Ivory meletakkan sumpit dan sendok yang barusan ia gunakan untuk melahap nasi beserta lauk pauk yang ia masak dengan bantuan para asisten rumah tangga. Ia yang semula berniat untuk memasak satu menu saja, tiba-tiba membuat berbagai hidangan untuk sekali makan. Asisten rumah tangga Aaron mengatakan bahwa pemilik rumah biasanya akan memakan makanan dengan menu yang berbeda setiap harinya. Itu sebabnya, Ivory menurut saja dan membantu menyiapkan makanan dengan antusias.
Perutnya terasa sangat kenyang hingga ia nyaris tak bisa menghabiskan makanannya. Ini pertama kalinya ia merasakan kekenyangan semenjak dua puluh tahun ia hidup. Sebagai orang yang acap kali kelaparan daripada kekenyangan, ia merasa tak enak hati untuk tidak menghabiskan makanan. Rasa sayang itu lebih menguatkan dirinya dan membuatnya harus menghabiskan hingga butir nasi terakhir. Ia tak mau menyia-nyiakan berkat yang di terimanya.
Sungguh, seharusnya ia tak berhenti mengucap syukur karena bisa makan masakan semewah ini. Bukannya ia menyombongkan kemampuan memasaknya, hanya saja bahan yang ia olah adalah bahan berkualitas bagus. Belum lagi dengan bantuan tangan-tangan terampil asisten rumah tangga Aaron. Jadi boleh kan ia menyebutnya masakan mewah?
"Masakanmu enak juga. Kau jago masak?"
Ivory yang sedang mengelap bibirnya dengan tisu itu pun menggeleng ringan.
"Bukan jago. Aku hanya ... bisa. Kakakku yang mengajariku."
"Oh iya? Kalau begitu kakakmu sangat hebat berarti. Lihatlah hasilnya."
Pujian itu lagi-lagi membuat rona di wajah Ivory. Pipinya menghangat, seperti biasa ketika Aaron melontarkan pujian. Ivory suka mendengarnya.
"Dimana kakakmu sekarang? Apakah ia bekerja di Makara?"
Tubuh Ivory membeku sejenak. Ia mendadak merasa tak nyaman dengan pertanyaan dari Aaron. Pertanyaan itu membuatnya terpaku dan sedikit sedih secara tiba-tiba.
"Dulu ia bekerja di salah satu Pusat Farmasi di Makara," jawab Ivory pelan.
Aaron berdecak kagum mendengarnya. "Itu sangat keren. Mengingat cukup sulit bagi Kaum Sekunder untuk mendapatkan pekerjaan seperti itu di Makara, pasti kakakmu orang yang pintar," pujinya lagi.
Ivory tersenyum hambar. "Dia memang pintar. Salah satu orang terpintar di daerahku," sahut Ivory. "Dia juga gigih, ulet, dan tidak mudah menyerah. Ia selalu bertekad untuk bisa kerja di Pusat Farmasi itu karena yang ia tahu gaji yang ditawarkan cukup banyak. Tidak sebanyak gaji Kaum Primer tentu saja, tapi sangat banyak bagi Kaum Sekunder seperti kami," imbuhnya.
"Apakah dia masih bekerja disana?"
Ivory memilin-milin tangannya yang tersembunyi di balik meja. Kenangan akan kakaknya begitu menyiksanya selama ini. Ia tak ingin memberitahu Aaron, tapi ia tak sanggup menahannya. Menceritakannya begitu perih. Bagaikan mengoyak lagi luka lama yang telah mengering. Akan tetapi, menahannya terasa jauh lebih pedih.
Mungkin sedikit cerita akan lebih melegakannya.
"Tidak. Dia sudah meninggal," jawab Ivory pada akhirnya.
Aaron yang mendengar hal itu pun bergegas meletakkan kembali gelas yang ia genggam. Netranya memandang binar Ivory yang redup, terhalang oleh air mata tipis yang menggenangi bola mata indah itu. Kali ini giliran ia yang merasa tak enak hati.
Gadis itu mengerjapkan bola matanya guna mengenyahkan air mata yang membatasi pengelihatannya. Setelahnya, Ivory mulai bertutur. "Dia sudah tiga kali mengikuti Copulation. Semuanya selalu berhasil. Ia berhasil hamil dan melahirkan dengan selamat. Tak ada masalah apa pun. Namun, saat Copulation keempatnya, ia tiba-tiba dinyatakan sterile. Ia tidak bisa mengandung. Ia tidak bisa menyerahkan anaknya pada Dewan Tertinggi." Ivory menarik napas dalam-dalam sebelum memberi penjelasan akhirnya. "Setelah Para Petinggi tahu akan hal itu, mereka mengeksekusi kakakku karena dianggap gagal melayani pemerintah."
Dengan kejinya mereka menghabisi nyawa kakaknya yang tak berdosa. Ingatannya melayang akan potongan tubuh kakaknya. Dengan kejamnya para bajingan yang bersembunyi dibalik identitas 'Para Petinggi' itu mengirimkan potongan tubuh kakaknya ke rumah Ivory.
Ingatan itu menghantuinya selama bertahun-tahun.
"Bagaimana bisa seseorang yang sudah berhasil hamil kemudian setelahnya dinyatakan sterile? Kasus seperti itu sepertinya jarang terjadi. Itu tidak masuk akal!" ucap Aaron.
Ivory menggeleng lemah. "Itu yang ku pikirkan bertahun-tahun," katanya. "Nyaris tak mungkin, dan ku rasa baru pada kakakku lah kasus itu terjadi."
"Tapi bukan kah sangat tidak adil bagi kakakmu? Setidaknya ia sudah bisa menyerahkan anak pada Dewan Tertinggi diCopulation sebelumnya. Bukannya hukuman itu seharusnya diterapkan bagi Gen F yang gagal saat awal pembuahan? Itu pun tidak selalu hukuman mati, 'kan?"
"Tetap saja tidak adil." Ivory berargumen. "Menghilangkan nyawa orang yang bersalah itu sama sekali tidak adil. Jangan hanya karena kami adalah kaum bergen F lalu kami bisa ditindas sepuasnya. Bukan kah sesama makhluk hidup sudah seharusnya tidak saling melukai?"
Aaron dapat menangkapnya, amarah yang terbalut kesabaran di mata Ivory. Ivory jelas begitu marah akan perlakuan yang diterima kakaknya. Akan tetapi, Aaron mengagumi kesabaran Ivory yang masih dengan tenang mengucapkan rasa kecewanya dengan santun. Ia tidak membentak atau menghardik Dewan Tertinggi seperti yang ia bayangkan. Ia begitu menekan rasa kecewanya.
"Aku turut bersedih mendengarnya."
Dengan ragu, Aaron menarik tangan Ivory yang terpilin, tersembunyi rapih di bawah sana. Mata Violet Ivory membola melihat Aaron menggenggam tangannya. Ia menggigit bibir bagian dalamnya dan menghindari eye contact dengan amber pria itu.
"Aku juga minta maaf atas perlakuanku semalam. Maaf aku sudah menakutimu. Aku hanya ... umm ... Kau tahu. Terbawa suasana."
Ivory yang duduk di samping Aaron itu mengangguk ringan. Semalam setelah ia dibawa kembali ke rumah, Aaron tidak langsung meminta maaf padanya. Ia hanya diminta untuk beristirahat, sementara pemuda itu juga masuk ke kamarnya sendiri. Ivory tak tahu bahwa ternyata saat ini lah Aaron meminta maaf padanya atas kejadian semalam.
Ia masih menghindari menatap wajah Aaron yang tak henti memandangnya barang satu detik pun.
"Aku tahu kau butuh waktu. Pasti sulit untukmu untuk berhubungan denganku yang bukan siapa-siapamu. Aku akan membiarkanmu membiasakan diri terlebih dahulu."
Gadis yang diajak bicara itu mengangguk lambat-lambat.
"Kita punya waktu maksimal satu bulan sebelum pemeriksaan pertama oleh Para Petinggi. Saat pemeriksaan itu berlangsung, kau sudah harus positif hamil," terang Aaron. "Ini memang sulit, tapi mau tak mau kau harus hamil jika tak ingin—"
Kepala Ivory semakin menunduk dalam. Ia menggeleng sekali dan bergumam lirih. "Aku tahu. Maafkan aku."
Aaron yang melihat gerak-gerik pasangannya itu pun mengangkat dagu Ivory. Ia merasa terluka saat pasangannya bahkan tak berani memandang wajahnya. Ia tahu pasti Ivory masih shock atas perlakuannya yang tak sopan bahkan di hari pertama gadis itu pindah ke rumahnya.
"Tatap mataku, dan jangan minta maaf. Kau tak salah sedikit pun. Aku yang membuatmu takut hingga kabur dari rumah semalam. Maafkan aku, ya?"
Niat Ivory yang mulanya ingin menahan dirinya agar tidak terbawa perasaan sepertinya akan goyah.
Bagaimana bisa ia tidak terbawa perasaan di saat pria tampan di hadapannya meminta maaf dengan sangat manis?
Ivory melihat ketulusan itu, di sana, di mata amber Aaron. Ketulusan itu terpancar di binar netranya. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu Aaron bukan lah pria yang jahat. Aaron hanya ingin menyelesaikan tugasnya secepat mungkin.
"Ivory, kenapa melamun?"
Sosok yang ditegur itu sontak mengerjapkan mata saat telapak tangan Aaron mengayun di depannya beberapa kali. Ia buru-buru menggeleng dan mengangguk sebagai jawabannya. Ia sebenarnya bahkan tak sadar tengah terlihat seperti melamun.
Aaron kemudian mengusap lembut rambut pasangan Copulation-nya. Ivory tersenyum simpul dan membiarkan kepalanya diusap-usap oleh pasangannya. Biar lah untuk sejenak ia menikmati perlakuan manis pria itu. Biar lah untuk sejenak ia berpura-pura jika Aaron memang lah pasangan sesungguhnya.
Biar lah untuk sejenak ia menjadi egois.
"Jangan kabur lagi seperti semalam, ya? Aku panik mencarimu kemana-mana dan mendapati kau sedang bersama salah satu Guardian. Kau tahu bukan, kau bisa terkena masalah jika ketahuan oleh salah satu dari mereka? Mereka bisa menyeretmu ke Para Petinggi dan menghukummu karena dianggap tidak patuh."
"Tapi dia—"
"Dan juga jangan pergi tanpa memakai jaket dan sepatu. Memangnya kau makhluk purba yang selalu bertelanjang kaki? Kau pikir sekarang masih musim panas? Ini musim gugur, Ivory. Seminggu lagi sudah musim dingin. Kau tahu sendiri suhu disini sangat dingin. Bagaimana jika kau membeku? Hipotermia? Hah?"
Sungguh, Ivory tak pernah menyangka jika pasangannya akan secerewet ini. Apakah itu tandanya Aaron peduli padanya? Boleh kah Ivory berharap jika Aaron benar-benar peduli padanya?
Dengan perasaan hangat, Ivory mengangguk perlahan.
"Good girl," ujar Aaron seraya tertawa.
Ia menghentikan sentuhannya di kepala Ivory dan beralih mengusap pipinya perlahan.
"Mandi lah dan siap-siap. Aku akan mengajakmu bersenang-senang hari ini. Aku mau mengenalmu lebih jauh."