Suara dari belakang membuat Allya menoleh untuk melihat seorang wanita muda. Dia duduk di belakang meja dekat pintu masuk, karena itu ketika Allya masuk ke dalam, dia bisa langsung melihatnya. Wanita itu merupakan pengurus asrama air, dia mengurus hal-hal tentang asrama air, tentu saja termasuk pengunjungnya
Dia tersenyum pada Allya. Allya menuju mendekat ke arahnya.
"Saya ingin mencari teman saya, dia Levina Brezard kelas 1." Allya memberitahunya dengan senyuman canggung.
Pengurus itu mulai mengambil buku yang ada di depannya. "Kelas 1 berapa?"
"Kelas ... Huh? Itu ... Em maaf, saya tidak tahu." Allya menjawab dengan kaku. Dia tidak tahu letak atau nomor kamarnya. Dia hanya bisa menjawab seadanya.
"Hm, baik. Saya akan mencoba mencarinya dulu."
Saat ini dia mulai menyesal, mengapa dia tidak bertanya sebelumnya. tapi jika diingat, saat itu dia sibuk dengan kegembiraannya berhasil lolos sehingga dia lupa menanyakan nomor dan kelas Levina. Yang hanya dia tahu Levina tinggal di asrama air mengingat elemennya itu.
Pengurus itu masih membolak-balikkan kertas membuat Allya menjadi gelisah. Bagaimana jika informasinya tidak cukup? Atau apa ada seseorang yang memiliki nama yang sama dengan temannya itu? Allya mulai berpikir segala kemungkinan, meski kemungkinan itu belum tentu terjadi.
"Le, Lev, oh! Ini dia, Levina Brezard 'kan? Kamar yang kamu cari ada di lantai tiga, nomor 111. Sepertinya kau bukan dari asrama ini, apa perlu aku antarkan?" Suara ramah dari pengurus itu membuat Allya membuang napas lega.
"Tidak usah, aku bisa sendiri. Nomor 111 lantai tiga 'kan? Terima kasih dan, maaf merepotkan."
Pengurus itu tersenyum hangat. "Tidak masalah, itu sudah menjadi pekerjaanku. Jika kau tidak tahu tanya saja penghuni asrama lain, jangan sungkan, mereka ramah kok."
Allya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum mulai menaiki tangga. Di sepanjang perjalanannya, Allya menyadari satu hal.
Jika dia mengingatnya, hal itu sudah menjadi umum. Dia memang mengetahuinya tapi setelah menyaksikannnya langsung, dia menjadi yakin. Beberapa sifat mereka tergantung dari elemen yang mereka miliki, meski itu hanya sebagian. Dia membuktikannya, saat dia menjelajah lorong-lorong di asrama air, suasananya sangat tenang, damai seperti air.
Allya memikirkan teman-temannya yang meiliki elemen yang berbeda hingga sampai ke Levina. Dari kecil temannya itu sudah tenang, apalagi saat mendapatkan sihirnya. Kadar ketenangan temannya itu di atas rata-rata dibanding orang lain.
Allya membayangkan Levina yang membaca buku di bawah pohon, tanpa bergerak. Allya mengangguk-angguk tanpa sadar.
Memikirkan itu, dia akhirnya sampai di pintu bernomor 111. Pintu kayu dengan desain yang tidak jauh berbeda dari pintu di asramanya.
Allya mengangkat tangan kemudian mengetuknya tanpa ragu.
Tok tok tok.
***
Langit di atas Sekolah Altair perlahan meredup.
Di sebuah bangunan besar, terletak tak jauh dari lapangan utama. Terdapat beberapa ruangan yang salah satu ruangannya terdapat bermacam-macam cairan yang tersusun rapi di rak dalam lemari.
Ada tempat duduk dan kasur disana. Biasanya, tempat itu tenang-tenang saja, berbeda dengan saat ini.
Ruangan perawatan, tertulis pada balok di atas pintu.
Ruangan yang berdinding putih dengan sejumlah alat-alat kesehatan itu kini terlihat sibuk. Ada cukup banyak pasien--murid yang dirawat di sana. Kasur-kasur kini telah ditempati oleh murid-murid itu.
Kebanyakan yang dirawat hanya memiliki luka ringan yang dapat sembuh dalam waktu singkat. Tapi, terkadang ada juga beberapa kasus berbeda yang membuat mereka dirawat. Misalnya seorang murid yang terluka karena luapan mana atau murid yang pingsan karena kehabisan mana.
Contohnya seperti itu.
Di salah satu kasur, tanpa sedikitpun luka, terbaring gadis dengan rambut hitam. Kulit gadis itu pucat karena kehabisan mana. Gadis itu adalah Levina Brezard.
Saat itu, mata birunya terungkap menatap langit-langit dengan linglung. Dia mengerjap beberapa kali sebelum mengangkat dirinya. Dahinya mengerut tidak suka dengan bau di sekitarnya.
"Dimana ini?" Dia menatap ke sekitarnya da mengetahui kurang lebih dimana dia berada.
Dengan tubuh yang masih lemas, Levina mengulurkan tangannya untuk mengambil blazer di kursi sebelum membawa tubuhnya keluar dari ruangan berbau itu.
Saat itu matanya tidak sengaja melihat seseorang yang terlihat menyedihkan dengan wajah dan tubuh yang dipenuhi perban.
Itu Arov yang tak sadarkan diri.
Dia memandangnya sesaat. Wajah yang tertutupi perban membuatnya tidak mudah dikenali orang, termasuk dengan Levina.
"Lukanya ... sepertinya agak parah," gumam kecil Levina sesaat dan terus membawa dirinya keluar.
Namun, sebelum keluar dari sana, Levina diberi sebotol cairan oleh perawat disana. Dia cemberut ketika mengambil obat itu dengan enggan, lalu meletakkan di dalam sakunya karena bau obatnya.
Dia tidak berencana meminumnya.
Berjalan di lorong yang sepi ketika keluar ruangan itu, dia segera mendekati jendela. Menghirup udara di luar agar bau obat tidak lagi terbayang di pikirannya. Kemudian mata biru gelapnya terpaku pada satu titik.
"Hm? Tunggu bangunan itu kan ...."
Matanya semakin menyipit saat jantungnya mulai semakin berdetak.
Bangunan dua lantai yang dikelilingi oleh pohon yang berbaris teratur. Jalan yang lurus di pintu masuknya, dan yang lebih penting, kata-kata sederhana namun kuat tercetak pada papan kayu di atas pintu.
Penampilan itu, tidak salah lagi.
"Altair Library," gumam Levina terpesona dengan pemandangan di depannya.
Bau obat terlupakan seketika.
"Oh, kau sudah sadar ya?" Suara itu muncul dari samping Levina, menujukkan Gargon yang sedang berjalan ke arahnya.
Levina membalik tubuhnya, agak enggan meninggalkan pemandangan itu yang membuatnya berbalik dengan lambat, dia membungkukkan badannya memberi hormat.
Gargon melihat gerakan Levina yang lambat mengira dia masih belum sembuh. Dia lalu berbicara dengan pelan, "sebaiknya kau istirahat setelah ini, masih ada pelajaran besok. Ahem ... tentu saja jika tidak bisa melakukannya, kau bisa melewatkannya."
Gargon mencoba terlihat seperti guru yang baik hati di depan calon muridnya yang berpotensi.
"Tidak apa-apa guru. Saya akan baik-baik saja setelah beristirahat malam ini."
"Baguslah kalau begitu."
Itu artinya dia bisa mengajarinya besok. Gargon ingin mengajarinya secepat mungkin kemudian memamerkannya kepada seorang wanita berambut merah.
'Tunggu saja kau Salia.'
Gargon menatap Levina ketika dia memberikan nasihat.
"Dari yang kulihat, manamu sepertinya lebih sedikit dari rata-rata murid di sini. Sebaiknya kau rajin latihan karena itu bisa meningkatkan kapasitas manamu. Ingatlah, kehabisan mana itu sangat buruk bagi penyihir. Penyihir yang tidak mampu mengeluarkan sihir tidak ada bedanya dengan manusia biasa."
"Tentu guru. Aku akan mengingatnya," ucap Levina dengan jelas.
Gargon mengangguk. "Temanmu yang satunya sepertinya belum sadar ya?"
'Siapa itu?'
Namun sebelum Levina bisa menanyakan perihal orang itu, Gargon berbicara.
"Aku ingin mengatakan pertandingan kalian cukup bagus ... namun masih ada beberapa kesalahan disana. Tapi secara keseluruhan sudah cukup," Gargon memberi penjelasan singkat.
"Ya terima kasih guru ... Pertandingan ya?" Levina memberi respons yang bingung, sementara bergumam di kata terakhirnya.
Mendengar Gargon, dia langsung teringat hal yang penting. Levina menanyakan hal yang penting itu.
Matanya menatap orang di depannya dengan serius.
"Guru, tentang pertandingan itu. Bolehkah aku tahu siapa pemenangnya?"
Dengan kata lain, siapa yang akan mendapat hukuman tujuh hari itu?
Gargon berpikir sesaat. "Hmm, Itu sedikit sulit ditentukan. Saat akhir pertandingan tadi kalian berdua tidak sadarkan diri, jadi bagaimana ya? Haruskah kuadakan pertandingan ulang?"
Gargon bergumam pada akhir kalimatnya yang bisa didengar Levina, tentu saja dia tidak akan membiarkannya terjadi. Sudah cukup satu pertandingan yang membuatnya seperti ini. Pertandingan ulang? Levina tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Pandangan resolusi menyala di matanya.
Waktu baca bukunya dipertaruhkan.