"Kata Ibu, Galas boleh main!" laki-laki itu tersenyum lebar neyengir pada ibu membuat Ibu tergoda untuk melayangkan satu cubitan lagi padanya.
"Bukan main yang seperti itu yang Ibu maksud Galas. Satu wanita saja kamu tidak beres, mau cari masalah dengan banyak wanita lainnya? Tidak! Kamu tahu sekali ibu sudah cocok dengan Bella. Ibu tidak suka ada menantu lain yang tidak sesuai dengan selera Ibu." Wanita itu sudah mencereweti anaknya khas orang tua berumur pada umumnya.
Neo berdecak. "Bu, jangan curang gitu ah! Kalau misalnya nanti Galas bawa perempuan lain selain Bella reaksi Ibu gimana?"
Ibu menatap puteranya tersebut beberapa saat kemudian menaikkan bahunya. "Tidak tahu. Ibu saja menerimanya dalam artian tidak marah-marah padanya atau tidak bersikap ketus. Tapi belum tentu sesayang ibu pada Bella. Dia harus berusaha keras untuk mendapatkan tahta seperti itu."
Neo berdecak. "Tapi Bella tidak perlu usaha banyak."
Ibu memainkan bibirnya. "Karena Bella baik, mengerti kamu, dia juga tidak menghalangi kamu sama Ibu. Yang terakhir adalah hal yang paling ibu suka dari Bella. Perempuan lain belum tentu ada yang mau. Kamu tahu Dyah? Ibu tidak bisa membayangkan memiliki menantu seperti itu."
Neo mengusap kepala belakangnya. "Intinya perempuan itu yang nggak ngekang aku sama Ibu ya? Tapi Dyah itu lumayan cantik juga kok, Bu! Lagi single jugakan dia?" Neo setelahnya berdiri buru-buru masuk ke dalam kamarnya sebelum satu cubitan Ibu kembali mendarat padanya.
"Galas sayang ibu!" pria itu bersorak sebelum benar-benar menghilang pada akhirnya.
***
"Mas Anka maaf sudah lama menunggu!" Bella datang menghampiri laki-laki itu dengan perasaan bersalah.
"Ngerti kok permasalahan kita selalu macet. Aku selalu bebasin mahasiswa di kelas mau datang jam berapapun. Berlaku juga buat kamu. Walaupun niat terlambat, tapi dia pasti juga sudah berusaha datangkan? Itu saja sudah lebih dari cukup bagiku."
Bella menggigit bibirnya merasa bersalah. "Tetap aja. Padahal aku yang buat janji dengan Mas."
Anka tersenyum kecil. "Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya." Anka kemudian mengambil tas belanja yang dari tadi sudah dipersiapkannya untuk Bella.
Bella menerimanya dengan senyuman. "Makasi banyak ya Mas udah mau direpotin. Aku sempat kebingungan mau beli kado apa."
Anka menganggukkan kepalanya. "Enggak apa-apa! Kebetulan aku memang ke Yogya kemarinkan."
Bella tersenyum. "Gimanapun juga aku harus ucapin terima kasih sama Mas."
"Jadi tas itu untuk siapa? Sorry, bukan maksud buat kepo. Kalau kamu enggak keberatan untuk cerita." Aku menggigit bibir.
Bella tersenyum. "Buat … mertua aku." Bella bersuara.
"Mertua?" Anka menaikkan alisnya. "Jadi kamu sudah menikah."
Bella tersenyum pahit. "Mantan mertua tepatnya. Tapi hubungan kami masih baik."
"Aku minta maaf!" Anka berujar.
Bella tersenyum. "Enggak apa-apa. bukan sesuatu yang sakit lagi. Orang banyak bertanya dan aku sudah bosan mengulang hal yang sama. Sudah mulai mati rasa dengan rasa pahit itu."
Anka menganggukkan kepalanya. "Jadi dia yang kamu cari itu dia suami kamu?"
Bella memainkan bibirnya. "Lebih tepatnya mantan suami."
Anka menatap Bella membuat perempuan itu berdecak. "Sudahlah! Tidak perlu memandangku seperti itu. Please!" Bella menyerngit.
Anka mengusap kepalanya. "Baiklah! Aku tidak bermaksud. Hanya saja aku juga pernah melihat perasaan kehilangan dari perempuan lainnya."
Bella menaikkan alisnya. "Mas sudah punya kekasih atau isteri juga?"
Anka tergelak. "Bukan." Wajah Anka berubah serius lagi. "Dari Mom. Ibuku. Umur tiga tahun ibuku kehilangan suaminya dan wanita itu memiliki tatapan seperti kamu setiap kali nama mendiang disebut. Atau pembahasan tentang hal seperti itu. Makanya aku menawarkan untuk mencari informasi. Karena aku melihat wanita yang berharap laki-laki itu dibangkitkan yang nyatanya mustahil."
Bella jadi teringat Galas. Laki-laki juga sudah tidak memiliki lagi sosok ayah dalam hidupnya. "Aku tidak tahu kalau kau …"
Anka tersenyum. "Bukan hal yang pahit lagi ketika hal tersebut sudah sering diceritakan." Anka mengulang lagi percakapan yang pernah Bella katakan sebelumnya. Perempuan itu berdecak. "Melihat bagaimana kau menceritakan soal mendiang, dia pasti ayah yang baik."
Anka menyerngitkan keningnya. "Dia hanya suami ibuku bukan ayahku."
Bella menyerngitkan keningnya. "Maksudnya?"
Anka tertawa kecil menganggap kebingungan Bella lelucon baginya. "Akan aku ceritakan kalau hubungan kita sudah lebih dari teman. Kalau kamu mau menjadi bagian dari keluarga itu."
Bella berdecak. "Mas ini!"
"Ngomong-ngomong aku merasakan kerongkonganku kering."
Bella tergelak. "Aku minta maaf tidak peka. Kita pesan minum? Sekalian makan?"
Anka tertawa kecil. Mereka masih melanjutkan percakapan pengenalan lagi dengan pembicaraan yang ringan. Semakin banyak tahu akan diri masing-masing. "Jadi kamu fotographer?" Anka bertanya ketika mereka sedang mencicipi makanan penutup. Dalam hal ini pudding.
"Begitulah!" Bella menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya aku mau fokus sama fotographi alam aja. Lebih hobi kesana. Cuma pekerjaan memotret fashion atau beberapa hal lainnya seringkali mendapatkan tawaran. Aku ambil juga kadang-kadang untuk menambah kesibukan."
Anka mengangguk-anggukkan kepalanya. Bella menaikkan alisnya. "Kenapa ekspresi Mas seperti itu?"
Anka mengusap rambutnya. "Aku minta maaf. Hanya mempelajari kamu. Biasanya kita sering kali mendengar mengambil apapun tawaran untuk bertahan hidup. Tapi kamu tidak terdengar seperti itu. Berarti kamu punya sokongan lain. tidak heran kamu meminta tas kulit dengan kualitas baik itu sebagai kado ulang tahun."
Bella berdecak. "Apa hal itu suatu yang buruk?"
Anka menggelengkan kepalanya. "Tidak juga. Tapi kamu berada di tempat yang diinginkan oleh semua orang. Pasti banyak tudingan miring terhadap kamu."
Bella menyerngit. "Mas Anka sendiri juga nyaris samakan?" Menunjuk jam Anka yang tidak murah serta barang bermerk lainnya yang digunakan oleh laki-laki itu. "Aku tidak merendahkan gaji dosen, Mas. Maaf tidak bermaksud menyinggung. Tapi kita sama-sama tahu jarang sekali pekerja jasa yang diapresiasi dengan gaji yang besar."
Anka menganggukkan kepalanya. "Ehm, tapi kadangkala kami punya proyek sampingan. Maksudku benar-benar proyek bukan dalam konotasi negatif. Seperti tenaga ahli dan lainnya."
Bella menganggukkan kepalanya. "Aku tahu. Tapi tebakan aku tentang status sosial Mas Anka benarkan? Lagipula Mas memanggil mama Mas Anka dengan sebutan Mom." Bella menyipit. "Hal yang paling krusial wajah blesteran itu. Mas tidak bisa menampiknya."
Anka tertawa kecil. "Sebenarnya Mom dari keluarga menengah dan yah… kebetulan pria yang aku saling rupanya memang memiliki darah campuran."
"Aku anak tunggal!" Bella bersuara.
Bian menganggukkan kepalanya. "Aku anak tunggal bagi ayah lainnya dan anak sulung bagi ayah satunya lagi."
Bella mengerutkan keningnya. "Mas dari tadi selalu rumit."
Anka tertawa. "Pada akhirnya aku membongkar beberapa juga sama kamu. Ini rahasia." Anka berbisik. "Aku anak sulung dari ayah kandungku dan bagi Dad aku anak tunggalnya. Dia tidak sempat memberikan aku adik tiri kehilangan nyawanya."
Bella mengerutkan keningnya mencerna. "Memang rumit Bel. Sebaiknya kamu tidak perlu mengerti. Kamu tahu hal apa yang lebih lucu lagi, ketika aku menjelaskan hal seperti ini pada orang-orang mereka berfikir aku mungkin memiliki dua ibu juga atau adikku hanya sedarah denganku. Padahal pemikiran itu salah."