Ivory yang semula ingin membantah, balik mengurungkan niatnya. Ia menghabiskan makanan di piringnya dengan patuh karena tak ingin membuat Aaron tersinggung. Selain itu, perlakuan manis Aaron membuatnya tak tega untuk tak mematuhi ucapan pasangannya. Lagi pula, jarang-jarang ia bisa menyantap makanan lezat seperti ini tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.
Di tengah-tengah sesi makan tersebut, Ivory melontarkan pertanyaan yang membuatnya penasaran sejak awal.
"Aaron, umurmu berapa?"
Pria yang ditanyai oleh pasangannya hanya tersenyum simpul. "Coba tebak," sahutnya.
Ivory berpikir keras. "Uhm, dua puluh … lima?"
"Sedikit lagi benar," kekeh Aaron. "Umurku dua puluh enam. Beda enam tahun denganmu."
"Wow, dua puluh enam dan sudah sesukses ini," komentar Ivory pelan.
"Banyak yang lebih sukses dariku. Teman-teman satu kelasku rata-rata memiliki posisi penting di banyak perusahaan. Banyak juga yang sekarang bergabung dengan Para Petinggi."
"Kau tak tertarik bergabung dengan Para Petinggi juga?"
"Politik bukan kesukaanku," jawab Aaron. "Aku alergi dengan kekuasaan semacam itu. Lebih baik berbisnis dan menjauhkan diri dari penyakit."
Ivory tertawa karena mendengar Aaron mengumpamakan Para Petinggi dengan istilah penyakit. Aaron memang tak salah. Tidak semua orang yang menjadi anggota Para Petinggi bisa hidup dengan tenang.
Bagi mereka yang memiliki mental kuat, maka mereka dapat menjadi bagian dari pengendali Negara Amerta. Akan tetapi, untuk yang memiliki mental lemah, maka mereka bisa ditendang ke dalam penjara. Bahkan yang lebih parah, dibunuh tanpa melalui hukum pengadilan terlebih dahulu.
Ivory mengetahui fakta tersebut dari Roger. Roger tentu tahu sedikit hal tentang Para Petinggi karena darah keluarganya yang menjadi bagian dari rezim tersebut. Kakeknya yang meninggal akibat dibunuh oleh Para Petinggi yang lain menjadi salah satu contoh nyatanya.
Roger pernah bercerita pada Ivory bahwa kakeknya dihukum mati karena mencoba keluar dari keanggotaan Para Petinggi setelah mendengar hal yang tak seharusnya ia dengar. Setidaknya itu yang Roger ceritakan pada Ivory sebagai pengingat betapa mereka yang berkuasa di atas sana bisa melakukan banyak hal tanpa mempedulikan orang lain.
Yang sesama Kaum Primer saja dengan mudahnya dibantai, apalagi jika Kaum Sekunder berulah?
Hening lama menyelimuti mereka sebelum Aaron memecahkannya dengan sebuah pertanyaan sederhana.
"Apa kau punya wish list?"
Ivory yang sedang mengunyah, perlahan-lahan menghentikan gerakan mulutnya.
"Tentu saja," jawabnya riang. "Aku menuliskan tujuh buah wish list setiap ulang tahunku semenjak umurku tujuh tahun di sebuah buku diary," terangnya.
"Tujuh wish list sejak kau berumur tujuh tahun? Umurmu saat ini dua puluh, bukan?"
Ivory mengangguk lagi.
"Berarti sudah ada 98 wish list yang kau tulis?"
"Ya." Ivory menumpuk piringnya yang telah kosong di atas piring milik Aaron yang sudah lebih dulu tak bersisa. Bibirnya menyunggingkan senyum manis menerawang kala ia mengingat daftar keinginannya yang tersimpan rapih di diarynya. "Aku berencana menuliskan 100 wish list hingga ulang tahunku yang ke 20, tapi aku masih belum menemukan 2 harapan terakhirku."
"Boleh aku melihatnya?"
"Jangan!" tolak Ivory tegas. Ia berdehem kikuk karena baru saja berteriak di depan muka pasangannya. "Maaf, maksudku, tidak usah. Sebagian besar hanya angan-angan kekanakan yang tak terlalu penting. Kau akan menyesal setelah membacanya."
Aaron menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. "Ku pikir tidak. Aku tertarik dengan keinginanmu."
Violet Ivory beradu pandang dengan amber indah Aaron. Ucapan Aaron barusan membuatnya terpaku. Sejenak ia teringat akan ucapan seseorang di masa lalu yang pernah berkata hal yang sama padanya.
"Terima kasih, Aaron, tapi tidak usah. Kau tidak perlu mengabulkannya untukku. Aku tidak enak—"
"Setidaknya beri tahu sepuluh teratas dari wish listmu! Anggap saja kau sedang bertukar rahasia dengan sahabatmu. Bukankah ide itu lebih meringankanmu?"
Sahabat...
'Dia hanya menganggapku sahabatnya kah?' Ivory membatin seketika.
Ivory terlihat sedikit keberatan akan permintaan Aaron. Sejujurnya ia mau saja memberitahu semua wish list miliknya, namun ia malu dan merasa kurang percaya diri karena toh Aaron bukan orang terdekatnya. Beda ceritanya jika Roger yang sudah tahu sebagian besar wish list miliknya.
"Ayo lah, Ivy. Pasanganku yang manis. Beri tahu padaku sekarang."
Sialan Aaron.
Padahal tadi ia baru saja dianggap sebagai sahabat. Sekarang Aaron memanggilnya sebagai pasanganku-yang-manis. Pintar sekali pria itu membolak balikkan perasaan seseorang dalam waktu singkat.
Jantung Ivory yang belum bisa berdetak normal kali ini semakin bergemuruh mendengar ucapan gombal dari pria yang lebih tua darinya. Ucapan itu terdengar murahan, tapi entah mengapa Ivory menyukainya. Padahal perasaannya baru saja diombang ambingkan.
"Ivy," panggil Aaron.
Ivory menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.
"Baik lah," ucapnya dengan berat hati. "Tidak sepuluh, tapi delapan. Delapan dari sembilan puluh delapan daftar yang ku punya. Bagaimana?"
"Cool."
Ivory tertawa kecil. Ia mengingat-ingat lagi daftar keinginannya yang sudah disusun sedemikian rupa. Ia ingat betul setiap coretan keinginannya, namun ia kerap lupa urutannya. Urutan sebenarnya begitu penting baginya karena itu melambangkan prioritas keinginannya. Itu sebabnya, Ivory berusaha keras untuk mengingat nomor delapan sampai pertama dari hal yang ingin ia raih.
"Yang ke delapan..."
Aaron menatap Ivory penuh harap. Ia terlihat benar-benar penasaran, dan tidak hanya sekedar berbasa-basi tentang ketertarikannya terhadap harapan Ivory. Pria itu bahkan sampai mencondongkan tubuhnya ke arah pasangannya.
"Aku ingin menikmati salju pertama dengan orang yang ku sayangi."
Di detik itu juga pekikan dari orang-orang di sekitar hinggap di indera pendengaran Ivory.
"Salju! Salju turun!"
"Salju pertama di musim dingin telah turun!"
Kedua pasang netra pasangan itu beralih menatap langit biru yang membentang di atasnya untuk mencari tahu kebenarannya.
Dan benar.
Salju pertama di musim dingin telah turun. Lebih awal dari perkiraan. Padahal jika menilik pada ramalan cuaca, seharusnya salju pertama akan turun minggu depan. Ini semua di luar perkiraan Ivory. Sebuah kebetulan luar biasa yang tak disangka-sangka.
Mereka berdua menatap butiran salju kecil yang mulai membasahi rambut dan pakaian mereka.
Ivory terpekur memandang langit yang menurunkan butiran salju. Ia mengulurkan telapak tangannya di udara dan merasakan dinginnya es yang menerpa kulitnya. Ia tersenyum simpul dan melirik Aaron yang diam-diam tengah memandangnya. Ivory melemparkan seulas senyum manis pada pasangan Copulation-nya tersebut.
Kebahagiaan yang dirasakan Ivory dibuyarkan dengan panggilan telepon dari ponsel Aaron. Pria itu menarik keluar smartphonemiliknya dari saku coat hitamnya dan menatap sumber panggilan itu. Ivory bisa melihatnya, nama yang tertulis di layar.
Joy.
Calon istri pasangannya menelponnya.
Raut wajah Aaron ragu sejenak sebelum ia menekan tombol merah, me-reject panggilan dari pujaan hatinya.
"Kenapa tak kau angkat?" tanya Ivory ragu-ragu. Ia penasaran. Sebelum-sebelumnya Aaron akan dengan penuh semangat mengangkat panggilan dari gadisnya dan mengabaikan Ivory selama berjam-jam. Seperti tadi malam, misalnya.
Namun, kini Aaron malah menolak panggilan itu dan beralih menatap manik Ivory dalam-dalam.
"Kau bilang kau ingin menikmati salju pertama? Mari kita nikmati bersama."