Tahukah kau apa cuaca cerah itu?
Langit tidak mendung dan tidak hujan. Matahari bersinar dengan cerah sementara suhunya tidak begitu panas. Jika tanda-tanda seperti itu ada, maka sangat bagus untuk melakukan aktivitas di luar ruangan.
Namun, seseorang dengan penampilan tertentu tidak memanfaatkan cuaca cerah itu dengan baik. Dia tidak berniat melakukannya. Apa yang ada diluar, cukup sinar matahari sebagai penerang yang dia butuhkan.
Mata biru yang setengah tertutup terlihat fokus saat membaca kata demi kata dalam buku di tangannya. Ruangan yang tenang dan damai, hanya dia disana seolah menjadi pemilik tempat itu. Gadis yang menyukai buku, Levina Brezard.
"Semua orang sibuk berpisah dengan guru dan temannya dan disini kau, membaca buku seperti biasa."
Gadis dengan seragam yang sama sepertinya, rambut berkilau emas melambai saat dia mendekati sosok pembaca buku yang diam.
"Sudah kuduga kau di sini," ucap gadis berambut pirang saat berada disampingnya.
Levina membalik halaman dengan lancar dan melanjutkan kegiatannya. Dia hanya bersenandung dengan suara 'mm' ringan membalas katanya.
Dicuekin.
Allya Grandson, gadis itu memandang datar anak yang membaca buku.
"Semua orang sudah pulang jadi, mengapa kau tetap di sini?" tanyanya setelah ikut duduk di samping Levina. Matanya mengintip buku yang dia baca.
"Membaca buku."
Jelas.
"Aku tahu itu juga. Kenapa kau tidak pulang?"
Levina mengangkat bahunya ringan. "Sama denganmu, kenapa kau tidak pulang?"
Ditanya pertanyaan yang sama membuatnya bingung sejenak. "Entahlah, aku hanya punya firasat kalau kau berada di sini."
"Hmm."
Setelah itu terjadi keheningan yang cukup lama. Levina yang membaca bukunya, sedangkan Allya yang menikmati cuaca hari ini. Lalu dia memecahkan keheningan tersebut.
"Lulus ya? Memang waktu berjalan tanpa kita sadari," Allya berkata entah mengapa, matanya menerawang ke langit.
Hari ini mereka telah lulus dari sekolah, mengingat hal itu, wajah Allya mengandung Kesedihan. Ingatan tentang saat-saat dia bersekolah disana membuat hatinya sedih dan bahagia.
"Tidak usah khawatir, masih ada sekolah lagi setelah ini. Kecuali kau ingin berhenti sampai sekolah dasar, kau masih bisa melanjutkan sekolah."
Dia menatap Levina yang entah sejak kapan telah menutup bukunya dan sedang memandang langit dari jendela di samping mereka.
Seperti yang dikatakan Levina, sekolah pertama yaitu sekolah dasar. Hal yang dipelajari di sana tentu dasar-dasar pendidikan seperti perhitungan, sejarah, bahasa, olahraga, dan lain-lain.
Sekolah lanjutan, sekolah yang menjurus ke masing-masing minat atau keahlian para siswa. Biasanya mereka ingin memperdalam ilmunya atau memperkuat kemampuan mereka.
Allya melirik temannya yang tenang memandang langit. Dia cemberut mendengar kata temannya.
"Hei Vina," panggilnya pelan.
"Apa?"
"Untuk sekolah lanjutan, kau ingin mendaftar di mana?"
"Mm ... entahlah. Kurasa Trakson Academy."
"Trakson? Mengapa memilih itu?" Trakson Academy merupakan salah satu sekolah lanjutan yang terkenal di daerah mereka. Namun, seingat Allya tidak ada hal yang membuat Levina tertarik pada sekolah itu.
Levina mengetuk buku ditangannya.
"Karena dekat."
Allya menatapnya datar. "Selain itu?"
"Hm ... karena ada perpustakannya."
Pasti buku, ya? Allya menghela nafas.
" ... semua sekolah memiliki perpustakaan."
"Mm."
Allya mendesah pelan. Gadis itu sedikit iri dengannya karena Levina memiliki nilai yang bagus. Tidak seperti dirinya yang harus belajar dengan sungguh-sungguh.
"Kalau kau?" tanya Levina.
"Huh? Apanya?"
"Di mana kau ingin mendaftar?" tanyanya sambil tetap memandang langit.
Allya menundukkan kepalanya sambil berpikir. Nilainya tidak terlalu bagus jadi, pilihan sekolah yang diinginkannya terbatas. Tapi, jika dia berusaha setidaknya dia mendapatkan nilai yang cukup baik. Hal itu membuat pikirannya kacau.
Tiba-tiba mendapat ide, dia menatap temannya yang masih memandang langit dengan tenang. "Vina, aku punya ide. Bagaimana kalau kita mendaftar di Altair Academy bersama-sama? Kudengar sekolah itu sangat bagus loh!" Allya berkata dengan semangat.
"Altair Academy ... Apa kau tidak bosan bersekolah di sekolah yang sama denganku terus?"
Mendengarnya, Allya menjadi bingung, dia menjawab dengan nada tegas, "kenapa aku harus bosan? Kau itu temanku. Lagi pula aku ingin mencoba bersekolah di sekolah yang memiliki asrama."
"Asrama?" Kali ini Levina tidak lagi memandang langit, dia menatap teman masa kecilnya dengan bingung. Sedangkan yang ditatap memiliki senyum lebar di wajahnya.
"Apa bisa?" Allya menunggu jawaban dari temannya. Dia diliputi rasa penasaran dan gugup entah apa.
Levina memandang ke bawah, keningnya mengerut tampak memikirkan sesuatu. Kalau dia tinggal di asramanya secara otomatis dia tidak akan tinggal di rumahnya. Dia tidak memiliki banyak keluarga, hanya seorang paman yang jarang berada di rumah. Baginya dia hanya tinggal sendirian di rumah itu, meski begitu, tetap saja butuh izin darinya.
"Kurasa bisa."
Mendengar jawaban itu, Allya tidak bisa menahan senyumnya dan memeluk temannya sambil mengucapkan rasa terima kasih kepadanya dan dalam hati.
Levina membiarkannya. Namun, momen kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat karena adanya pertanyaan dari Levina.
Dia mengingat sesuatu yang penting, dari kalimat yang pernah dia baca.
"Allya?"
"Apa apa?"
Allya menjawab masih tersenyum. Levina ragu sesaat sebelum membuka mulut.
"Altair Academy itu, kau sadar ujian masuknya sangat sulit 'kan?"
Bagaimanapun, Altair Academy adalah sekolah yang terkenal dan berprestasi. Tentu saja, orang yang ingin masuk tidak boleh sembarangan.
Dipaksa menghadapi kenyataan, muka Allya seketika berubah menjadi suram. Senyumnya menjadi kaku.
"Mengapa aku baru mengetahuinya?"
***
"Nomor 317, Levina Brezard," suara dari petugas bergema saat dia menyebut nama peserta dari dekat pintu diujung lorong.
Levina yang sedang menunggu di tempat duduk berdiri ketika namanya disebut. Dari sisi yang ingin di tujuinya, seseorang berjalan dengan wajah gugup. Dia telah menyelesaikan ujian mendaftar, entah apa yang telah dilaluinya sehingga dia memiliki kerutan di wajahnya.
Saat Levina ingin menyapanya, sebuah tangan mencegatnya. Pemilik dari tangan itu adalah Allya Grandson.
"Aku akan mendukungmu, semoga berhasil," nadanya terdengar sedikit gemetar, mendengarnya Levina mengerutkan keningnya.
"Tentu, terimakasih. Beristirahatlah."
Levina berjalan setelah tangannya dilepas. Sebenarnya yang lebih dia khawatirkan adalah Allya. Dalam hati, dia mendoakan teman masa kecilnya.
Levina berdiri di depan pintu, sebelum mengetuk dia mengambil napas dalam-dalam.
"Masuk," ucap seseorang dari dalam ruangan setelah Levina mengetuknya.
Ruangan yang cukup besar dengan sebuah jendela yang bisa dilihat saat masuk, di tengah-tengah ruangan itu sebuah meja panjang yang ditempati oleh tiga orang dewasa. Masing-masing dari mereka duduk santai di kursi dan memiliki kertas di tangannya. Di atas meja itu, terdapat beberapa data-data dari peserta lain, termasuk Levina.
Ketiga orang itu adalah petinggi dari sekolah, mereka memancarkan aura yang berbeda dengan guru di sekolahnya. Suasana diruangan itu cukup berat.
Oh, jadi ini ya.
"Levina Brezard?" ucap seorang pria yang memakai jubah coklat panjang, Gargon Trualan. Dia duduk di sebelah kiri sedang membaca kertas dokumen berisi data-data Levina.
"Ya pak."
Levina duduk di kursi yang disediakan setelah mendapat ijin.
Gargon mengangkat matanya dari kertas data Levina. Suaranya acuh, "Apa alasanmu mendaftar di sekolah ini?"
Karena ajakan temanku, Levina tidak mungkin mengatakan hal itu. Jadi, dia memikirkan alasan yang lebih masuk akal. Bagaimana pun ini termasuk penilaian.
Alasannya harus masuk akal dan meyakinkan.
Aku ingin belajar lebih dalam lagi.
Nggak mungkin. Jika seperti itu dia hanya perlu membaca buku dan dia sudah sering melakukannya.
Aku ingin mempelajari sihir.
Tidak, sama saja dengan sebelumnya. dia bahkan tidak terlalu tertarik dengan itu.
Karena ada perpustakannya.
Tidak mungkin 'kan? Temannya saja langsung menolaknya.
Berpikir tentang Allya, alasan apa yang dia berikan? Itu menumbuhkan rasa penasaran dalam dirinya.
Levina berpikir lebih dalam lagi, dia tidak menyangka mencari sebuah alasan akan sesulit ini. Dia perlu mencari alasan yan logis dan tepat. Jika tidak tepat, tidak ada cukup alasan mengapa dia memilih bersekolah di sini. Hal itu bisa menyebabkan dia gagal.
Tba-tiba dia mengingat kata-kata dari sebuah buku. Alasan yang sering digunakan namun tidak pernah diragukan lagi akan cocok.
"Aku ingin ... menjadi lebih kuat, untuk melindungi seseorang yang berharga bagiku," ucapnya setelah beberapa saat. Nadanya terkesan agak monoton mengingat dia melafalkan kalimat dari buku yang dia baca.
Gargon berOh-ria sedangkan para penilai lainnya hanya merespon dengan anggukan. Mereka mulai menulis di dalam dokumen.
Tidak ada reaksi berarti yang mereka tunjukkan. Mungkin sudah terbiasa.
Apakah dia memilih alasan yang salah?
"Alasan yang mulia. Tapi kau harus membuktikannya, kata-kata saja tidak cukup. Buktikan lewat tindakan," kata penilai wanita bernama Salia Vandest. Meski rupanya yang menawan tapi, tatapan dan kata-katanya menusuk.
"Aku akan berusaha," balas Levina.
Sebenarnya dia hanya meminjam kata-kata itu di dalam buku yang pernah dibacanya. Apapun itu dia sudah terlanjur mengatakannya.
Sebuah benda dengan kilau terang di letakkan pada meja didepannya.
Kemudian, Gargon berbicara, "baiklah, selanjutnya kami akan mengukur sihirmu."