Anka mengusap kepalanya. Dia masih ingat kejadian di masa lalu. Kejadian tentang Mom, Dad dan Adam. Hari itu di suatu sore setelah Anka selesai dimandikan, Anna menatap bulir hujan yang berjatuhan dengan pemikiran dalam. Tidak seperti biasanya yang ceria, ibu satu anak itu terlihat sedikit murung lagi kali ini. Entah apa yang Anna pikirkan! Ben yang melihat puterinya tersebut menghampirinya, membawakan Anna teh jahe hangat yang khasiatnya bagus untuk kesehatan. Bisa juga mengusir dingin pada musim penghujan seperti itu.
"Apa yang kau pikirkan?!" Ben tidak basa-basi bertanya pada puterinya tersebut.
Anna melirik sendiri pada ayahnya tersebut menggelengkan kepalanya. "Tidak banyak. Beberapa hal tentang Anka, tentang Bian, tentang … Adam." Anna berbisik lirih untuk kalimat yang terakhir. Tidak berani berterus terang pada Ben namun lebih takut lagi menyembunyikannya dari laki-laki itu.
Ben menatap puterinya tersebut. "Apa yang keluarga Danar katakan?"
Anna menunduk. "Seperti yang papi pikirkan!"
Beberapa waktu yang lalu ketika Anna memutuskan untuk bertemu dengan orang tua mendiang Bian, juga terdapat sedikit kemarahan yang lemparkan oleh wanita tua itu padanya. Bukan sebenar-benarnya kemarahan. Lebih tepatnya ungkapan kekecewaannya.
"Kau benar-benar akan seperti ini An? Kau benar-benar akan mencari sosok pengganti Bian?" nyonya Ardan tidak percaya menatap pada menantunya.
Anna menundukkan kepalanya. "Aku minta maaf, Ma!"
Perempuan itu mendengus. "Bukan maaf yang ingin mama dengan An. Bian bahkan belum cukup setahun pergi. Bahkan mama tidak yakin Anka akan mengingat kenangan tentang Dadnya. Apa ini rencana kau selama ini? Apa Bian hanya bantalan kau yang ditinggalkan?"
Anna tidak membantah. Bukan karena Anna marah. tapi karena Anna mengerti kemarahan seorang ibu. Dia juga seorang ibu yang memiliki seorang putera. Membayangkan berada diposisi nyonya Ardan adalah hal yang paling bisa Anna lakukan. Ia pasti masih kalut dengan kehilangan puteranya. Sekarang mendapati ketakutan dia akan kehilangan cucunya lagi.
Sebenarnya, nyonya Ardan tidak terlalu mempermasalahkan Anna yang mencari jalan bahagia. Ia juga paham jalan hidup Anna masih panjang. Dia hanya takut kehilangan Anka. Posisi Adamlebih sah. Walt bisa saja merebut Anka dengan mudah darinya. Sementara dia sudah terlanjur mencintai cucunya yang satu itu. Apalagi dengan Anna yang mengembalikan semua aset Ardan yang ditujukan Bian untuknya dan Anka.
"An," Tuan Ardan, ayah mertuanya lebih terlihat bijak menanggapi hal yang demikian. Ia menatap Anna dengan tenang. "Papa dan mama tidak akan mempermasalahkan kamu yang akan menikah lagi. tapi kenapa harus mengembalikan apa yang kalian punya. Itu haknya Anka yang Bian tinggalkan."
Anna menggigit bibirnya. "Aku hanya merasa Anka kurang pantas memilikinya, Pa. Kita sama-sama tahu bahwa …"
"Ann … Bian sudah pernah membahas ini dimasa lalu." Ardan memotong. "Bahwa kami tidak akan mengungkit Anka. Lagipula kami tidak punya penerus lain selain Anka. Mohon kamu pertimbangkan lagi."
Ben menarik nafasnya mendengar cerita anaknya tersebut. "Lalu apa keputusan kamu?"
Anna menarik nafasnya. "Aku bisa apa? padahal aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya merasa tidak enak."
Ben mengusap bahu puterinya. "Kamu sudah yakin akan menjalani ini dengan Junior? Mengingat kamu juga punya trauma di masa lalu."
Anna memikirkan hal tersebut beberapa saat. Ia menggigit bibirnya menatap ayahnya dengan pandangan penuh makna yang tidak perlu lagi Ben artikan sebagai apa. "Kamu dari dulu selalu menjadi yang tidak punya banyak permintaan. Papi tidak pernah menduga sekalinya permintaan kamu seperti ini."
"Apa itu artinya papi merestui?" Anna bertanya dengan sedikit was-was.
Ben mengusap kepalanya. "Papa bisa apa jika dia hidup kamu." Anna tidak berkata-kata memeluk ayahnya tersebut sebagai ungkapan perasaan harunya. Ia tidak menyangka bahwa Ben akan luluh dengan mudah.
"Ben, kita akan tahu kemana ujungnya. Untuk apa kau mengulur waktu? Membuat mereka berdua berubah pikiran? Kapan?" Calya mengatakan pada suaminya beberapa hari yang lalu. menjadi titik balik Ben. Alasan kenapa laki-laki itu tidak bisa tidur dalam beberapa hari ini memikirkan dengan matang.
"Aku harus memberi tahu Junior." Anna mengambil ponselnya menghubungi laki-laki itu yang tentu saja tidak perlu menunggu waktu lama untuk diangkat oleh si pemiliknya.
"Kenapa manis? Kau merindukan kekasih kau ini hah? An, kita baru saja usai berbincang tiga puluh menit yang lalu. Aku tidak percaya kau secandu itu padaku."
Anna memutar bola matanya. "Bisakah kau berhenti mengoceh dengan dengarkan aku dulu!" perempuan itu mempertegas.
"Apa?" tanya Junior.
"Aku ingin bertanya satu hal." Anna berkata.
"Ehm," sahut Adammenyuruh Anna melanjutkan.
"Kapan Walt bisa melakukan pertemuan untuk makan malam?" Anna melemparkan pertanyaan dengan senyum bahagia yang tidak luput dari bibir perempuan itu.
"Ya?" Adammengulang meminta penjelasan lebih dari kekasihnya itu.
"Pertemuan makan malam Junior!"
"Untuk apa?" Adamdengan tidak mengertinya masih bertanya.
"Tentu saja untuk pertemuan dua keluarga. Apalagi?!" Anna berdecak pada kekasihnya itu dengan ketololan Adamyang lamban sekali.
"Tunggu …" Adamsekarang mulai mengerti. Anna membiarkan laki-laki itu mencerna beberapa detik. "Anna jangan bilang kalau …"
"Iya. Papa baru saja memberi restu!" Anna berkara terus terang pada akhirnya.
"Ahai … yeees!!!" Pria itu jelas kegirangan sama halnya dengan Anna. Bug! Dung! Prang! Tidak berlangsung lama sebelum Anna mendengar suara berisik. "Awuh! Sial!" disusul dengan suara ringisan setelahnya.
Anna mengerutkan keningnya khawatir. "Junior, kau baik-baik saja?!"
"Yah aku baik-baik saja. hanya tergelincir dari tangga!" Adamberkata apa adanya.
"Kenapa kau bisa berhubungan dengan tangga?" tanya Anna.
"Aku membuat kandang burung!"
"Kandang ayam? Adamkau sebenarnya dokter specialis apa peternak huh?" Anna mendengus.
Adamtersenyum kecil. "Ada kawanan burung yang sering main di dekat klinik. Aku buat saja wisata yang nyaman untuk mereka. Siapa tahu betah!"
"Oh! Kau seperti pria kurang kerjaan!"
"Kau tidak tahu aku punya banyak pekerjaan di desa. Kadang-kadang aku juga pekerja lepas di kebun teh!"
Anna berdecak. "Terserah kau saja. Aku hanya menyampaikan kabar itu. Kabari itu saat kau sudah dapat waktu biar aku bisa mengkonfirmasinya juga pada papi!"
Adamtersenyum lagi. "Iya!" ujarnya.
"Kututup teleponnya!" ujar Anna.
"Ann, tidak ada perpisahan dengan kukupan sayang …"
tut … tutt.. tutt!
Anna sudah mematikan panggilan sebelum menuruti permintaan Junior. Bahkan sebelum Adambisa menyelesaikan ucapannya. Pria itu tersenyum tipis dengan kelakuan wanita yang katanya calon isterinya tersebut. Ia mengusap wajahnya dengan tawa kecil, tidak percaya akan menikahi Anna sebentar lagi.
Adamdengan posisi yang masih belum beranjak –sebelah kakinya dihimpit tangga, serta pecahan keramik yang tidak sengaja terkena palu di dekatnya- menggulirkan sebelah tangannya untuk menghubungi satu orang. Tentu saja Gevariel. "Halo!"
Bukan papanya yang mengangkat melainkan suara wanita. "Papa ada?" tanya Adamtanpa memanggil nama belakang pada perempuan di seberang sana.