Arov bereaksi dengan cepat ketika pertarungan dimulai. Dia telah memutuskan akan mengakhirinya dengan serangan pertama.
Bola api mulai bermunculan di sekitarnya dengan cepat, bukan hanya itu saja, ukurannya lebih besar dari bola api biasanya. Mereka yang melihatnya langsung mengetahuinya, dan mana yang dimilikinya juga lebih banyak dari siswa rata-rata.
"O-oi! Bukankah itu terlalu berlebihan?" ucap Conie melihat sihir yang dikeluarkan oleh Arov. Dia terkejut melihat sihir milik Arov, walaupun mereka memiliki elemen yang sama, perbandingan antara dirinya dengan Arov bisa langsung dilihat.
Fireball, sihir dasar yang harus dikuasai oleh penyihir yang memiliki elemen api. Semua penyihir harus menguasai sihir dasar. Arov saat ini memakai sihir itu.
Gargon yang mengawasi dari tempat tinggi diam-diam menilai Arov.
"Ingin menyerah?" Arov menatap Levina, berharap dengan menunjukkan sihirnya ini dia akan membuat pertarungan berakhir dengan cepat tanpa perlu menghabiskan mananya.
Sementara di bawah arena, para siswa berbisik.
"Siapa yang akan menang?"
"Tentu saja Laki-laki itu, dia dari keluarga ternama! Lihat saja sihirnya yang hebat itu!"
"Aku kasihan dengan anak itu."
Levina melihat sihir Arov dengan penasaran, lawannya mampu membuat sihir itu dengan begitu mudah. Dia diam-diam terkesan. Matanya menyipit, sayangnya aliran mana kurang stabil. Menurutnya itu hanya membuang-buang mananya. Di waktu yang sama itu membuktikan jika mananya tidak sedikit. Dengan sihir seperti itu, Levina merasa masih bisa menahannya.
Arov melihat levina tidak memberikan respon. Dia mengerutkan keningnya, apakah lawannya tidak tahu betapa bahayanya sihirnya saat ini. Dia tidak peduli, dia sudah memperingatkannya.
Arov pun menembakkan sihirnya.
Bomm!
Ledakan besar terdengar dan gumpalan debu menghalangi pandangan semua orang. Para siswa yang melihat hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa dengan Levina. Mereka merasa kasihan pada saat bersamaan.
Saat debu-debu itu perlahan menyebar, semuanya menjadi bingung dan terkejut. Levina tidak terluka, dia bahkan tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya sementara area sekitarnya telah hancur dan gosong karena bola api itu.
Levina tampak biasa saja. Seolah sihir barusan tidak pernah menyerangnya.
"Tidak berhasil? Bagaimana bisa?!" teriak Arov tidak percaya, mata menyipit membuat matanya semakin tajam. "Tidak, sebuah sihir?"
Namun, saat dia mengatakannya penghalang itu menghilang bersama dengan debu-debu di arena.
Siswa menjadi bingung karena tidak tahu alasannya. Tapi, melihatnya bisa mengatasi sihir api itu membuktikan dia tak lemah.
"Selanjutnya aku tidak main-main, aku akan segera mengakhirinya. Jika kau ingin menyerah sekarang lah kesempatanmu, jika tidak bersiaplah!"
Melihat kekuatan lawannya yang menakjubkan akan sulit mengalahkannya, Levina berpikir mungkin ini saatnya menyerah. Alasan sebenarnya mengikuti pertarungan ini hanya untuk menguji kemampuannya yang sudah lama tidak dia gunakan.
Padahal aku masih ingin mengujinya. Yah, masih ada waktu lain.
Lawan memberinya kesempatan untuk menyerah, untuk apa dia menolak? Dia juga tidak ingin melawan seseorang yang merepotkan seperti dia. Dari awal begitu niatnya, Ya, Levina akan menyerah sekarang juga.
Namun, saat Levina hendak mengangkat tangannya dan mengatakan niatnya, suara Gargon menggema.
"Perhatian! Aku lupa mengatakannya tapi bagi yang kalah dalam pertarungan ini akan mendapat hukuman. Hukumannya tidak berat, hanya membersihkan tempat ini selama seminggu penuh." Gargon melihat semua orang kemudian melanjutkan dengan acuh, "itu saja, silahkan lanjutkan."
Gargon mengatakannya dengan sangat santai, seolah itu bukan hal yang penting. Para siswa tentu saja tidak, mereka mulai menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Terutama yang telah kalah sebelumnya.
Mereka tidak terima, jika memang ada hukuman, seharusnya dia memberitahu mereka lebih awal agar mereka lebih berusaha saat pertarungannya.
Mereka yang sebelumnya kalah dalam pertarungan enggan menerimanya. Adapun yang berhasil menang, mereka diam-diam bersyukur.
Menghadapi kerumunan yang semakin berisik itu, Gargon menatap tajam mereka yang langsung membuat kerumunan itu terdiam. "Apa ada yang keberatan?"
Para siswa hanya bisa terdiam, beberapa menggelengkan kepalanya dengan berat.
"Bagus, lanjutkan pertarungannya." Gargon berkata santai lalu mencari posisi nyaman untuk menonton pertunjukkan. Dia mengabaikan kerumunan yang kesal itu.
Dengan begini, pertarungan akan menjadi semakin seru, itu menurutnya.
Tanpa semua orang tahu, konflik internal sedang terjadi dalam diri levina.
Tangannya berhenti di udara.
Hukuman, seminggu penuh? Seminggu ... itu tujuh hari ... tidak, tidak mungkin!
Dalam pikirannya yang bergejolak--berbanding terbalik dengan wajahnya yang biasa-Levina berpikir keras apakah dia akan melanjutkan pertarungan atau memilih menyerah seperti niat awalnya.
Tapi, bukunya menunggu....
Levina tidak tahu harus bersyukur atau tidak saat ini. Sekarang dia harus memilih haruskah dia lanjut atau tidak. Menyerah berarti dia harus mengambil hukuman membersihkan itu. Jujur, Levina tidak ingin menghabiskan energinya, di waktu yang sama dia juga tidak ingin mendapat hukuman berbahaya itu, menghabiskan waktunya yang berharga.
Levina masih punya banyak daftar buku yang ingin dia baca!
Setelah memutuskan, dia akhirnya memilih.
Dia akan melanjutkan pertarungan dan menang!
Demi bukunya!
Levina bergerak secepat yang dia bisa untuk menjaga jarak dari lawannya. Meskipun secepat mungkin, itu tidak ada bedanya dengan lari biasa yang sering dilihat seseorang, dan mungkin lebiih lambat. Apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang jarang menggerakkan tubuhnya? Sebagai seseorang yang jarang menggerakkan tubuhnya, hal ini sudah bisa dikatakan sebuah usaha.
Melihat Levina yang semakin dekat dengan sisi lapangan, Arov menjadi bingung apakah lawannya menyerah atau tidak. Dia bertanya dengan kebingungan, "Apa kau menyerah?"
Levina berbalik ke arah lawannya, matanya dipenuhi dengan tekad yang tidak bisa dijelaskan.
"Tidak, aku tidak boleh menyerah," jawabannya datar tapi penuh tekanan.
Sesaat setelah dia mengatakannya, bola air terbentuk dengan cepat. Ini adalah Aqua ball Levina di ujian masuk sebelumnya.
Arov menaikkan alisnya, di matanya ada jejak penghinaan. Apa dia pikir dia bisa mengalahkannya dengan bola air sekecil itu? Arov tidak bisa tidak mengejek.
Bertentangan dengan dugaannya, Bola air itu melesat dengan cepat.
Cepat!
Bagaimana bisa sihirnya lebih cepat ketika orangnya tidak?
Arov terkejut dengan kecepatannya tapi dia percaya bisa menghindarinya. Dia mulai mengeser tubuhnya untuk menghindari serangan Levina.
Meleset. Meleset.
Dengan pergerakan yang alami, Arov menghindari bola-bola itu dengan mudah. Sebagai seseorang yang telah mengalami banyak latihan, ini tidak sulit.
Ada suara besar saat bola air itu menghantam arena. Arov berbalik dan menemukan dua cekungan yang cukup lebar. Mata merahnya terkejut sekali lagi, Arov tidak menyangka sihir lawannya akan sehebat ini. Sihirnya seperti sebuah tinju yang kuat.
Arov merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, akan berbahaya jika tubuhnya terkena serangan itu secara langsung.
Ketika bola air yang ketiga meluncur dan berhasil dia hindari, itu tidak menghasilkan sebuah suara ataupun cekungan. Sebaliknya, bola air itu berbalik arah sebelum menyentuh tanah dan menabrak punggung Arov dengan keras.
"Apa!"
Arov terpukul hingga tiga langkah sebelum dia berhasil menstabilkan langkahnya.
Kejadian itu tidak sampai sepuluh detik dan Levina berhasil memukul lawannya
Para siswa memiliki mata bulat, tidak percaya dengan kejadian yang baru saja terjadi. Gargon merasa senang dengan melihat sihir yang dikeluarkan Levina, seperti yang dia duga, anak itu bisa mengendalikan sihirnya dengan baik.
"Sialan! Kau!"
Arov mengeluarkan bola-bola sihirnya lebih banyak dari sebelumnya. kali ini dia tidak memikirkan tentang ukurannya, dia hanya ingin menyerang lawannya.
Pertarungan antara bola-bola sihir.
Sementara itu, Gargon menatap tindakan Arov dengan sedikit kekecewaan.
"Anak ini belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik."
Gargon bisa memaklumi jika Arov masih anak-anak, tapi setelah melihat mana yang dimiliki anak itu, rasa kecewanya sedikit berkurang. Anak itu masih bisa dilatih.
Mana sebesar itu membuktikan latihannya.
Gargon tidak sabar untuk melatih murid-muridnya. Membayangkan potensi mereka masing-masing membuat Gargon bahagia. Tentu saja dia harus menjaga image-nya di depan murid-muridnya.
Gargon mengerutkan kening. "Xanderz ya?" dia mengingat-ingat sebuah nama.