Matanya memancarkan suatu tekad tertentu. "Guru, tapi aku rasa menurut salah satu aturannya, saat murid keluar dari arena dia akan kalah 'kan?"
"Ya begitulah, kau benar juga ... Hm?"
'Apa ini?'
Tiba-tiba Gargon merasa ada sesuatu yang akan terancam saat murid di depannya menatapnya dengan serius untuk menunggu jawabannya. Dia merasa jawaban ini akan berdampak pada calon muridnya.
Insting penyihirnya memberitahunya. Dia harus hati-hati saat menjawabnya, agar tidak kehilangan orang di depannya.
Gargon berpikir sejenak. Dia telah memutuskan.
"Ya, kau benar," balasnya dengan penuh ketegasan.
Dengan kata lain, Arov telah dikorbankan.
"Memang begitulah aturannya. Itu sudah ketentuan."
Gargon terus berbicara, tidak ada keraguan di dalam nada suaranya.
"Lawanmu kalah karena dia keluar dari arena."
Juga, memang itulah kebenarannya.
"Selamat atas kemenanganmu."
Kesimpulannya, hukuman bersih-bersih tujuh hari itu telah ditetapkan pada Arov yang tak sadarkan diri. Di sisi lain, Levina menjadi rileks. Mulutnya tersenyum mendengarnya.
"Terima kasih guru."
"Tidak apa-apa."
Entah mengapa, Gargon merasa ada sesuatu yang aneh dari pembicaraan ini, tapi kemudian melupakannya dengan cepat.
Kemudian Gargon mengingat sesuatu. "Sebelumnya kau mengatakan hanya bisa satu sihir 'kan? Mengapa perkataanmu bertolak balik saat ini?" Gargon menyeringai, berpura-pura tampak marah.
"Em. Guru itu ... aku belum menguasainya, sihir yang lain." Levina segera menjawabnya dengan sedikit kebohongan. Namun, sebagai penyihir tingkat atas, Gargon tentu tahu itu tidak sepenuhnya benar.
"Baiklah jika kau tidak mau mengatakannya. Ingatlah rajin-rajinlah berlatih dan jangan sampai kehabisan mana lagi."
"Ya guru ... Saya akan berlatih," dengan nada paksaan di akhir kata.
Untuk berjaga-jaga ketika ada kejadian seperti ini.
Ya kejadian di mana saat baca bukunya dipertaruhkan.
'Hm?'
Gargon hendak pergi ketika dia melihat wajah di depannya penuh kebingungan.
"Ada apa?"
Levina terlihat ragu sebelum memutuskan membuka mulutnya,"aku punya satu pertanyaan lagi guru."
***
Asrama para murid terletak agak jauh dari lingkungan sekolah. Karena itu, seseorang harus menempuh waktu untuk mencapai gedung asrama mereka.
Di langit yang gelap, terlihat siluet seseorang yang sedang berjalan dengan lambat, sedikit tersandung beberapa kali. Dengan cahaya lampu jalan yang menerangi jalan, wajahnya terlihat kelelahan dan pucat.
Siluet itu adalah Levina.
Levina yang kelelahan akibat kehabisan mana harus kembali ke kelasnya untuk mengambil barang-barangnya, apalagi dengan jarak sekolah dan asramanya agak jauh.
Untungnya, dia masih sempat makan untuk mengisi sedikit energinya sebelum menuju kamarnya.
Dia langsung berbaring di kamarnya dan akan tertidur ketika Maria keluar dari kamar mandi dan memperhatikannya.
"Levina? Jadi kamu sudah datang ya? Tadi sore ada seseorang yang datang mencarimu."
Levina membuka matanya dan berbalik dengan bingung. Siapakah gerangan itu, walau dia sudah bisa menebaknya. Bagaimanapun, dia tidak banyak berinteraksi dengan orang lain.
"Siapa?"
"Namanya, Allya ... Allya Grandson. Dia datang mencarimu sore tadi, tapi kamu tidak ada saat itu. Dia berkata akan datang lagi besok."
Levina mengangguk-angguk.
"Begitu ya, terima kasih."
"Iya, tidak masalah."
Setelah mengatakan itu, Maria kembali melanjutkan kegiatannya sementara Levina masih berbaring di tempat tidur dengan lelah. Dia mengingatkan pada dirinya untuk mencari Allya besok sebelum akhirnya tertidur.
***
Hari itu cerah.
Setelah tidur semalam, mana Levina sudah kembali sepenuhnya. Di tangannya ada buku yang akan dia kembalikan ke perpustakaan nanti setelah kelasnya selesai.
Ketika memasuki ruang kelas 1-C, kau bisa mendengar pembicaraan mengenai pertandingan kemarin. Mereka tidak seberisik sebelumnya karena setelah melihat latih tanding itu, mereka telah mempunyai perkiraan kekuatan orang-orang di kelas mereka.
Di antara mereka, ada yang sedang menunggu kedatangan seseorang tertentu.
Ketika melihat suasana di kelasnya, Levina memutuskan untuk mengambil tempat duduk paling belakang agar dia bisa membaca dengan tenang. Setidaknya itu yang dia rencanakan.
"Hei kamu! Akhirnya kau datang juga!" Suara yang keras itu muncul di antara suara-suara lainnya dan menarik pandangan orang-orang ke arahnya. Namun, orang itu tidak peduli ketika dia berjalan ke belakang. Matanya yang merah melotot pada Levina.
Levina menatap laki-laki merah penuh perban dengan bingung, seperti pernah melihatnya.
"Ada urusan apa denganku?"
Laki-laki itu melotot ketika dia berteriak, "aku ingin pertandingan ulang!"
Sekarang Levina mengingatnya. Orang di depannya adalah murid yang dia lawan kemarin.
Tapi dia tidak mengerti. Arov di depannya masih penuh luka dan terlihat menyedihkan dengan perban-perban yang membungkusnya.
"Dengan aku? Kenapa?"
Levina tidak berkeinginan melawan seseorang yang penuh luka.
"Pertandingan kemarin tidak dihitung jadi aku ingin memperjelas tentang siapa yang menang di pertandingan itu."
"Tapi kau kalah dariku."
"Aku tidak kalah!"
Bak!
Arov memukul meja Levina dengan keras.
"Aaa!" Muka Arov yang marah meringis ketika tangan yang memukul meja tadi berdenyut kesakitan.
Dia memegang tangannya, berusaha tidak merubah ekpresi wajahnya. Meski begitu, ujung matanya berkerut menahan rasa sakit.
Ada jeda waktu.
Kemudian dia berteriak lagi, kali ini memastikan tangannya jauh dari meja.
"Aku tidak kalah! Kubilang pertandingan kemarin tidak dihitung! Jadi bertarunglah denganku agar pemenangnya jadi jelas!"
Levina menatapnya dengan iba, melawan seseorang yang penuh luka? Dia menolaknya. Meski orang itu baik-baik saja, dia tetap tidak berminat.
Dia lebih memilih membaca buku dibandingkan dengan itu.
"Makasih, tapi aku menolaknya."
"Kenapa?!" Arov marah dan menunjuk Levina. "Apa kau takut? Kau takut tidak bisa menang dariku 'kan? Bilang saja!"
Levina menatapnya dengan aneh.
Dia jelas-jelas mencoba memancingnya.
Dibandingkan dengan takut, dia merasa kasihan dengannya.
Tangan Arov yang menunjuk Levina gemetaran akibat kesakitan, ditambah penampilannya yang penuh luka, hal-hal itu sama sekali tidak membuatnya mengancam.
"Kurasa sebaiknya kau mengurus dirimu dulu."
Di antara orang-orang yang menonton, seseorang laki-laki berambut coklat mendekat pada mereka berdua.
"Siapa kau?" tanya Arov.
Dia tersenyum. "Aku? ... namaku Reith Boulder. Panggil saja aku dengan Reith. Ngomong-ngomong pertandingan kalian sangat menarik. Aku terhibur."
Dia berdiri di samping Arov dan melihatnya. "Tapi sayangnya kau terlalu memaksakan dirimu sampai jadi begini."
Dengan tak merasa bersalah, laki-laki bernama Reith itu memukul lengan orang di sampingnya. Muka Arov menahan rasa sakit ketika dia menjauh darinya.
"K-kau! Kenapa kau memukul ku? Apa kau ingin bertarung juga? Baiklah, sini, maju kalian berdua!"
Kapan aku setuju untuk bertarung? Levina menatap kedua orang di depannya dengan diam.
Reith tertawa mendengar Arov. "Bertarung? Dengan keadaanmu saat ini kau tidak bisa bertahan lama. Sudahlah, mari kita bahas saja pembagian tugasnya."
Seketika wajah Arov berubah menjadi bingung.
"Ha? Pembagian apa?"
Reith tersenyum lebar padanya. "Kita itu teman senasib," ucapnya dengan cerah. Dia melangkah dan melingkarkan lengannya di leher Arov, mengabaikan mukanya yang sekarang menjadi kesakitan.
"Temanku, aku juga kalah di pertandingan itu, karena itu, mari kita bekerja sama untuk seminggu ke depannya." Dia tersenyum lebar padanya.
Arov berkata dengan cepat. "Sudah kubilang aku tidak kalah!"
Namun Reith mengabaikannya dan memalingkan wajahnya kepada Levina. "Maaf mengganggu waktumu."
Kemudian Reith mendorong Arov menjauh. "Mari kita lanjutkan diskusi kita, kawan."
"Hei tunggu! Lepaskan aku! Aku belum selesai bicara dengannya!"
Levina menatap mereka yang perlahan menjauh sebentar kemudian membuka bukunya dengan tenang.
Orang yang aneh.
***
Ekspresi Arov menunjukkan bahwa dia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Seolah-olah mengetahuinya, Gargon mengulangi perkataannya dan dengan jelas menyebutkan nama-nama muridnya yang kalah. Di antaranya ada nama Arov Xanders.
Dan teman senasibnya, Reith Boulder.
Gargon mengamati seluruh murid di kelasnya. Tatapannya berhenti sebentar pada Levina sebelum keluar dan berkata acuh, "bagi mereka yang kalah kemarin silahkan untuk mengerjakan hukumannya setelah ini. Siapa pun yang tidak mengerjakannya, hukumannya akan diperpanjang."
Arov melihat gurunya yang keluar, tidak bisa mengeluarkan protesnya, dia menatap Levina dengan marah sebagai gantinya. Namun, sebelum Arov sempat berbicara, Reith sudah membawanya pergi.
Di tempat duduknya, Levina mulai membersihkan barang-barangnya dengan cepat. Dia memutuskan untuk mencari Allya setelah meminjam buku baru. Akan lebih bagus jika mereka segera bertemu.
Langkahnya ringan dan cepat.
Levina berjalan menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dia pinjam sambil memikirkan buku apa yang akan dia pinjam selanjutnya.
Beberapa saat kemudian, bangunan Perpustakaan sudah ada di depannya. Namun langkahnya tidak berlanjut dan berhenti sebelum masuk ke area perpustakaan.
Matanya tidak menatap bangunan di depannya, melainkan bangunan di dekatnya.
Levina menatap bangunan tempat dia dirawat kemarin. Hanya sekilas, dia melihat sesuatu yang mencolok.
Hari itu hari yang cerah dimana matahari tidak tertutup awan sama sekali. Rambut itu mencolok ketika terpantul sinar matahari.
Rambut emas.
Perlahan genggaman buku yang dia pegang tanpa sadar melonggar. Suaranya mengandung kebingunan yang jelas.
"... Allya?"
Allya yang dilihat Levina sedang dibawa ke ruangan perawatan, tidak sadarkan diri.