Senyum cerah dibibir Claudia langsung bermunculan mendengar kabar tersebut. "Serius?"
Neo menganggukkan kepalanya. Claudia tersenyum tidak pikir panjang masuk ke dalam mobil lantas menyebutkan alamatnya. "Sesuai aplikasi ya mbak?" Canda Neo menirukan driver ojol.
Claudia tersenyum kecil. "Iya Mas. Sesuai aplikasi."
Setelahnya pembicaraan mereka melantur kemana-mana mengisi macet di jalanan selama berjam-jam. Oh! Entah sampai kapan jam padat di kota besar berakhir. Macet sudah menjadi rutinitas.
"Makan malam di tempat gue dulu yuk! Hitung-hitung ucapan terima kasih." Claudia menawarkan.
"Enggak perlu repotin gitulah. Ikhlas kok gue nganterin loe pulang."
"Ayolah! Loe terlalu banyak basa basi. Enggak enak gue."
Neo akhirnya tidak membantah lagi. Pria itu diam menuruti Claudia yang tinggal di kos-kosannya. "Kosan ini campur?" Neo bertanya.
Cladia menganggukkan kepalanya. "Tapi anak-anak yang ngisi asik-asik semua kok. Enggak pernah usil atau resek gitu."
Neo menganggukkan kepalanya. Memasuki kamar Claludia dan memindai secara keseluruhan. Cukup mewah dan besar. Bukan kos-kosan kaleng-kaleng juga. Wajar sih dengan gaji Claudia yang lumayan.
"Kamar ini sendiri yang ngisi?" Neo bertanya basa-basi.
"Gitulah." Claudia menyingsingkan kemejanya sampai siku memasuki dapur yang tidak jauh dari sana sementara Neo duduk manis di sofa.
Neo menganggukkan kepalanya lagi. "Berapa sebulan?" tanya Neo mencari topik pembicaraan.
"Enggak sebanding lah dengan apartemen loe itu, Pak!" Membuat Neo membalasnya dengan tawa.
Claudia menghampiri Neo tidak lama. Perempuan itu termasuk cepat juga dalam menyiapkan hidangan. "Gue punya minuman, loe mau?"
Neo menggelengkan kepalanya membuat Claudia mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
"Pulang nanti nyetir. Enggak mau ngambil resiko berkendara aja."
Claudia tersenyum tipis. "Loe kaku juga ya?" Menghampiri Neo membuat laki-laki itu tergelak. "Bisa kali tidur disini. Enggak apa-apa gue." Claudia menganggukkan kepalanya dengan sebelah tangannya yang berada di paha Neo.
"Claudia ..." Neo memperingati memberikan batasan.
Tapi Claudia tidak berhenti malah duduk lebih menatap Neo dengan kancingnya yang semakin dibukanya. Pria dewasa mana yang tidak berliur melihat makanan favorit mereka yang mengintip seolah ingin segera tumpah itu. "Gue udah lama suka sama Loe tahu enggak sih, Las? Tapi Leo udah punya isteri waktu itu. Sadar gue enggak berhak nyari kesempatan. Sekarangkan kondisinya udah beda."
Mata mereka bertatapan beberapa saat dengan Claudia yang tahu-tahu bergerak agresif menduduki pahanya. Begitu sensual berniat mendekatkan wajahnya pada Neo. Oh! Sudah pasti pria yang baru saja menyandang status sebagai duda tanpa anak tersebut goyah. Apalagi dia sudah cukup lama puasa semenjak bercerai dari Bella.
Namun sedetik sebelum mereka bersentuhan, Bella mengacaukannya begitu saja. Gadis itu dalam wujud bayangan hadir begitu saja di depan mata Neo. Membuat apa yang tinggi dalam diri Neo tadi langsung kicep turun drastis. Merasa seperti sesuatu hal sedang salah.
Neo menyingkirkan Claudia cepat lantas segera berdiri sambil merapikan bajunya lagi. "Loh Neo, kenapa?"
"Loe cantik, Di. Ada baiknya Loe memberikannya pada pria yang tulus mengiginkan Loe. Bukan pria dengan seseorang yang masih memiliki cinta pada wanita lain seperti gue. Sorry!"
Setelahnya Neo keluar dari sana menatap Claudia yang entah memikirkannya dengan pandangan apa. Pria itu melajukan mobilnya sampai kediaman orang tua Bella tapi Neo tidak turun. Ia hanya menatap kamar perempuan itu dari dalam mobilnya.
Neo menyandarkan kepalanya pada jok. Bella, perempuan yang sudah berusaha Neo lepaskan, namun bayang-bayangnya masih begitu erat menjerat. Neo kelabakan. Tidak pernah jatuh cinta pada perempuan sedalam ini pada Bella sebelumnya.
***
"Galas, sudah siang! Kamu tidak ingin berangkat kerja?" Ibu memukul punggungnya untuk membangunkannya yang telungkup di depan ruang tamu.
"Siangan aja, bu. Kelapangan juga kok hari ini," gumam Galas dengan sedikit malas-malasan.
Setelah frustasi di depan rumah Bella, Galas melajukan lagi mobilnya ke luar kota. Rumah ibunya membuat wanita itu cukup terkejut dengan puteranya yang datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Terlebih lagi dini hari.
"Masih karena Bella?" Ibunya menduga membuat Neo membalikkan badannya menjadi telentang.
"Ibu kenapa langsung menduga seperti itu?"
Ibu berdecak kecil. "Kamu tumbuh dalam kasih sayang ibu, Galas. Gimana ibu enggak bisa nebak isi pikiran kamu. Cuma Bella yang buat kamu bisa lebih bahagia dan santai."
"Apa gini juga perasaan ibu waktu kehilangan ayah?"
Ibu mengelus kepalanya. "Saat itu kamu ada Galas. Jika kamu tidak ada, mungkin ibu tidak bisa bertahan."
"Berarti Galas juga seharusnya memiliki putera juga dengan Bella gitu, bu?"
Ibu menyentil hidung anak semata wayangnya tersebut. "Kalau sekarang kamu melakukan itu, bisa habis kamu dengan Pak Janu."
Neo tertawa kecil. Ia mengusap kepalanya. "Galas enggak pernah tahu patah hati bisa seperti ini."
"Siapa suruh kamu menceraikan Bella!" ibu menyentil lagi hidung anaknya tersebut membuat Neo memberengut manja.
"Bella yang minta, Bu!" protesnya.
Ibu mencibir. "Bisa kamu cari alasan. Udah duduk sana! Ibu siapin kamu sarapan. Sakit tapi enggak ngabarin ibu."
Wanita yang mulai keriput itu mengomel pada anaknya dengan tatapan sedikit marah. Neo cengengesan. "Mama ya yang ngasih tahu."
"Ehm, itupun tidak sengaja ketika kami berteleponan."
Neo tersenyum. Hubungan dua besan itu masih akrab. Bertukar kabar sesekali entah membicarakan masalah apa. tidak melulu tentang anak-anak mereka. Kadangkala membahas masalah acak tentang apapun. Jika kadangkala sesama besan jarang sekali sepaham, mama dan ibu justru berbeda. Mereka menjadi dekat setelah anak-anak mereka menikah. Berusaha saling memaafkan dan menerima konflik di masa lalu.
"Kan udah ditemenin Bella juga. Juga ada Toro yang sering jenguk bolak-balik."
Ibu menghidangkan sup dihadapan anaknya tersebut. "Untung Bella enggak bunuh kamu sekalian ya?"
Neo tertawa kecil. "Bella kan sayang sama Galas, Bu. Enggak mungkinlah dia tega." Membuat Ibu mencubit rusuk anaknya tersebut. Galas kemudian memeluk ibunya tersebut.
"Jangan marah-marah gitu, Bu! Galas satu-satunya anak ibu lho."
"untung cuma satu, Galas. Kalau tidak sudah ibu telan kamu!"
Galas tertawa mendengar perkataan ibunya tersebut. "Habis ini temani ibu ke pasar dulu ya? Kamu siangkan perginya?"
"Memangnya sayur masih ada siang-siang gini?"
"Kamu pikir cuma sayur aja yang ada di pasar huh! Udah dibeli sama Narti. Ibu mau beli makanan buat bingkisan pengajian."
Galas melihat hal tersebut kemudian menganggukkan kepalanya. "Apa sih yang enggak buat Ibu. Di suruh ambilin buat juga Galas usahain walaupun berat."
Ibu berdecak kecil dengan anaknya tersebut. "Mulut kamu Galas persis seperti ayah kamu."
"Kan anaknya, Bu!" senyum Galas membuat Ibu berdecak sekian kali.
"Buru dihabisin ya! Ibu mau siap-siap dulu."
"Ya!" jawabnya singkat menurut. Pria yang sayang pada ibunya tersebut tidak banyak mengeluh. Palingan nanti manyun beberapa senti jika ibunya terlalu lama tawar menawar di pasar.
***