Bella membuka pintu café tersebut. menemui teman masa sekolahnya yang sudah menunggunya. Amora namanya. Tidak ada salahnya Bella menemui kawan yang sudah lama tidak komunikasi dengannya itu. Sewaktu sekolah menengah mereka cukup dekat namun kemudian kehilangan kontak sesuai dengan perjalanan hidup masing-masing.
"Hai, macet tadi. Sorry telat!" Bella menghampiri kawannya yang sudah tersenyum menyambutnya itu. Memberikan pelukan biasa ala perempuan seperti mereka sebelum duduk dihadapan gadis itu.
Amora menganggukkan kepalanya dengan senyuman. "Ngerti mah! Kota besar memang selalu macetkan menjadi alasannya?"
Bella menyerngitkan hidungnya beberapa saat untuk protes kemudian tertawa kecil. "Jadi apa yang bisa gue bantu buat Loe?" Bella bertanya setelah beberapa saat.
"Pesan makanan atau minuman dulu kayaknya gimana?"
Bella menyipit penuh curiga. "Kalau seperti ini auranya sogokan nih. Biasanya kepepet sesuatu." Bella tertawa kecil begitu juga dengan Amora yang mendengarkan celetukkannya. Bella memanggil pelayan lantas memesan beberapa menu kemudian kembali berfokus pada temannya.
"Jadi?" Bella menaikkan alisnya.
"Gue enggak tahu harus minta bantuan sama siapa lagi." Amora mengawali ceritanya dengan menggigit bibirnya penuh mengiba membuat Bella menaikkan alisnya menunggu. "Loe bisa jadi fotographer fashion?"
"Hah?"
"Fotographer yang lama tiba-tiba enggak bisa gitu. Gue kemarin enggak sengaja lihat foto kita pas sekolahan. Loe kan sering tuh ngambil-ngambil foto kayak gitu pas kita masih sekolah."
"Tapi gue terbiasa nature, Ra. Gue enggak yakin?"
Amora mengiba. "Mau ya? Gue enggak mau minta tolong sama siapa lagi. Pasti bisa kok."
Bella mengusap kepalanya. "Ya deh. Gue coba. Kalau hasilnya enggak bagus jangan salahin gue ya?!"
Amora tertawa kecil. "Tenang aja. Nanti gue juga dampingin Loe juga kok. Bagian yang mananya yang mau gue tonjolin. Kita diskusi dari sudut pandang Loe gimana, gue gimana."
Bella menganggukkan kepalanya. "Jadi sekarang udah berhasil wujudin mimpinya jadi seorang designer?" Bella tersenyum menoel sedikit tangan temannya tersebut.
Amora tertawa kecil. "Belum sebesar itu. Masih baru ini Gue enggak bakal hubungin Loe kalau udah besar."
Bella menggeram mendengar perkataan kawannya tersebut kemudian dia tertawa setelahnya. "Loe sendiri gimana, Bel? Udah jadi …"
Senyum Bella luntur sedikit menggelengkan kepalanya membuat Amora mengkerutkan keningnya. "Kenapa? Bukannya gue dengar Loe udah lumayan dilirik setelah lulus kuliah."
Bella menggeleng lagi. "Gue … sempat kecelakaan dan mengalami kebutaan." Bella berbisik membuat Amora menutup mulutnya terkejut.
Ia berdiri menghampiri temannya tersebut. "Ya ampun, Bel. Gue benar-benar enggak tahu. Sorry!"
Bella menganggukkan kepalanya. "Its okay! Salah gue juga yang terlalu banyak menarik diri saat itu. Giliran pas jatoh aja baru tahu rasanya kesepian."
Amora mengusap-usap pundak temannya tersebut. Bella berdecak. "Udah. Toh gue juga udah sembuh! Sekarang sih mulai coba-coba lagi. Baru beberapa bulan belakangan."
Amora menganggukkan kepalanya. "Ra, udah! Gue malas dikasihani gitu."
Amora berdecak. "Iya, tapi diribetin mau kan?" senyum perempuan itu dengan cengengesan membuat Bella mendengus kecil pada temannya tersebut kemudian tersenyum lagi. "Jadi kabar om dan tante gimana sekarang?"
Bella menganggukkan kepalanya. "Baik mereka. Masih suka jalan-jalan berdua tanpa gue. Berasa pacaran kali ya!"
Amora tertawa kecil. "Padahal nikahnya dijodohin ya?! Bisa lengket gitu."
Bella menganggukkan kepalanya. "Tahu tuh! Makin tua malah makin mesra."
"Masih suka bikin donat enggak? Kangen gue donat buatan mama!"
"Bukan mama lagi sih yang bikin. Adalah beberapa pegawainya mama. Tahu tuh! Apa-apa dibisnisin."
Amora berdecak. "Kan buat Loe juga nanti Bel. Anak tunggal ini."
Bella menyerngitkan hidungnya. "Kalau enggak ngerti juga percuma."
Amora tertawa kecil. "Om masih bekerja?"
Bella menganggukkan kepalanya. "Tapi sepuluh tahunan lagi paling lama pensiun kayaknya."
Amora menganggukkan kepalanya membuat perempuan itu menatap temannya. "Kamu sendiri? Bapak dan Ibuk masih suka …" Bella tidak melanjutkan percakapannya tidak enak hati.
Amora menarik nafasnya. "Mereka akhirnya cerai pas gue kuliah."
Gantian. Sekarang Bella yang menatap iba pada kawannya tersebut. Amora tersenyum. "Gue dan adik-adik sih milih tinggal sama bokap. Pada akhirnya Ibuk lebih memilih hidup bersama brondongnya itu daripada kami anak-anaknya."
Bella menganggukkan kepalanya. "Jadi Loe udah enggak pernah dengar apa-apa lagi soal Ibuk?"
Amora menggelengkan kepalanya. "Terakhir yang gue dengar brondongnya itu kena phk. Setelahnya mereka pindah tanpa tahu kemana."
"Jadi Bapak sekarang ngapain aja?"
"Udah santai sih bapak sekarang. Ikut pengajian sana sini. Katanya sih udah relain ibuk tapi diam-diam kami masih sering melihat beliau mandingin foto ibuk lama-lama. Entahlah! Bingung sama si Bapak."
"Adik-adik?" Bella bertanya yang lainnya.
Amora memainkan bibirnya. "Kirana di luar negri. Dapat beasiswa gitu dia. Michella semester 4 sekarang."
"Wuiih… kalian berhasil semua ya? Ikut senang gue!" Bella menanggapi.
Amora mengerutkan hidungnya. "Tapi yeah. Masih enggak sebaik Loe yang disayang sama si tante."
"Padahal nyusahinnya minta ampun ya?"
Amora tertawa kecil. "Tapi yang paling membanggakan juga bukan? Masih ingat tuh gue si tante gimana senyum lebarnya tiap kali dapat juara kelas."
Bella berdecak. "Gue hanya peringkat tiga. Paling jauh dua ya. Lain ya sama Loe yang langganan peringkat satu."
Amora tertawa kecil. "Lucu tuh ingat masa-masa itu. Mana ibu-ibu pada nanya tips kita langganan terus apa lagi? Padahal kerjaan cuma nyari spot foto dan ngegambar sama bikin baju."
Bella tertawa kecil mengingat kenangan indah pasa sekolah menengahnya tersebut. "asmara gimana Bel? Udah ngerasain jatuh cinta sekarang dong ya?"
Bella menghentikan senyumnya lagi yang membuat Amora merasa bersalah untuk kedua kalinya. "Bel … are you okey?"
Bella menggelengkan kepalanya. "Belum lama ini gue divorce."
Amora membelalakkan matanya. "Kenapa?"
Bella menyerngitkan hidungnya kemudian mengangkat bahunya. "Itu juga yang menjadi misteri bagi gue sampai sekarang. Tiba-tiba digugat cerai gitu aja. Nanti ya perlahannya waktu gue ceritain. Sekarang enggak tahu darimana." Amora menganggukkan kepalanya. "Loe sendiri gimana, Ra? Udah punya baby?"
Perempuan itu membelalakkan matanya. "Boro-boro punya baby. Nikah aja belum. Dan enggak akan menikah."
Membuat Bella berdecak. "Enggak semua pernikahan itu berakhir tidak menyenangkan."
"Dan enggak semua pernikahan itu membahagiakan."
Bella mendengus. "Pernikahan gue bahagia. Cerainya yang menyakitkan."
Amora mendengus. "Padahal Kirana udah punya pacar tuh!"
Amora menerima minuman yang tadi dipesannya lantas menyesapnya. Cukup lama mereka mengobrol membuat perempuan itu sedikit kering kerongkongannya. "Kayaknya nikah deh setelah lulus kuliah."
"Oh ya? Trus Loe enggak masalah dilangkahin?"
"Ya enggak masalahlah! Kirana ya urusannya dia. Enggak ada kaitannya dengan gue, walaupun Bapak sering tuh nyinyir nanya-nanya. Bahkan punya wacana mau jodohin segala."
Bella menegapkan badannya penasaran. "Oh ya? Trus Loe ngomong apa?"
Amora menggelengkan kepalanya. "Gue menolak keras."