"Memangnya tidak?"
Anka menggelengkan kepalanya. "Kami dari bibit yang sama dan ibu yang sama. Satu lagi perempuan." Anka membuka ponselnya lalu menampilkan layar sebuah gadis.
Bella menutup mulutnya. "Bukankah itu Aletta Claiment?"
Anka tertawa. "Orang-orang berfikir dia kekasihku. Kenyataannya dia wanita paling menyebalkan yang pernah kutemui."
Bella tersenyum kecil. "Mas Anka bohong sekali. Semua orang jelas tahu betapa mengagumkannya dia. Cantik, dermawan, baik hati, pintar, model top. Dia idola semua orang."
Anka menarik nafasnya. "Inilah semua orang. Mereka hanya tahu apa yang mereka lihat di majalah dan media sosial. Kamu akan tahu tabiat aslinya ketika kamu menjadi saudaranya. Pemalas, tukang tidur, malas dandan, dan lain sebagainya."
Bella tertawa kecil. "Aku tidak pernah punya saudara. Seandainya punya apa dia akan menganggapku seperti ini juga?" Bella berandai-andai mendengar curhatan Anka perihal kekasihnya. Anka tertawa juga mendengarkan celetukan dari Bella. Dia kemudian terhenti sebentar. "Tapi tunggu, jika mas Anka saudara Aletta berarti Mas Anka puteranya Adam Claiment?"
Anka mendesis. "Aku ketahuan!" pria itu menggerutu.
Bella terbelalak. "Benarkah? Wah!" Anna tidak percaya melotot dengan tatapan terkagum. Adam Claiment, konglomerat kaya dengan banyak harta. Ia mengusai industri penerbangan dengan nama yang mondar mandir di majalah bisnis. Memang jarang sekali mempublikasikan perihal keluarganya, Anna tidak percaya Anka adalah salah satu anaknya.
"Mari kita sudahi tentang aku. sekarang giliran kamu!" Anka melempar obrolan pada Bella.
Perempuan itu menaikkan alisnya. "Apa? Aku tidak memiliki kehidupan yang special seperti, Mas." Bella memulai ceritanya. "Papa pekerja kantoran biasa, mama punya bisnis toko roti kecil-kecilan. Memang bisa mencukupi kebutuhan kami. Sejujurnya sangat mencukupi tapi jika dibandingkan dengan Mas Anka, aku tentu saja belum seberapa."
Bella merendah membuat Anka berdecak pada perempuan itu. "Sudah mencukupi bukankah hal tersebut sudah lebih dari cukup?"
Bella menganggukkan kepalanya setuju. "Memang, kadang-kadang aku mensyukuri hal itu." Bella mengaduk makanan yang ada dihadapannya. "Tadi aku juga sudah sempat nyinggung kalau aku tidak punya saudara. Mantan suamiku juga tidak punya. Dulu kami sama-sama dua orang anak tunggal."
Anka menganggukkan kepalanya mendengar cerita Bella. "Aku bisa membayangkan seperti apa kehidupan kamu."
Bella tersenyum kecil. "Dari kecil aku sudah tertarik dengan dunia foto. Terutama ketika papa dan mama mengajak kami ke berlibur lantas menyempatkan foto pemandangan. Semenjak saat itu aku mulai punya kebiasaan untuk mengabadikan momen. Kadang-kadang hal yang biasa hari ini akan menjadi nostalgia berwarna suatu hari. Tapi aku lebih suka menjadi mengamat. Lebih suka menjadi mata dibandingkan menjadi objek yang terlibat di dalamnya."
Anka menganggukkan kepalanya mendengar cerita perempuan itu. Bella kemudian melirik pada laki-laki itu setelahnya. "Mas Anka kenapa memilih menjadi pengajar."
Anka menyerngitkan keningnya. Seolah pertanyaan itu belum pernah ditujukan siapapun padanya. "Maksudku, biasanya seseorang lebih tertarik meneruskan pekerjaan orang tuanya saja. Keluarga Mas Anka kan sudah erat terkenal di dunia bisnis."
Anka menganggukkan kepalanya. "Aku ikut juga bantu-bantu di perusahaan. Tapi mengajar memang profesi yang utama." Anka terdiam. Terhenti sebentar. "Ehm …" laki-laki itu berfikir. "Aku hanya merasa kadang perlu tempat untuk berbagi tanpa banyak pertimbangan. Diskusi yang bermanfaat tapi tidak perlu memberatkan. Karena itu aku memilih profesi ini."
Bella menganggukkan kepalanya. "hehe kita bicara cukup lama ya, Mas." Bella tiba-tiba tersadar jam melirik pada ponselnya.
Anka juga turut tersenyum. "Tidak apa-apa. Kamu juga teman yang nyaman ngobrol. Diantar pulang mau?" Anka menawarkan.
Bella mengerutkan keningnya merasa tidak enakkan. "Enggak usahlah, Mas! Banyak bangat aku repotin Mas. Udah sempat dibeliin kado ini aja aku udah makasi banyak."
"Aku serius enggak apa-apa. Lagipula kalau pulang dengan kendraan umum pada penuh di jam segini. Daripada sendirian macet di jalan, mending berdua bersamaku."
Bella tersenyum dengan tawaran Anka itu. "Boleh deh. Tapi kalau Mas Anka benar-benar sibuk aku benar-benar tidak masalah macet sendirian di kendaraan umum dibandingkan bersama Mas Anka yang membuat Mas banyak waktu terbuang percuma."
Anka tertawa kecil. Ia lantas membayar tagihan makanan mereka berdua. "Mas …" Bella benar-benar merasa tidak enak pada laki-laki itu.
"Tidak apa-apa. Aku pria. Apa kata mereka jika kamu yang membayar tagihannya. Ganti saja dengan roti buatan mama kamu. Tadi kamu bilang mama kamu bisnis roti."
Bella tersenyum. "Oke deh. Gampang itu mah."
Benar saja sesuai prediksi mereka, jalanan itu macet "Aku udah kirim pesan sama mama buat ninggalin bagian Mas. siapa tahu sampai sana udah habis."
Anka menaikkan alisnya. "Berarti laku ya?"
Bella tersenyum malu. "Lumayanlah, Mas. Alhamdulillah. Yaaah … enggak sering tekor sih. Walaupun belum nomor satu."
Anka tertawa. "Kamu berapa lama rencana di rumah mertua kamu itu?" Anka bertanya lagi setelah beberapa saat dengan pemikiran mereka masing-masing.
"Belum tahu sih, mas. Bisa sampai sore bisa sampai malam. Kenapa Mas?"
"Main ke rumah aku mau enggak?" Anka mengajak.
"Main ke rumah Mas?" Bella mengulang seolah tidak mengerti. dia hanya terkejut sebenarnya karenanya bereaksi seperti itu.
Anka menganggukkan kepalanya. "Ketemu sama mama aku. Main aja kok. Enggak aku kenalin sebagai siapa-siapa aja." Anka mengedip yang membuat Bella tertawa. Perempuan itu menggigit bibirnya berfikir.
"Gimana, Bel?" Anka menaikkan alisnya menanti jawaban. "Kamu mau?"
"Ehm … nanti aku kabari lagi ya, Mas gimananya. Soalnya teman juga ada yang ngajak ke puncak di hari yang sama. Entah acara mereka cepat berakhir, entah aku kunjungin mereka sebentar kemudian pergi apa gimana."
Anka menganggukkan kepalanya. "Enggak apa-apa. Kalau enggak siap besok, kapan-kapan saat kamu punya waktu luang juga enggak apa-apa."
Bella menganggukkan kepalanya. "Nanti aku kabarin."
Anka menganggukkan juga kepalanya. "Aku tunggu!" balas laki-laki itu dengan senyuman menawannya. Bella tersenyum beberapa saat menatap Anka kemudian menggelengkan kepalanya sendiri.
"Kenapa?" tanya Anka dengan sebelah alisnya.
"Enggak. Cuma enggak bisa aja bayangin jadi mahasiswa, Mas punya dosen tampan kayak gini agak humoris juga lagi."
Anka tertawa mendengar perkataan Bella. "Kalau nganterin plus traktirin kamu sekali aja dapat pujian, gimana kalau sering-sering ya? Penasaran dapatnya apa." Bella tertawa mendengar celetukan dari Anka tersebut.
"Aku enggak memuji barusan. Aku cuma membayangkan. Ayolah Mas! enggak usah denial pura-pura enggak tahu kalau Mas itu cukup tampan deh. Pasti banyak yang ngomong kayak gitu."
Anka tertawa kecil. "Lumayan sih. Rata-rata mahasiswaku."
"Biar nilai mereka tinggi ya, Mas?" membuat Anka tertawa dengan lelucon Bella.
"Kalau macet lama kayak gini bisa berjam-jam nih kita dijalan. Laper lagi enggak?! Drive thru bentar yuk?! Atau beli cemilan apa gitu dipinggir jalan." Anka memberikan saran.
Bella mengerutkan keningnya. "Memangnya perut Mas masih muat."
"Muat-muat aja sih. Daripada kita kekeringan ngobrol dalam mobil enggak ada makanan."
Bella tertawa. "Boleh deh, Mas."
Anka tersenyum mendengar perkataan Bella. "Suka nih sama yang banyak makan kayak gini."
Bella berdecak. "Enggak banyak makan juga sih, Mas. Cuma emang lagi enggak diet aja. Aku tuh kalau udah nambah badan lima kilo aja diet lagi. Cukup eksrim gitu, setelah itu jajan sembarangan lagi."
Anka manggut-manggut mendengar perkataan perempuan itu. "Aku juga pernah dengar tuh cerita kayak gitu. Soal sebenarnya makanan apa aja itu bisa jadi otot. Cuma gimana kita bentuknya."
Bella juga menganggukkan kepalanya setuju. "Podcast Om Daddy bukan?" Bella menebak yang dibalas cengiran oleh Anka.
"Aku juga suka tuh dengerin."