Bola kristal itu berwarna putih. Alat yang digunakan untuk mengetahui jenis sihir apa yang dimiliki orang tersebut saat dia mengalirkan sihirnya. Benda itu sekarang berada di depan Levina. Dia menatap bola kristal yang pernah dilihatnya saat sekolah dasar sebelumnya.
Dia tahu betul apa itu.
Tangan Levina menjulur ke depan bersiap untuk mengalirkan mananya ke dalam. Dia meletakkan tangannya di atas bola kristal itu. Perlahan-lahan dia mulai mengalirkan mananya ke dalam benda itu.
Dengan mana yang mengalir masuk, bola kristal itu mulai bersinar dengan warna biru terang seperti laut yang luas, cahaya biru yang jernih mengelilingi bola itu. Para tim penilai yang melihatnya terdiam sambil diam-diam terpesona ke dalam cahaya yang dihasilkan itu. Cahaya itu perlahan memudar begitu Levina menarik kembali tangannya.
"Oh," kata Penilai yang dari tadi diam mengawasi, dia akhirnya mengeluarkan suaranya, nadanya mengandung rasa senang. Penilai itu memakai jubah dengan model yang sama dengan Gargon, hanya warnanya yang berbeda, sedikit lebih terang darinya.
Traner Heraldic, penilai yang biasanya diam menatap bola kristal yang tidak lagi bercahaya, pikirannya berkelana. Dia berharap melihat cahaya itu lebih lama, seperti warna cahaya itu familier di suatu tempat. Pikirannya tidak bisa menggapai apa itu.
Levina menatap para penilai yang menggerakkan tangan untuk menulis. Dia diam-diam menunggu.
Salia menjadi yang pertama mengangkat kepalanya dari dokumen itu, dia berbicara, "bisa kau tunjukkan beberapa sihirmu kepada kami?"
Ketika Levina akan menjawabnya, Gargon bersuara. "Ada apa? Apa kau mulai tertarik pada anak itu?" Gargon sedang berbicara yang mengandung sindiran halus.
Pandangan sinis Salia segera diarahkan pada Gargon.
"Katakan itu lagi. Sadarkah berapa lamanya kau menatap kertas itu, waktu yang kita miliki terbatas. aku tidak ingin waktuku terbuang lebih banyak lagi. Masih ada banyak peserta yang menunggu di luar," komentar Salia. Matanya yang dimana berwarna merah api menatap tidak suka kepada Gargon.
Seseorang pernah berkata bahwa tatapannya bisa membuatmu terbakar.
Namun, yang ditatap tetap tersenyum.
"Tenanglah, tidak perlu marah begitu," kemudian Gargon memandang Levina, "kalau begitu, silahkan kau serang target ini dengan sihir terbaikmu."
Dengan sihir tanahnya, Gargon menciptakan sebuah target dari tanah dengan gerakan tangan sederhana, bentuknya seperti manekin manusia. Proses pembuatannya pun berlangsung dengan singkat.
Levina mengangguk sebagai jawaban, mencoba mengabaikan pertengkaran singkat yang barusan terjadi di depan matanya. Dia berbalik pada target yang telah disiapkan untuknya.
Dia mengangkat tangannya, lalu mulai mengalirkan mana dari dalam tubuhnya dan mengumpulkannya disatu titik, di atas tangannya. Sihir dasar dari elemen air, dia memutuskan akan memakai itu.
Dalam ruangan yang berisi empat orang, para penilai menyaksikan adegan Levina yang sedang membentuk sihirnya.
Bola air mulai terbentuk di atas tangannya. Levina mengarahkan bola air berbentuk bulat sempurna ke arah target di depannya.
"Aqua ball," ucapnya, tidak pelan tidak keras.
Bola air meluncur dengan cepat dan menabrak target di depannya, target yang terbuat dari tanah itu menabrak dinding dan hancur seketika menyisakan genangan air yang kotor di bawahnya.
Kejadian itu terjadi seketika.
Ruangan itu menjadi hening.
"Tidak buruk," ucap Gargon tanpa sadar. Salia dan Traner tetap diam saat mereka memiliki pemikirannya masing-masing.
"Siapa yang mengajarimu itu? Caramu mengendalikan sihir lebih baik dari rata-rata siswa disini," Gargon menyandarkan dagunya pada telapak tangannya saat mengamati Levina.
Levina berkedip sebentar, "terima kasih, aku hanya mendengarkan kata-kata guruku di sekolah dan berlatih sendiri sesuai arahannya."
"Begitu ... baiklah, jadi, elemen air ya ... Jika harus berbicara, kau telah menunjukkan sihir dasar dengan baik, meski durasinya agak lama hasilnya lumayan Apa kau punya teknik lain?"
Setelah berpikir sesaat, Levina menggelengkan kepalanya. "Tidak, teknik yang lain tidak ada yang begitu baik."
"Oh, begitu." Ada kekecewaan di dalamnya, namun mukanya tetap acuh.
Apa dia salah memilih lagi?
Setelah itu, Mereka bertanya beberapa hal lagi. Pertanyaan yang diberikan cukup sulit, tapi dia menjawabnya tanpa masalah. Buku-buku yang dia baca membuat sesi tanya jawab berlangsung tanpa dengan lancar.
Dengan atmosfer yang kuat serta pertanyaan yang membutuhkan analisis dalam, membuat Levina merasakan kelelahan mental. Inilah yang dilalui Allya sebelumnya.
"Baik, penilaiannya sudah selesai, silahkan keluar." Gargon Lalu menatap Salia, "ada seseorang disini yang sudah tidak sabar," gumamnya sambil menatap Salia dengan seringai mengejek. Salis hanya mengirim tatapan sinis seperti biasa dan tidak berkomentar.
Pandangan Gargon tetap mengamati Levina hingga sosoknya keluar dari ruangan.
Setelah pintu ruangan tertutup, Salia tersenyum miring. "Ada apa? Apa kau mulai tertarik dengan anak itu?" Salia berkata mengulangi kalimat Gargon tadi. Kebanyakan pertanyaan tadi ditanyakan oleh Gargon.
Gargon merasa tersindir, balas menatap wanita yang mempunyai mata merah menyala itu.
"Aku hanya terkesan dengan cara dia menghancurkan sihirku dengan begitu mudahnya. Yah, hanya itu."
Salia mengangkat alisnya.
"Benarkah hanya itu? Memang, harus kuakui sekarang ini anak-anak terlalu lemah dibanding generasi sebelumnya. Saat ini sulit mencari orang berbakat," Salia menghela nafasnya.
"Penilaianmu itu saja terlalu tinggi,." Gargon ikut menghela nafasnya, dalam hati ikut setuju dengan peryataan Salia.
"Konsentrasilah, kalian, peserta selanjutnya akan tiba." Traner berkata, dia telah menyelesaikan catatannya.
Mengapa dia duduk diantara dua orang ini? Tapi, mungkin pengaturan ini lebih baik, karena jika mereka tidak dipisahkan, entah pertengkaran apa yang bisa terjadi.
Gargon menyesuaikan posisi duduknya. Tangannya merapikan dokumen dengan cermat.
"Aku harap orang selanjutnya memilki kemampuan yang layak."
"Tidak puaskah kau dengan yang sebelumnya?" kali ini Salia menyindir Gargon.
Gargon tersenyum miring.
"Manusia itu serakah tau."
Salia mendengus, "terserah."
Para penilai mulai menyelesaikan catatannya masing-masing selagi menunggu peserta selanjutnya terpanggil. Banyaknya dokumen yang harus diurus merupakan bukti betapa terkenalnya Altair Academy.
Lalu nomor berikutnya dipanggil.
"Nomor 318, Arov Xanderz," suara menggema di lorong untuk ke sekian kalinya.
Di lorong, suara langkah kaki yang mantap terdengar.
Seorang laki-laki muda dengan rambut merah menyala yang sama dengan warna matanya, dia berjalan tegap. Mata merah terangnya melirik sekilas pada orang di depannya. Lalu, dia melewati Levina begitu saja.
Lalu di suatu tempat terpencil, cahaya yang terpendam jauh dalam kegelapan mulai menunjukkan tanda-tanda bersinar.
***
Levina dan Allya berjalan pulang bersama. Mereka pulang sehabis proses pendaftaran selesai. Selanjutnya, hanya tinggal menunggu hasil pengumumannya tiga hari berikutnya.
"Menurutmu apa kita akan berhasil?" tanya Allya di tengah perjalanan mereka. Mengingat proses penilaian sebelumnya membuat kegelisahan muncul dalam dirinya.
"Kita tunggu saja hasilnya nanti," Allya cemberut mendengar balasan Levina yang seadanya.
Altair Academy, Gedung tempat mereka mendaftar. Levina berencana untuk menuju ke perpustakaan sekolah itu, tapi Allya menyuruhnya untuk segera pulang dengan alasan hari sudah mulai gelap. Jadi, ia hanya bisa menatap gedung bertingkat yang perlahan mulai menjauh itu.
Karena halaman Altair Academy yang begitu luas, mereka masih setengah perjalan menuju gerbang. Allya berpikir ini akan bagus untuk Levina yang jarang menggerakkan tubuhnya.
"Bagaimana hasil ujianmu tadi?" tanyanya ingin menghapus kebosanan.
Levina merenung singkat.
"Biasa saja."
"Eh, apa itu? Aku ingat beberapa pertanyaannya sangat sulit. Bagaimana kau menjawabnya?
"Ya, kujawab saja. Sebenarnya itu tidak sulit jika kau sudah membaca beberapa buku seperti itu. Kau tinggal mengaitkannya dengan bidang lain."
"Hmm, perkataannya membuatnya terlihat mudah kecuali jika aku tidak mengalaminya secara langsung. Tidak ada hal lain selain itu?"
Levina mulai bertanya-tanya apakah temannya ini memiliki ujian yang berbeda darinya. Dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Mereka hanya bertanya alasan masuk dan pengendalian mana."
Allya mengerutkan dahinya, dia berpikir mengapa mereka menanyakan hal itu pada Levina. Dia mulai penasaran apa yang telah temannya perbuat sehingga menyebabkannya seperti itu.
Dari keadaan Levina yang tenang-tenang saja--walau dia biasanya tenang-sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena hal itu sudah berlalu dia memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
"Kalau kau, apa yang kau lakukan di sana?" Levina bertanya.
Angin dingin berlalu saat musim mulai berganti. Di atasnya, langit berubah semakin gelap. Mereka berdua berjalan dengan langkah ringan, didampingi cerita Allya sepanjang perjalanan.