Kenyatannya, jika perceraian tidak mampu merobohkan hatinya, maut yang memisahkan dua orang itu. Akhirnya mama Anka tidak bisa mengelak untuk kembali pada laki-laki itu. Pria berengsek yang pernah meninggalkannya tanpa kata lalu kembali seenaknya untuk memiliki semuanya. Dirinya dan Anka. Itulah defenisi serakah bagi Anka.
***
Mama Bella menaikkan alisnya melihat dengan siapa anaknya itu pulang. "Sudah baikan lagi?" tanya mama pada dua orang itu.
"Ehm, daripada mama terus-terusan merong-rong buat memaafkan pria itu."
"Neo atau Galas kamu bisa memanggilnya dengan dua nama itu." Mama berkata pada anaknya.
Bella berdecak tipis. "terserah mama."
"Ngomong-ngomong kalian sudah makan malam? Kalau belum akan mama siapkan." Ujar mama pada anaknya.
"Aku udah makan di apartemen sama Neo tadi." Bella berkata terus terang.
"Apartemen?" papa Bella mengulang. Janu tampak tegang mengintimidasi dua orang itu.
"Hanya makan malam, Pa! sungguh!" Bella meyakinkan ayahnya.
"Kamu masih sering pergi ke apartemen Galas?" tanya Janu. "Galas, kamu diam saja dari tadi."
"Beberapa kali kami memang bertemu, Pa!"
Janu menggeram. "Kalian harus membuat keputusan, jika bercerai tidak ada lagi apartemen. Jika memutuskan kembali bersama papa tidak melarang."
"Pa, Bella dan Neo makan doang kok."
"Hari ini mungkin makan doang siapa tahu besok, nanti di kemudian hari? Kalian pernah menjadi pasangan panas."
Pipi Bella memerah. Sementara Neo mengusap kepalanya bagian belakang. "Saya akan mencoba membuat tembok ke depannya."
"Emang lo bisa?" tanya Bella.
"Papa sudah memberikan titah, Bel. Aku bisa apa." Neo memelas pada mantan isterinya. Bukan karena dia takut dengan Janu. Tapi lebih kepada menghormati laki-laki itu.
"Kalau Bella nikah dengan dia, papa enggak melarang lagikan?"
Janu menganggukkan kepalanya. "Kalian berdua akan memutuskan menikah?"
Galas menegakkan kepalanya. "Bel …" lirih pria itu.
"Bella dan Galas akan menikah tapi Bella tidak sepenuhnya menjadi isteri Galas. Bella akan sering tinggal disini sesekali kalau ingin baru tinggal dengan dia. Menantu kesayangan mama dan papa itu harus magang dulu agar Bella menerima dia kembali."
Janu menggelengkan kepalanya. "Tidak, nak. Papa tidak bisa menerima sikap kamu yang seperti itu. Kalau menikah kamu sudah memiliki tanggung jawab sebagai isteri."
"Tapi menantu kesayangan papa itu tidak akan pernah bisa menepati janjinya untuk menjauh dari Bella. Bukan karena Bella yang mengundang dia kesini, tapi karena isteri papa." Tidak lupa dengan matanya Bella menunjuk mamanya.
Nyonya Janu itu tersenyum membelai lengan suaminya. "Mas, aku tidak pernah memiliki anak laki-laki sebelumnya."
Janu tahu itu. Tidak isterinya saja. sesekali Janu juga mengundang Neo ke rumahnya, hanya untuk bermain catur atau melakukan kegiatan pria. Padahal dia tahu persis Neo bukan lagi menantunya. Dia bahkan mengajak Neo mengangkat barang-barang membersihkan gudang sesekali. Tentu saja tanpa sepengatahuan Bella.
"Bagaimana hubungan kalian tidak berhasil?"
"Yang pasti saja belum tentu sampai tua bersama. Lagipula Pa, Bella dan dia kan tidak berniat berpisah. Kalau akhirnya tidak bisa bersatu berarti Bella tidak ditakdirkan lagi buat dia. Kalian harus menyerah saat itu terjadi."
Janu menatap Neo. "Bagaimana Galas? Kamu menerima dengan keinginan Bella seperti itu."
Pria itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Pa."
Nyonya Janu berdecak tipis. "Kamu asal menikah lagi dengan Bella apapun perjanjiannya, kamu akan setuju saja."
Neo bisa cengengesan mendengarkan perkataan mertuanya tersebut.
"ya sudah, jadi kapan kalian akan menikah?"
Neo melirik pada Bella, dia membiarkan sepenuhnya keputusan pada isterinya tersebut. "Terserah ajalah! Tapi kayaknya dia udah enggak sabaran. Enggak perlu yang berlebihan. Berlebihan pun belum tentu bertahan. Sederhana aja, toh ini pernikahan yang kedua."
Neo menggigit bibirnya mendengar perkataan Bella. "Aku setuju setuju aja."
'Lo tanya ibu dulu!" Bella mendengus.
Neo berdecak. "Ibu pasti langsung setuju," ujarnya dengan sedikit kedipan.
"Bella kamu yakin?" tanya mamanya padanya. "Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa kamu permainkan."
"Harusnya mama mengatakan itu pada menantu mama. Kenapa padaku? Apa aku yang selama ini mempermainkan pernikahan?"
***
"Ehm kenapa Bel?" tanya Amora ketika perempuan itu menghubunginya.
"Lo bisa bikin gaun pengantin?" tembak Bella langsung pada kawan karibnya tersebut.
Kening Amora meyerngit. "Wait, apa? Gaun pengantin?"
"Ehm." Ujar Bella tanpa memberikan penjelasan lebih.
"Ini gaun pengantin untuk pernikahan apa untuk pemotretan?" tanya Amora memastikan.
Bella menggulirkan bola matanya "Buat pernikahan Amora, pastinya juga akan ada pemotretan saat pernikahan untuk dokumentasi."
Amora berdecak kecil. "Bel, serius gue enggak minta lo bercanda."
"Gue juga serius."
Amora menarik nafasnya. "Ya udah bawa clien lo ke tempat gue biar bisa diukur."
"kliennya gue sendiri." Bella menggumam.
"Apa? Lo mau nikah? Sama siapa? Anka itu?"
Bella berdecak. "Enggak! Sama Neo."
"Hah? Bukannya lo benci sama mantan suami lo itu? Gimana sih bel, pusing gue."
Bella menarik nafasnya, "Papa ngasih ultimatumnya. Gue ambil jalan yang orisinil aja."
Amora menarik nafasnya. "Ya udah, suka-suka lo deh."
"Seminggu ya Amora."
"Gila lo ya? Gaun apa yang bakal selesai seminggu?" Amora protes. Tidak lupa mata perempuan itu melotot. Dia ingin memukul sahabat terbaiknya itu rasanya. Bagaimana rasanya jika Bella meninggalkan hati tersebut?
"Ya pernikahannya seminggu lagi gimana dong."
Amora menghembuskan nafasnya. "lo paling bisa ngasih gue kerjaan tahu enggak!"
Bella tersenyum kecil. "Gue sayang sama lo."
"Idih, enggak usah sok merayu-rayu gue."
Bella tertawa lagi. "Ya elah, cuma gue ini yang bikin lo susah kayak gitu."
"Iya, emang!"
Setelahnya panggilan tersebut Bella akhiri. Dia menghubungi satu nomor. Siapa lagi kalau bukan Anka. "Kamu yakin?" tanya Anka.
"Aku tidak tahu. Makanya coba dulu dalam beberapa bulan ini. Sometimes aku udah enggak ngerasain apa-apa lagi sama dia tapi disisi lainnya aku merasa dia udah kayak bagian. Kayak apa ya, tompel kali ya, walaupun gue enggak suka letaknya misalkan, tapi enggak bisa gue hilangin."
Anka berdecak tipis. "Masa disamain sama tompel sih Bel?"
"Ya trus, aku harus analogi pada apa dong, Mas."
Anka mengusap rambutnya. "Ya udah. Semoga kamu bahagia pada pernikahan kedua ini ya. Sorry saya enggak bisa datang. Saya ada loka karya di tanggal segitu."
"Ehm, enggak apa-apa. toh aku enggak terlalu bermewah-mewah kok. Asal lancar aja udah."
Anka tertawa kecil. Bella juga berdecak tipis. "Aku doain Mas segera nemuin pasangan ya."
"Amiin!" ujar Anka cukup keras. "Kamu tahu saya cukup jengah dengan mama apalagi semenjak saya bawa kamu ke rumah, sesuai dugaan mama ngebet sekali saya menikahi kamu."
Bella tertawa kecil. "Maaf ya saya tidak bisa memenuhi harapan tante."
"Its okey toh saya juga tidak berniat menikahi kamu."
Bella tertawa kecil. "Saya tahu. Saya tidak memiliki percikan itu,kan?"