Pada akhirnya Bella geleng-geleng kepala dengan temannya tersebut. "Keren dong ya, Kirana dapat orang luar."
Amora menggelengkan kepalanya. "Enggak! Masih lokal kok. Hubungan jarak jauh sekarang. Udah dipacarin dari empat tahun yang lalu. senior dia pas kuliah."
Bella menarikkan alisnya. "Oh ya? Apa kerjaannya? Ehm … maksud gue penasaran aja."
"Arsitek."
"Arsitek?" Bella mengulang.
Amora menaikkan alisnya. "Kenapa kamu kenal dengan seseorang dengan profesi arsitek? Dia arsitek sebelumnya?" untuk pertanyaan yang terakhir Amora bertanya dengan sedikit hati-hati.
Bella menggelengkan kepalanya. "Bukan. Menager konstruksi. Tapi temannya seorang arsitek."
Amora menganggukkan kepalanya. "Lumayan dong ya menager konstruksi."
"Apanya?" tanya Bella.
"Gajinya." Membuat Bella meledakkan tawanya. perempuan itu menarik nafasnya.
"Dulu waktu jadi isterinya lumayanlah bisa lumayan tercukupi. Belum sampai yang terlalu tinggi lah! Lagipula dia juga punya ibu yang harus dia penuhi juga kebutuhannya."
Amora menaikkan alisnya mendengar cerita Bella. "Berarti dia sayang ibunya ya?"
Bella menatap Amora lantas tersenyum sambil menganggukkan kepalanya yakin. "Nomor satu," bisik Bella mengingat bagaimana Galas selalu mengutamakan wanita itu selain dirinya. Sering juga memanjakan ibunya dalam kondisi apapun.
"Ibu begitu keras berjuang untuk membesarkan aku, Bel. Terlebih setelah ayah enggak ada. Aku enggak bisa melihat ibu bekerja keras lagi." Kalimat yang mampu membuat Bella semakin sayang pada Galas.
"Seandainya ibu mau tinggal dengan kita disini ya? Atau seandainya kita bisa menemani ibu disana."
Galas menganggukkan kepalanya. Sialnya pekerjaan Galas membuat laki-laki itu tidak bisa selalu ada untuk ibunya. Dulu sewaktu masih menjadi suami isteri dengan Galas, mereka sering mengunjungi Ibu setiap ada kesempatan. Kadangkala memanjakan ibu dengan mengajaknya jalan-jalan atau memberikan hadiah kecil lainnya.
***
"Dari mana bel?" Mama bertanya saat puteri tunggalnya tersebut memasuki rumah.
"Habis ketemu, Amora." Bella menjawab singkat.
"Amora?" Mama mengerutkan keningnya mengingat. "Teman kamu pasti sekolah dulukan? Gimana kabarnya sekarang?" Mama bertanya pada anaknya tersebut.
"Baik dia. Udah jadi designer. Ini Bella disuruhnya fotoin karya terbarunya nanti."
Mama menaikkan alisnya. "Oh ya? Tapi dia memang berbakat sih dari dulu. Trus gimana? Kamu ambilkan? Mama senang kamu punya teman lagi."
Bella memutar bola matanya. "Dia memelas gitu."
"Ngomong-ngomong ngapain dia disini?" Bella menatap sinis pada pria yang sedang duduk di dalan rumahnya sambil menyesap kopi itu. Entah kenapa sosok pria bernama Neo itu selalu menghantuinya semenjak dia mendapatkan lagi cahaya pada matanya.
"Jangan gitu!" Mama mengusap lengannya pelan. "Tadi Neo bantuin mama benarin genteng."
"Benarin genteng? Emang papa enggak bisa?"
Mama berdecak. "Ish kamu ini. Papa udah tua masih disuruh manjat-manjat genteng. Gimana sih? Lagipula bukan benerin biasa. Ada plafonnya juga yang sedikit rusak. Perlu orang prosesional tahu. Papa kamu mana mengerti!"
Bella menaikkan sebelah alisnya menatap Neo. "Dia bisa?"
Mama berdecak lagi. "ya bisalah! Kan lulusan sipil. Ahli Neo dalam urusan seperti itu."
Bella menaikkan alisnya kemudian menganggukkan kepalanya. "Pantes kenal sama Toro."
Bella melirik Neo sekilas. Tentu saja masih dengan tatapan sinisnya. "Oh ya ngomong-ngomong soal Amora dia udah nikah apa belum?"
Bella berdecak. "Mamakan tahu dia benci pernikahan. Katanya sih dia enggak akan nikah."
Mama menaikkan alisnya. "Kenapa?"
Bella mengerutkan keningnya. "Mama tahulah pernikahan orang tuanya tidak membuat tidak bahagia. Ibunyakan selalu mempermasalahkan ayahnya semenjak bangkrut dan selingkuh dengan brondong. Katanya sih udah resmi cerai semenjak kuliah."
Bella berbicara sendu. "Aku jadi kasihan deh, Ma. Bisa bayangin gimana kehidupan Amora saat itu. Dia pasti juga berusaha keras untuk menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya yang lain."
Bella menarik nafas. "Wajar sih kalau Amora trauma dengan pernikahan."
Mama juga turut menatap sendu dengan tatapan prihatin selama beberapa saat pada puterinya. "Kamu juga tidak trauma pernikahankan?" Mama bertanya.
Bella menatap pada mamanya dengan kening mengkerut. "Jika yang mama maksud pertanyaan itu agar aku dekat dengan dia itu mustahil. Aku enghaak mau dijodohin sama dia."
Mama menatap anaknya. "Kenapa kamu berfikiran seperti itu."
"Mama selalu berusaha mendekatkan kami dalam momen apapun."
"Kamu hanya belum pernah mencoba dekat dengan aku aja, Bel. Coba gitu perlahan-lahan buka hati."
Bella menggulirkan bola matanya. "Hanya dalam mimpi Loe."
Neo menarik bibirnya dengan sedikit nyeri. Di masa lalu dia terasa bisa menggapai Bella. Berpijak dadi angka nol untuk sampai pada perhatian Bella. Tapi keadaan sekarang membuatnya berada dalam kondisi minus.
Mama mengusap lengan anaknya. "Bel ..." ujar mama dengan sedikit kesenduan.
Bella memejamkan matanya menarik nafas. Menahan amarahnya yang menggelagak. "Mungkin bagi mama dia pria yang cocok untuk kriteria menantu. Tapi bagi Bella ..." Bella menggelengkan kepalanya optimis.
Neo menyerngitkan hidungnya. "Awas loe Bel, kamu belum tahu pesona aku aja. Siapa tahu nanti bikin kamu jatuh cinta."
Bella mendengus. Mencomooh Neo lantas berjalan menuju kamarnya begitu angkuh. "Kamu pahami Bella aja ya, Galas. Padahal dia tidak pernah membenci seseorang sebesar ini sebelumnya."
Neo tersenyum sambil mendesis miris. "Salah Galas juga, Ma. Tapi ya sudahlah. Galas enggak berhenti mencoba setiap ada kesempatan."
Mama berdecak mendengar perkataan mertuanya tersebut. "Jadi dulunya Bella punya teman akrab ya, Ma?"
Mama menganggukkan kepalanya. "Kamu belum tahu ya? Gitulah ... mereka nyaris selalu berdua setiap hari. Kemudian mereka kuliah di universitas yang berbeda. Amora mendapat kuliah di luar negri. Mama tidak tahu kenapa dia hilang kontak, mungkin karena kesibukan masing-masing dan lain sebagainya."
Neo menganggukkan kepalanya mendengar cerita mantan mertua yang masih sangat menerima kehadirannya itu. "Mudah-mudahan bisa mengobati kegalauan Bella ya, Ma."
Mama menganggukkan kepalanya. "Iya, mudah-mudahan."
***
Neo meregangkan otot-ototnya sebelum berdiri. Pekerjaannya pada akhirnya selesai juga untuk hari ini. Tidak mudah menjadi menager konstruksi dengan segudang tanggung jawabnya sendiri.
Ia melangkahkan kakinya keluar. Bersiap untuk pulang. Namun sebelum masuk ke dalam mobilnya, Neo melihat seseorang. Claudia, rekan kerjanya. Cantik, putih mulus hidung mungil, bibir sensual menggoda. Belum lagi bagian tubuh Claudia membesar dibagian yang laki-laki suka tapi mengecil pada bagian pinggang.
Neo bukannya pernah mengintip Claudia saat-saat tertentu. Tapi rok pendek sepahanya yang ketat ditambah dengan bajunya yang mencetak pas pada badan yang menampilkan semua itu. Ia menoleh ke arah Neo ketika pria itu sedang menatapnya.
"Lagi nunggu siapa?" Neo bertanya.
"Taksi atau kendaraan umum apapunlah. Tapi pada enggak ada. Sekalipun ada udah diisi semua. Daritadi udah pesan online juga enggak ada yang nerima." Claudia menjelaskan dengan begitu rinci.
Membuat Neo menganggukkan kepalanya. "Bareng gue aja." Melirik jam yang tidak pas lagi untuk seorang perempuan berada di luar rumah sendirian.