Namun, di dalam hatinya, Caise masih curiga terhadap Leo. Leo terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan itu.
"...Kenapa kau bertanya seperti itu? Bukankah sudah kuberitahu, aku mahasiswa di kampus hukum?"
"Kudengar, kampus itu menerima berbagai mahasiswa yang bisa berada di jalur selain hukum... (Semalaman aku belajar soal kampus itu,)" Caise menatapnya. Rupanya tadi malam, saat ia duduk di ranjang membaca buku, buku yang ia baca adalah tentang kampus Leo.
"...Apa kau ingin tahu soal itu?" Leo menatapnya. Caise mengangguk cepat.
Leo kembali terdiam sebentar, lalu menghela napas panjang. "Aku... mengambil administrasi bisnis, dan seperti yang kau tahu, aku tak hanya mengambil jurusan hukum. Apa kau puas sekarang?" kata Leo sambil menatapnya dari bawah.
Caise terdiam, mengepalkan tangannya. "(Administrasi bisnis hanya dimiliki oleh orang-orang yang pandai berbisnis ilegal. Mereka lulusan sana dan siap menjual-belikan barang ilegal tanpa takut pada hukum. Jika dia berada di jurusan yang saling menguntungkan, dia bisa mengendalikan hukum dan tenang dengan bisnis ilegal yang dia lakukan. Aku kini belajar sesuatu darinya... Dia bukan pria yang bisa dilihat dari sisi baik. Pekerjaan yang dia pilih membuatnya jadi orang yang salah... Apa yang harus kulakukan...)" Caise tampak bimbang.
Namun, Leo memegang tangannya, membuatnya terkejut. "Caise, aku tahu apa yang baru saja kau pikirkan... Aku memang bukan seseorang yang gampang menindas orang lain, tapi kau melihat... Aku juga adalah orang yang buruk. Jika kau ingin mengatakan sesuatu padaku, mintalah aku melakukan apa saja... Aku bisa melakukannya untukmu, termasuk meninggalkan pekerjaanku sekalipun," kata Leo.
Seketika, Caise benar-benar tersentuh. "(Hanya karena dia ingin selalu dekat denganku, hanya karena dia ingin mendapatkan kepercayaanku, dia mengatakan hal-hal yang tampak sangat nyata... Sungguh, kau begitu... Tidak, kau terlalu baik,)" Caise memegang pipi Leo, membuat Leo menatapnya.
"Tidak perlu... Tak perlu mengubah apapun. Aku hampir menerima Mas Leo seutuhnya..." kata Caise.
Leo tersenyum kecil. "Lalu, maukah kau melakukan satu permintaan dariku?"
"Apa itu?"
"Jangan menyentuh lelaki lain, kau tak boleh melihat mereka... Bencilah mereka, dan hanya aku yang harus kau sukai," kata Leo sambil memegang tangan Caise, membuat Caise benar-benar terpaku.
"Apa yang salah, Caise?" Leo menatapnya dengan wajah yang berubah polos.
"Ah, tidak ada... Um... Ngomong-ngomong, Mas Leo, terima kasih untuk kemarin karena telah mengantarku ke rumah sakit."
"Tak masalah. Apa kemarin Noah juga mengantarmu pulang? Maaf ya, aku tak bisa mengantarmu, jadi aku meminta Noah melakukannya," kata Leo.
"Eh... Mas Noah hanya memintaku pulang sendirian, jadi aku pulang sendiri. Kupikir Mas Leo sibuk, jadi aku tak mau merepotkanmu," jawab Caise, tapi seketika Leo terkejut.
"Apa kau bilang, Noah tidak mengantarmu? Sialan... Aku harus memberi dia pelajaran," Leo kesal. Padahal sudah jelas, dia meminta Noah mengantar Caise, tapi Noah malah memintanya pulang sendiri.
"Ah, ini baik-baik saja. Mungkin Mas Noah ada pekerjaan yang harus diselesaikan juga, jangan terbawa emosi terlalu cepat," Caise menenangkan Leo dengan menahan bajunya agar tidak bangun, membuat Leo terdiam dan menghela napas panjang. "Maaf, seharusnya aku yang menjemputmu."
"Ish, aku bilang sudahlah, aku sudah baik-baik saja. Tidak perlu dipikirkan, mengerti?" Caise menatapnya, tapi Leo terdiam ragu. Dia masih menyesal.
"(Apa yang harus kulakukan supaya dia senang lagi...?) Um... Bisakah kau tetap di sini?" Caise menatapnya dengan wajah memerah sambil menahan tangan Leo.
Leo terdiam sebentar mendengar itu dan tersenyum kecil. "Apapun untukmu."
Lalu Caise tersenyum senang dan mendekat memeluk Leo. "(Akhirnya, dia melupakan itu...)"
"Kau manja, Caise. Sifatmu sudah terlihat padaku," kata Leo.
"Ini hanya... Sangat hangat," jawab Caise.
"Ngomong-ngomong, Mas Leo... Apa kau suka senjata seperti pisau?" tanya Caise.
"Aku... Apa maksudmu?"
"Maksudku seperti... yang disukai banyak lelaki seperti dirimu yang tertarik bertarung, apalagi menggunakan senjata seperti pisau," tatap Caise. Hal itu membuat Leo terdiam.
"Mungkin pisau jenis Fairbairn-Sykes?"
"Oh... Pisau kecil dan tajam itu, ya?"
"Ya... Hah, bagaimana kau tahu?!" Leo terkejut. Seketika Caise menutup mulutnya.
"(Astaga... Aku lupa, jangan sampai Mas Leo tahu aku juga belajar soal pisau saat bergabung dengan Kakak Oliver.) E... Maksudku... Aku hanya... mengetahuinya saja."
Di tengah itu, ponsel Leo tiba-tiba saja berbunyi, membuatnya mengangkatnya.
Leo terdiam lalu mematikan ponselnya.
"Ada apa, Mas Leo?" Caise menatapnya.
"...Hanya... panggilan."
"Kalau begitu pergilah."
"Tapi bukankah kau ingin aku tetap di sini?" Leo menatapnya dengan memelas.
"Tak apa... Aku bisa di sini dan menunggumu lagi," jawab Caise.
Lalu Leo berdiri. "Baiklah, aku pergi."
"Hati-hati," balas Caise yang ikut berdiri. Sepertinya kakinya sudah baik-baik saja.
Namun, Leo terdiam tak bergerak. "Bagaimana jika kita lakukan sebentar saja?" Leo mendekat, bahkan dia mengunci pinggang Caise untuk tetap dekat.
Namun, Caise menutup wajah Leo dengan tangannya.
"Mas Leo... Bersabarlah..." tatapnya menolak dengan lembut.
Leo terdiam sambil menggaruk-garuk pipinya. "Haiz, baiklah... Ngomong-ngomong, di mataku tadi ada sesuatu yang masuk, bisa kau lihat?"
"Hm... Mari ku lihat," Caise mendekat, tapi tiba-tiba Leo menciumnya, membuatnya terkejut dan langsung mundur.
"Yummy... Baiklah, aku pergi dulu," Leo membuka pintu dan berjalan pergi.
"I... Itu tadi apa?!" Caise memerah sambil menutup mulutnya dengan tangannya.
--
Hari berikutnya, Caise tampak sudah ada di bangku duduk nya, lalu ada seseorang yang mendekat, siapa lagi jika bukan Naya. "Caise, lama tidak jumpa," kata Naya yang mendekat ke tempat duduk Caise.
Caise menoleh dan tersenyum manis. "Halo Naya, maafkan aku, ada banyak hal terjadi."
"Oh, apa itu soal priamu yang tampan itu?" Naya langsung menatap.
"Hah, apaan sih, kamu jangan bahas di sekolah," Caise langsung berwajah merah.
"Hahaha, oh ya... Hari ini... tepatnya malam nanti, ada festival di tempat sebelah... Festival kembang api yang dilakukan setiap pergantian musim, besok itu musim kemarau..." kata Naya.
Caise terdiam sebentar. "Bukankah setiap hari itu, hari panas..."
"Kemarin itu musim hujan, tapi entah kenapa hujan hanya turun malam hari saja... Itu aneh... Festival itu akan menyambut musim kemarau dan akan menyalakan kembang api, kau harus datang bersama pacarmu," kata Naya.
"Um, entahlah... Aku bingung... Aku tak mau mengganggu Mas Leo..."
"Haiz, dia itu kan pria baik, dia pastinya menyisihkan waktunya," kata Naya.
Tapi Caise tampak khawatir.
Sementara itu, Leo berjalan di lorong kampus besar dengan pakaian rapi. Celana hitam panjang dan kemeja hitam yang dimasukkan di dalam celananya, berjalan sambil menatap ponselnya.
Semua wanita tampak memandangnya, tapi ia berhenti berjalan ketika melihat Noah yang bergaul dengan banyak orang di lorong.
Lalu Leo berjalan mendekat dan di saat itu juga Noah memberikan sebuah kertas catatan.
Leo menerimanya dan membacanya. "Apa ini?"
"Itu dari Nona Walwes, dia memintamu datang malam ini di barmu... Dan juga, kau ingat putri dari Tuan Mandara?" Noah menatap.
Leo terdiam sebentar dan membalasnya. "Aku lupa."
"Intinya, dia ingin bertemu denganmu," kata Noah.
"Wah, sibuk sekali kelihatannya," kata salah satu dari orang yang bergaul dengan Noah tadi.
"Bukankah terlalu sibuk untuk pebisnis muda sepertimu, Leo... Hahaha..."
"Yah, bisnis administrasi yang menuntut untuk menjadi budak di bawah konglomerat..." Mereka mulai menggunakan nada mengejek.
Leo terdiam dan ia yang mendengar itu menjadi mengepalkan tangan. Tapi untungnya Noah mencegah perdebatan. "Ye... Yah, bukankah kau harus mengatakan kalimat yang lebih baik lagi pada Leo?" Noah menatap pada mereka yang menjadi terdiam.
Lalu salah satu dari mereka ingat sesuatu. "Mungkin ini..." Dia menunjukkan ponselnya pada Leo.
Seketika wajah Leo menunjukkan dia mengangkat satu alisnya. Itu adalah poster digital berisikan festival kembang api untuk nanti malam menyambut kemarau besok.
"Hei, memangnya dia akan mengajak siapa? Apa Leo punya pacar?" Salah satu orang menyenggol temannya.
"Pria sepertinya, mengajak wanita pun, wanita juga bakal mau," balas rekannya.
Leo menjadi tersenyum kecil. "(Haruskah aku mengajak Caise... Aku akan melihatnya menggunakan kimono, pasti tambah imut,)" Leo tampak berimajinasi.
Tapi sepertinya Noah menghancurkannya. "Ehem... Apa kau lupa soal apa yang aku bilang tadi, putri Tuan Mandara dan Nona Walwes ingin bertemu denganmu," tatapnya membuat Leo menurunkan senyumnya. "Ck, baiklah... Aku tahu itu..."
Sorenya, Caise pergi ke tempat kerja sambilan. Di sana ada Sakala menunggunya, lalu melihat Caise masuk.
"Manajer, maafkan aku," Caise menatap menyesal.
Sakala juga menatap khawatir. "Ada apa sebenarnya, Caise? Kenapa kau tidak masuk selama 3 hari bekerja, kau bahkan melalaikan hari awalmu bekerja," tatap Sakala mendekat padanya.
"Maafkan aku, banyak hal terjadi di sini, tapi aku akan mengerjakannya dengan maksimal mungkin mulai dari sekarang."
"Tidak perlu sampai sore sekali, karena nanti malam ada festival kembang api, kau juga pastinya harus datang."
"Eh... Em... (Kenapa semua orang jadi membahas begitu...) Jadi kedai ini tutup lebih awal?" tatap Caise.
"Iya, kalau begitu sampai jumpa, ingat untuk mengunci pintu," kata Sakala, lalu dia berjalan pergi.
Tapi Caise terdiam, dengan banyaknya kucing kafe mendekatinya seperti ingin mengajaknya bermain, tapi Caise tetap terdiam. "(Mas Leo, pasti sedang sibuk, aku ingin sekali ke festival kembang api, aku ingat terakhir kali aku pergi dengan siapa... Haha... Sungguh sangat nostalgia...)" Ia tampak tersenyum sendiri tapi ia jadi khawatir pada Leo, bisa jadi Leo tak bisa menemaninya. "(Berita seperti ini, memangnya Mas Leo tahu?)"
Hingga pada malam hari. Caise terdiam di apartemennya menatap jendela. Dia tampak ingin sekali pergi ke festival tapi tak bisa pergi sendiri.
"(Aku ingin melihat kembang api...) Haruskah aku pergi dengan Naya saja? Tapi, dia punya pacar, tapi dia juga tak mungkin meninggalkanku begitu saja kan, kecuali jika dia sudah tahu aku bersama Mas Leo, padahal tidak... Aku tak bisa bilang padanya untuk menemaniku, dia pastinya akan menikmati festival bersama dengan pacarnya... Sekarang harapan terakhir hanya ini..." ia melihat kontak nama milik Leo yang ada di ponselnya.
"(Haruskah aku mengajak Mas Leo... Tapi aku takut jika dia sibuk, pastinya akan repot... Uhm... Gimana ya?)" Caise terdiam berpikir dan sepertinya masih ragu ingin mengajak Leo.
Di sisi lain, Leo mengurus kertas di mejanya, ia menulisnya dengan cepat sambil melihat ke arah ponsel lalu Noah datang ke ruangannya.
"Bagaimana kau bisa fokus memberi tanda tangan jika kau menatap ponselmu... Biarkan aku menebak, apa karena gadis itu?"
Tapi Leo hanya terdiam, dia fokus mengurus kertas-kertas itu dengan cepat.
Noah hanya menghela napas panjang. "(Sepertinya dia menolak untuk sibuk...)" pikirnya.
Lalu Leo menatap ponsel untuk terakhir kali. "Mungkin sekarang," ia berdiri dan beranjak dari kursinya.
"Tunggu, kau akan ke mana?" Noah menatap bingung.
"Pergi mengajak Caise ke festival, jangan ganggu aku."
"Apa... Kau mau pergi dengan gadis itu, tapi bagaimana dengan urusan ini... Aku tidak mau melempar kertas lagi padamu!"
"Aku bisa mengurus itu," Leo membalas sambil berjalan keluar.
"Cih... Orang itu... (Dia benar-benar akhir-akhir ini menolak untuk sibuk... Tunggu, seperti ada yang lupa...) Hah!!! (Aku lupa mengingatkannya soal Nona Walwes dan putri dari Tuan Mandara... Aduh repot jika dia lupa...)" Noah menjadi kesal sendiri.