Galas tertawa kecil. Menatap perempuan yang membuat Galas bahagia dan cukup nyaman itu. Dia tidak pernah merasa menyesal menikah dengan Bella. Tidak pernah merasa terbebani untuk bertanggung jawab atas kesakitan perempuan itu. Secara keseluruhan Galas juga turut bahagia bersama Bella. Ia bahkan merasa lebih baik setiap harinya dengan tawa Bella. Memang begitu ampuh mengurangi rasa bersalahnya.
Galas mengusapkan ibu jarinya pada punggung Bella. Lalu pandangan laki-laki itu beralih pada leher Bella yang membuat pria itu berdecak dengan hasil karyanya sendiri. "Bel, jika kita melakukannya lagi apa kamu akan keberatan?" pria itu bertanya dengan usapannya yang sudah mulai bernada lain.
"Apa?" Bella masih terkejut saat Galas menariknya lagi berada di bawah laki-laki itu. Ia mulai membuat tanda baru lagi pada perempuan itu. Kali pertama dan Galas sudah merasakan candunya pada Bella. Apalagi ketika perempuan itu juga turut memainkan rambutnya. Ada rasa tersendiri pada Galas ketika tangan Bella berada di rambutnya.
Galas berhenti sebentar, untuk mengagumi wajah Bella beberapa saat. Perempuan yang baru beberapa jam yang lalu menjadi isterinya itu sangat cantik. Bahkan teramat cantik dan Galas beruntung mendapatkannya. Galas tidak tahu bagaimana Bella merawat dirinya selama ini sehingga begitu mulus dan indah.
Galas mengecup keseluruhan wajah isterinya sebelum beralih pada area lainnya. "Bel, sepertinya aku akan gila!" pria itu berucap dengan teramat bahagia. Mengerang nikmat dengan sensasi yang membuatnya ketagihan.
Byur! Galas terkesiap, terperanjat bangun ketika sebuah siraman air membasahi wajahnya. "Sialan! Loe ada masalah apa hah?" Neo menyolot marah pada Toro yang sudah menganggu waktu bahagia Galas.
"Taik, diusia kayak gini Loe masih mimpi kayak gitu? Tolol ya! Lihat tuh jam! Gue kira mati! Tuh Gue udah bawain sarapan di luar."
Galas bersungut-sungut. Neo mengusap wajahnya. Meresapi yang selama ini terjadi baru saja mimpi belaka. Ia kemudian mengerang. Mulai malam itu Neo tahu bahwa dia akan sulit untuk melepaskan Bella. Seharusnya Neo mulai mengaku dari awal bukan membohongi Bella.
"Yeee malah ngelamun. Kesambet setan pas tidur apa gimana sih?!" Toro menyembulkan lagi kepalanya pada kamar.
Neo mendengus "Rewel Leo!" Neo kemudian masuk ke kamar mandi membersihkan dirinya membuat laki-laki itu mengusap kepalanya. Neo menginginkan yang dilakukannya dengan Bella di dalam mimpi semalam. Bagaimana ini?
Pria itu menghidupkan keran lebih deras. Berdecak kecil dengan kemampuan Bella yang membuatnya hilang akal. Neo menyelesaikan mandinya lebih lama membuat Toro geleng-geleng kepala dengan hidup miris kawannya tersebut.
"Kemarin Bella disini, kenapa enggak dikawinin langsung aja?" Celetuk pria itu yang berhasil membuat Neo mengeluarkan umpatannya. Toro tertawa puas menertawainya.
"Sialan! Loe kalau mau ngetawain gue pergi aja sono!"
Toro masih tertawa. "Santai sob! Bella masih cinta mati gitu."
Neo duduk di kursinya mendengus sebentar pada kawannya tersebut. "Loe enggak bilang hal yang aneh-aneh sama Bella kemarinkan?"
Toro menaikkan bahunya. "Dia hanya bertanya perihal mantan suaminya yang bernama Galas. Dia tidak pernah bertanya tentang pria yang bernama Neo." Hal yang berhasil membuat Neo menggeram dengan perkataan temannya tersebut.
"Dia enggak kesini hari ini?" Toro bertanya lagi.
Neo menghentikan makannnya. "Sepertinya enggak." Neo berucap pesimis yang membuat Toro menaikkan alisnya.
"Kenapa? Kemarin dia sabar bangat biarin Loe tidur dipahanya."
Neo mengerutkan keningnya pahit. "Kemarin karena terpaksa disuruh mamanya sepertinya. Dia udah tahu gue sedikit baikan."
Toro geleng-geleng kepala. "Jadi tidak ada serangan apapun kemarin?"
Neo diam. Mengingat ketika dia membuka mata kemarin dan mendapati wajah Bella yang terkantuk-kantuk. Neo sudah merasa sedikit mendingan semenjak minum obat. Membuatnya mampu membaringkan Bella dengan baik di sofa itu.
Diam-diam ia mengambil kesempatan selama beberapa detik sebelum sebuah telepon membuat Neo beranjak. "Bella masih berada disana?" itu suara papanya Bella. Mantan ayah mertuanya yang membuat Neo masih sering kuncup menghadapi laki-laki itu.
"Masih pa. Lagi tidur."
"Tidur? Galas kamu tidak melanggar aturan sayakan?" kendatipun mengucapkan dengan kalimat yang terdengar baik tapi nadanya penuh peringatan.
"Enng… enggak, Pa!"
"Kamu yakin?"
Neo menjilat bibirnya. "Yakin, Pa!"
"Kalian bukan suami isteri lagi! Ingat itu!" Neo mengiyakan lagi sebelum panggilan itu terputus. Neo mengusap wajahnya menatap Bella yang terlelap. Ah,, padahal dalam kondisi seperti itu terasa pas sekali memiliki Bella kembali barang sesaat. Berdua di apartemen dengan keadaan Bella yang setengah rapuh.
Semesta seperti sedang memberikan kesempatan pada Galas. Tapi dia tidak mungkin melanggar aturan papa Bella yang menakutkan itu. Ia kemudian mengambil selimut di kamar dan memberikannya pada mantan isteri yang masih Galas cintai dengan begitu tulus itu.
Ia mengusap pipi Bella sedikit. Menatap perempuan yang terlelap dengan mata terbuka sedikit. Kata orang salah satu ciri khas keras kepala dan pembangkang. Entah benar atau tidak tapi Bella memang seperti itu. Terutama dalam membenci Neo. Bella nomor satu keras kepalanya.
Neo menggigit bibirnya. Mungkin sedikit lumatan tidak akan membuatnya dibunuh oleh papa Bella. Mengecup singkat kemudian melumatnya penuh kelembutan. Neo memejamkan matanya menyesapi kerinduan. Dia mengerang setelahnya ketika Neo menginginkan hal lebih. Buru-buru beranjak jauh dari Bella sebelum dia benar-benar menuruti pemikiran gilanya.
Toro mengeluarkan umpatannya ketika temannya tersebut malah melamun sambil mengusap kepalanya kemudian. "Nikahin lagi aja udah. Berapa kali sih harus gue bilangin. Atau enggak perempuan yang Loe bawa pulang kemarin itu oke juga. Gimana rasanya? Cocok?"
Neo menatap temannya tersebut dengan wajah masam. "Enggak jadi mencoba. Gue kedapatan Bella di depan lift."
Toro menaikkan alisnya. "Padahal kalian udah enggak punya hubungan apa-apa lagi ya?" Toro tertawa kecil menertawainya.
"Sialan! Kayak hubungan Loe lancar aja." Galas mengumpati temannya tersebut membuat Toro menaikkan bahunya cuek pada sang teman.
"Seenggaknya gue enggak semiris Loe yang ditolak mentah-mentah tapi dikenang dengan sangat indah dalam waktu yang bersamaan." Toro puas sekali sepertinya melihat hidupnya menderita. Entah memang seperti itu tabiat seorang teman atau bukan. "Hari ini gimana? Loe sanggup kerja?"
Neo menggelengkan kepalanya. "Enggak kayaknya. Masih belum baikan."
Toro mengangguk-anggukkan kepalanya. "Okeh. Kalau mau mati cepat jangan kabarin gue ya! Malas harus sering-sering bolak balik sini."
"Eh sialan! Loe kesini juga buat nguras isi kulkas gue!" Neo melempar sebuah kacang pada kawannya tersebut dengan kegeraman.
Toro malah tertawa tanpa tersinggung. "Daripada tuh makanan kadarluarsa."
Neo mendengus. "Emang dasar licik Loe. Padahal gaji lebih banyak Loe."
Toro tertawa lagi mendengar perkataan Galas. "Loekan tahu gue harus ngeluarin modal banyak buat jalan ma pacar gue!"
"LDR sih Loe!" Neo menertawai kawannya tersebut.
"Daripada dekat enggak bisa digapai!"
"Bangsat!" Neo tidak menahan umpatannya untuk kawannya tersebut. "Lihat ya begitu Loe ngadu soal cewek Loe, pantat gue yang ngetawain Loe."
Toro hanya menaikkan bahunya. Bersiap keluar dari sana dengan sekantong makanan yang kembali dibawanya. "Coklatnya tinggalin. Itu kesukaan Bella."
Toro mendengus. "Kayak Bella bakal sering kesini aja." Tapi dia tetap menurut permintaan tuan rumah itu. Neo mengambil obat yang masih harus diminumnya untuk pemulihan. Dia ingin rebah lagi dipaha Bella sekarang tapi sialnya dia tidak bisa.
***