membelinya. Kau tak tahu perbedaan harga daging bagi Kaum Primer dan Sekunder. Jaraknya benar-benar jauh."
Aaron mengangguk lambat-lambat.
Sesaat sebelum Ivory menyuapkan potongan daging ke mulutnya, Aaron mengambil banyak potongan daging miliknya dan meletakkan di atas piring pasangannya.
"Aaron, jangan laku—"
"Makan yang banyak. Aku suka melihatmu mengunyah. Berlipat kali terlihat lebih lucu." Aaron menampilkan cengirannya seperti biasa. "Ingat, tak ada penolakan. Tak ada argumen."
Bisa apa Ivory selain mengucap syukur karena dipertemukan dengan pria sebaik Aaron?