Cahaya terang menyelinap melalui ventilasi berlapis, menyinari ruangan dengan sedikit cahayanya. Dalam ruangan yang tersinari cahaya itu, mantel coklat tertentu berdiri dekat jendela.
Gargon mengamati keadaan melalui jendela di ruangan tersebut, tangannya bersidekap di depan dadanya.
Terdengar bunyi langkah kaki mendekat diikuti dengan suara yang jelas. "Lihat apa yang kutemukan disini. Beberapa waktu lalu kupikir aku melihat seseorang yang antusias dengan muridnya atau mungkinkah itu hanya bayanganku?"
Gargon menatap orang yang kini berhenti di sampingnya. Rambut merah itu semakin bersinar kala cahaya matahari jatuh di atasnya. Kemeja putih berlengan panjang dan rok hitam gelap menyelimuti tubuhnya.
Orang itu berbicara lagi, manik terang bersinar di matanya. "Sepertinya kau punya cukup waktu luang ya? Aku sarankan kah menggunakan itu untuk mengurus murid-murid yang kau miliki."
Gargon mendengus, nadanya mengandung sindiran.
"Lihat siapa yang datang, Crimson Mage? Dilihat-lihat kau juga punya waktu ya? Tidak bosan mengangguku."
Orang yang dipanggil Crimson Mage itu bernama Salia. Dia tidak terpengaruh pada ucapan Gargon.
"Menganggu? Tidak seperti seseorang, aku punya banyak urusan untuk dilakukan. Lagipula tidak ada keuntungan yang aku dapatkan dari mengganggu mu."
Kemudian, pandangan Salia terfokus pada satu titik di luar.
"Biar kutebak ... Itu pasti perbuatanmu kan?"
Gargon mengikuti arah pandang Salia, hal itu mengarah pada senyum nakal di bibir Gargon. Matanya terus menatap halaman belakang sekolah saat dia berbicara.
"Bagus bukan?"
Bagaimana pun, Salia tidak memberi komentar tentang itu.
"Aku ingin bertanya sesuatu."
"Oh, apa ini?" Gargon menyatakan dengan main-main, tidak biasanya Salia bertanya sesuatu.
"Ledakan kemarin, kuduga itu berasal dari kelasmu. Pastikan kau mengatasinya dengan baik."
"Tidak perlu kau katakan sudah kulakukan. Kejadian seperti itu tidak biasa terjadi. Justru aku tidak menyangka akan terjadi baru-baru ini. Anak itu benar-benar sesuatu."
Mendengar balasan Gargon, Salia berbalik dengan tidak minat.
"Seseorang bertindak berlebihan lagi," gumam Salia.
Gargon menatapnya, kemudian terkekeh dengan. "Apa ini? Apa kau takut aku akan mengalahkanmu dengan itu? Yah, lagipula kau sangat tahu tentang itu. Tapi tetap saja, muridku akan mengalahkan muridmu dengan senang hati. "
Salia melirik Gargon.
"Sepertinya seseorang sedang bermimpi. Ini masih siang hari, jika kau tidak tahu. Tapi baiklah, kemudian, kita akan lihat di atas arena nanti, bagaimana penampilan mereka dan siapa yang akan menang."
"Mengapa bertanya hal sejelas itu, jawabannya sudah jelas milikku," Gargon mengatakan hal itu dengan bangga.
Salia sedikit tersenyum.
"Lihat siapa yang berbicara, kupikir aku masih mengingat sosok seseorang yang kalah tahun lalu. Kira-kira siapa namanya ya?"
Sejenak ekspresi Gargon runtuh, namun dia segera menggantinya dengan kepercayaan diri. Tentu saja, Salia menangkapnya. Alisnya terangkat satu.
"Kau percaya diri ya?"
"Tentu saja!" Gargon menjawab dengan jelas.
Salis memicingkan matanya dan tertawa kecil.
"Jangan banyak berbicara dan tunjukkan nanti." Dengan begitu Salia berjalan pergi.
Gargon ingin membalas melihat bahwa Salia telah berjalan cukup jauh, jadi dia menutup mulutnya. Dia kembali berbalik untuk melihat halaman itu, berisi sekumpulan orang yang tidak lain adalah siswa-siswanya sendiri.
Gargon memandangi mereka dan merenung.
Dia berencana untuk mengalahkan murid milik Salia. Jadi dia berpikir untuk mengubah rasio latihan yang biasa dia berikan.
Latihan apa yang bagus untuk meningkatkan kemampuan muridnya?
Mengalahkan murid Salia. Gargon mengakui kemampuan Salia. Tidak mudah mengalahkan wanita itu. Selain cara mengajarnya yang baik, Salia juga bisa mengembangkan potensi yang dimiliki muridnya.
Lagi pula dibandingkan Gargon, Salia lebih terkenal darinya. Crimson Mage adalah julukannya. Bara api pembakar.
Tenru saja Gargon bisa mengajar dengan baik, dia pun mempunyai metodenya tersendiri, hanya saja pelatihannya berbeda dengan guru-guru lainnya. Selain itu, dia juga salah satu guru yang berkemampuan diantara guru-guru lainnya.
Tuk tuk tuk.
Jarinya mengetuk tembok saat dia berpikir.
Setelah melihat hasil pertarungan kemarin, kira-kira dia mempunyai perkiraan kasar tentang kemampuan di kelasnya. Ada beberapa yang menarik dan potensi yang dimiliki cukup tinggi.
Keberagaman itu tentu harus diikutkan dalam pemikirannya.
"Jenis latihan ya?"
***
Pada bagian samping halaman sekolah, dimana murid Gargon sedang menjalankan hukumannya.
Terlihat seorang murid berambut merah sedang bersuka ria. Mari menggambarkannya seperti itu.
Tangannya meraih rumput dengan kedua tangannya, lalu menariknya dengan semangat, terlalu semangat malahan. Energi yang berlimpah itu membuat tanah-tanah di akarnya berterbangan.
"Tch."
Satu rumput tercabut.
"Tch!"
Rumput lainnya tercabut.
"Tck!"
Lalu, seperti yang kau tahu, rumput lain tercabut tanpa halangan.
Disana, Arov berjongkok dengan kedua tangannya yang memegang rumput. Ekspresinya begitu kesal ketika dia berdecik saat rumput lain tercabut dari tanah.
"Sst, jangan pedulikan dia. Abaikan saja."
Tidak jauh darinya, seseorang berbisik-bisik pada teman di samping saat mereka menjaga jarak dari Arov.
"Argh!" Arov melempar rumput di tangannya. Matanya melotot pada arah lain, bahkan tangannya mulai mengeluarkan hawa panas.
"Tutup mulutmu sebelum aku membakarnya, aku bisa mendengar kata-katamu dengan jelas!"
Namun, murid itu hanya melangkah lebih jauh, tidak memerhatikan Arov.
Arov menggeram. Saat itu Arov bersiap untuk maju ketika sebuah tangan menyentuh bahunya.
"Tenanglah, Kawan. Kau tidak harus mengurusi mereka."
Arov berbalik pada Reith yang memegangnya. Dengan kasar menepis tangan Reith. "Kau juga diamlah. Jangan sok kenal denganku!"
Reith melangkah mundur sambil mengangkat kedua tangannya di depan dadanya, sikap melindungi diri. Bagaimanapun, senyumnya tidak luntur. Wajahnya tetap sama seperti biasa, tidak terpengaruh oleh kemarahan yang ditujukan padanya.
"Hei hei tenanglah, kawan. Halaman ini akan terbakar jika kau tidak menghentikan itu."
"Siapa peduli dengan itu!"
Menghadapi kemarahan Arov, Reith tidak bergeming ketakutan.
Sebenarnya Arov merasakan sakit, tubuhnya masih belum sembuh sepenuhnya, tapi karena kemarahannya saat ini, dia mengabaikannya.
"Hanya ingin kau tahu, atau hukumanmu akan bertambah lebih dari ini. Jadi tenanglah dulu, jangan tergesa-gesa."
Mata Arov tetap melotot.
"Memangnya kau pikir aku peduli dengan-- aa!"
Tanah dibawahnya bergerak.
Arov terjatuh dengan tidak elegan.
Kau tahu, jenis itu. Dia mencium tanah.
Selanjutnya, derita itu diperparah dengan rasa sakit yang masih dia miliki, namun dia menahannya karena harga dirinya tidak mengizinkannya tampak lemah.
Jadi ketika dia menahan diri, ekspresinya menjadi aneh, itu campuran kemarahan, rasa sakit, dan rasa malu yang dia tahan. Mukanya merah karena marah, namun sesekali berdenyut kesakitan.
"Pft-"
Reith mencoba menahan tawanya dengan menutup mulutnya, meski begitu, bahunya yang bergetar terlihat jelas di mata Arov.
Jika kau ingin tahu, hampir seluruh kepalanya Arov berwarna merah, mengingat warna rambut dan matanya juga berwarna merah.
"Berhenti tertawa! Siapa yang melakukan ini!"
Kepalanya menengok cepat mencoba mencari pelakunya. Dia melihat Reith yang tersenyum dan menuduhnya. "Itu kau kan!"
"Haha-ehm ... Apa? Bukan aku. Kau melihatnya tadi, aku tidak mengerakkan sedikitpun tanganku." Reith membela dirinya.
"Lalu, siapa!"
Reith hanya tersenyum.
"Cepat maju! --"
Matanya menangkap Gargon yang terlihat mengawasinya.
Di jendela itu, Gargon dengan tangannya yang terangkat membentuk isyarat, mengisyaratkan untuk diam. Matanya terlihat menyeramkan.
Tentu saja, Arov langsung terdiam.
Dia berbalik, menolak mengakui bahwa dia sempat ketakutan menatapnya.
Tangan Arov memegang rumput lain. Itu gemetar sedikit.
"Aha, begitu rupanya." Reith tersenyum dan sedikit membungkuk untuk memberi salam pada Gargon.
Kemudian, kedua orang itu melanjutkan urusannya dengan rumput-rumput dalam diam dan tenang.
Sungguh hari yang damai.