Suara ledakan terdengar di sepanjang arena, di atasnya berdiri dua orang yang saling bertarung satu sama lain. Mereka bertarung dengan masing-masing sihir mereka.
Api dan tanah.
Kedua atribut itu beradu satu sama lain. Menggunakan kemampuan mereka masing-masing, keduanya melancarkan serangan terbaiknya, memberitahu kepada pihak masing-masing kehebatan kemampuan mereka.
Aturan dala pertarungan cukup sederhana, tidak boleh menyerang lawan dengan serangan mematikan. Pemenang akan ditentukan jika lawannya tidak sanggup melanjutkan atau menyerah. Adapun jika orang itu keluar dari arena maka otomatis dia akan kalah.
Di bawah arena yang merupakan tempat yang aman, para penonton yang tak lain merupakan kelas 1-C sendiri menatap pertarungan itu dengan berbagai pandangan.
Di tempat yang tinggi, Gargon mengawasi mereka dari atas. Dia baru membuat tanah menjulang setelah pembuatan arena itu. Setiap pertarungan selesai, dia akan memperbaiki arena yang rusak dari tempat itu dengan sihirnya.
Hanya dengan lambaian tangan.
Tentu saja jika terlihat mulai membahayakan, Gargon akan turun tangan karena dia yang mengadakan latih tanding ini. Sambil mengawasi dari tempat tinggi, Gargon mengeluarkan seringainya. Kemudian menjadi gerutu saat melihat arena yang rusak sekali lagi. Melambaikan tangan lagi.
Syuuuf.
"Rasakan ini! Fireball!"
Conie melemparkan bola api ke arah Tom yang menjadi lawannya saat ini.
Melihat bola api yang semakin mendekat, Tom bergerak untuk melindungi dirinya, "Earth Wall."
Dinding dari tanah muncul dari bawah menghadang bola api yang menuju arahnya. Gumpalan asap tercipta ketika kedua sihir itu saling bertabrakan. Masing-masing berdiam diri hingga asap-asap itu mulai menipis.
Suara decakan kagum dilayangkan oleh para penonton yang melihat aksi di atas arena itu. Dinding tanah yang dibuat tom masih berdiri tidak mengalami kerusakan kecuali bekas hitam yang menggosongi tengah dinding akibat bola api.
Dari balik dinding, Tom menampakkan seringainya,. "menyerah saja. Sihirmu tidak akan bisa merobohkan dindingku!"
Namun Conie hanya tersenyum kecil. "Kau benar, tapi siapa yang tahu? ... Fireball!"
Sekali lagi bola api menghantam dinding tanah milik Tom, menambah jejak hitam di dinding tanahnya. Seakan belum cukup, Conie melanjutkan lagi.
"Belum cukup! Fireball! Fireball! Fireball!' laki-laki berambut cepak itu membentuk bola api dan menembakkannya berulang kali.
Bomm!
Bomm!
Bomm!
Gumpalan debu semakin banyak, dan ledakan semakin terdengar lebih banyak. Tom hanya diam di tempat masih dengan senyum mengejeknya."Sudah kukatakan bola apimu tidak mempan! Menyerah saja!"
Ledakan terdengar lagi.
"Ck, apa yang salah dengan orang ini? Keras kepala sekali."
Tom tidak habis pikir mengapa lawannya itu menembakkan sihir yang sama berulang kali walaupun dia tahu itu tidak berguna. Apapun itu dia tidak tahu dan tidak berniat mau tahu. Kemenangan sudah jelas milik siapa, dia hanya perlu berdiam diri di sana tanpa melakukan apapun sambil terus bertahan di belakang dinding yang dibuatnya.
Kemenangan yang mudah, dia tidak perlu melancarkan serangan lagi. Tom akan menunggu lawannya kehabisan mana dan akan menyerangnya saat waktunya tiba.
Itupun jika dia masih punya tenaga. Ini terlalu mudah! pikir Tom sambil menertawakan lawannya.
Senyumnya semakin lebar saat suara ledakan tidak terdengar lagi. Apa musuhnya sudah kehabisan mana? Apapun itu kemenangan sudah ada dalam genggamannya.
"Hahaha, Sepertinya kau kehabisan manamu. Inilah kesempatanmu, jika kau mau aku akan membiarkanmu menyerah. Aku baik 'kan? Aku tidak mau menyerang seseorang yang telah kehabisan mana. Bagaimana?"
Suara Tom terdengar sangat jelas, dia seakan membiarkan para penonton juga mengetahui perbuatan baiknya.
"Hm?"
Tom yang tidak mendapatkan balasan, menjadi bingung dan waspada. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempat itu. Lawannya setidaknya masih punya tenaga untuk berbicara. Dia berhati-hati karena asap yang masih belum menghilang.
Selagi Tom berpikir, sebuah gerakan terlihat di balik asap yang mulai menipis itu. Jangan-jangan—
"Kau terlalu membanggakan dinding jelekmu itu!"
Teriakan Conie muncul bersamaan dengan kepalan tangannya yang muncul dari belakang Tom. Tom yang tidak punya kesempatan menghindar terkena pukulan ke wajahnya.
Tubuh Tom terhempas ke belakang menabrak dinding tanah miliknya.
"Agh," erangan kesakitan keluar dari mulut Tom yang berada di atas tanah. Dia tidak mengira akan dipukul. Ketika rasa sakitnya belum sepenuhnya menghilang, sebuah suara ceria muncul.
"Menyerah?"
"Mana mung—"
Saat Tom membuka matanya, dia melihat sebuah telapak tangan tepat di depannya. Sungguh itu bukan ancaman baginya, jika saja tangan itu tidak mengeluarkan bola api di depan wajahnya saat ini.
Wajahnya merasa panas.
Tom memalingkan muka dengan kesal dan mau tidak dia sudah kalah. Bagaimana bisa dia menghindari api yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya?
Melihat keadaan Tom yang seperti itu, Gargon menyatakan hasil pertarungan.
"Pertarungan berakhir. Pemenangnya Conie Garlius!"
Suara riuh penonton terdengar jelas di sepanjang halaman itu menjadi bukti berakhirnya latih tanding antara Conie Garlius dan Tom Krans. Pertarungan yang terjadi tadi merupakan pertarungan yang lebih heboh dari pertarungan sebelumnya yang terkesan biasa-biasa saja.
Conie menuruni arena dengan senyum lebar berbanding terbalik dengan Tom yang masih tidak menerima hasilnya. Menyerang dari belakang itu menurutnya tindakan pengecut, tetapi dia tidak menyalahkannya. Jika saja latih tanding tadi bukan pertarungan nyata, dia mungkin sudah terluka parah.
'Kau terlalu membanggakan dinding jelekmu itu!' saat itu suara Conie terngiang di kepalanya.
Dalam hati, dia memikirkan kelemahan pada sihir tanahnya tadi. Mulai sekarang dia akan memperbaiki dirinya dan melatih dirinya agar tidak terlalu bergantung pada kemampuan sihirnya. Setidaknya dia berpikir latih tanding yang menurutnya tidak ada gunanya ini justru membuatnya menyadari kelemahannya.
Dalam hati dia telah menetapkan sebuah keputusan, agar hal yang sama tidak terjadi padanya lagi suatu saat.
Dia akan menjadi kuat!
***
Di tempat yang tinggi Gargon melihat dari jauh pertarungan. Mata Gargon yang sipit memandang murid-murid di bawahnya, dia membaca daftar nama di kertas yang dipegangnya, bersiap memilih siapa yang akan bertarung selanjutnya.
Gargon menyeringai, selain dari ingin menguji kemampuan orang-orang yang akan didiknya dia juga ingin melihat kemampuan beberapa orang di sana, terutama Levina. Dengan pertemuan singkat sebelumnya dia tidak puas, dia ingin melihat lebih kemampuan Levina.
Dengan suara lantang Gargon mengumumkan petarung selanjutnya. "Pertarungan selanjutnya, Levina Brezard melawan Arov Xanderz."
Gemuruh terdengar di halaman itu. Mata penonton menatap seseorang yang sedang naik ke atas arena. Pemuda dengan rambut merah yang mencolok serta alisnya yang tajam melangkah dengan gagah ke atas arena.
"Hei! Dia dari keluarga Xanderz!'
"Xanderz? Xanderz yang itu? Keluarga yang jatuh beberapa tahun lalu?"
"Kudengar keluarga Xardenz mulai bangkit kembali. Mereka memiliki seorang jenius di sana!"
Arov mengepalkan tinjunya mendengar bisikan mereka. Dia harus menang-bukan tapi pasti menang. Walaupun ini hanya sekedar latih tanding, dia tidak boleh kalah, meski itu perempuan. Dia akan membangkitkan nama keluarga Xanderz sekali lagi.
Di sisi lain, Levina melangkah dengan santai. Dia memikirkan tentang rencana dia akan menyerah di tengah-tengah pertandingan. Untuk itu dia akan bertarung sedikit, hanya sekedar menguji kemampuan bertarungnya yang telah lama tidak digunakan.
"Jangan lupa aturannya. Kalian berdua siap?"
Arov dan Levina mengangguk hampir bersamaan.
"Kalau begitu, Pertarungan, mulai!"