"Bell, kalau kamu lupa aku erat kaitannya dengan dunia konstruksi. Aku alumni sipil, sayang, alat seperti itu juga berguna kadang di rumah. Dan masalah perban dengan balutan darah itu apa kamu tidak melihat kakiku yang sedikit terluka. Tidak sengaja ke gores besi di tempat kerja. Masalah pakaian kamu itu, ehm .. apa yang kamu pikirkan? Aku pria dewasa yang tergila-gila sama kamu." tapi semua itu hanya Neo katakan dalam hatinya. Dia tidak mengatakannya dengan benar.
"Kamu terlalu banyak menonton cerita yang seperti itu. Dia tidak seburuk itu."
"Berarti Loe pernah bertemu dengannya?"
Neo gelagapan. "Tidak juga. Aku … bahkan tidak tahu tempat itu diisi oleh orang lain selain kau."
Bella menatap laki-laki itu beberapa saat kemudian menghembuskan nafasnya. "Yeah, Loe ada benarnya. Jika Galas seperti itu, Gue sudah pasti mati dari lama. Bahkan ada pria yang lebih menakutkan tapi Gue dengan tololnya mau pulang sama dia."
Jab! Entah berapa kali Bella akan memukul Neo dengan kata-kata.
"Jangan terlalu membenciku seperti itu. Kamu tidak pernah tahu nanti sebesar apa kamu mencintaiku."
Bella tertawa meremehkan hal yang termustahil yang pernah dirasakannya. "Pria yang diduga sempurna saja bisa membuat terluka. Apalagi Loe? Lagipula gue enggak akan goyah dengan pria buaya kayak loe."
"Jangan menuduhku seperti itu!" ucap Neo dengan sedikit decakan.
Bella menaikkan alisnya lagi. "Perempuan yang Loe usir tadi buktinya. Gue yakin banyak perempuan yang Loe bawa ke tempat Loe sebelum itu."
"Tidak pernah ada. Aku hanya main dengan teman dan yeah … namanya juga pria dewasa yang sudah lama tidak melakukannya. Aku juga butuh pelepasan Bel."
Bella menaikkan alisnya. "Berarti sebelumnya pernahkan? Bahasa Loe udah lama …"
Neo menggigit bibirnya. "Dengan kamu sayang. Ah … apa aku harus mengatakan malam-malam indah kita itu?" Neo mengerang dalam hatinya. Entah kenapa Bella selalu melemparkan hipotesis yang buruk untuknya. Andai saja Bella tahu kenyataannya seperti apa.
"Yeah, pernah …" Neo mengakui juga. "Dan kamu harus tahu kalau pria sudah pernah seperti itu, sulit untuk dia tidak lagi." Neo bersungut-sungut membuat Bella mendengus.
"Tapi banyak pria di luaran sana yang misalkan ditinggal isterinya tetap setia? Tetap tidak melakukan hal itu?"
"Berarti dia pria yang sabar!"
"Dan Loe bukan?"
Neo tersenyum menatap Bella sekilas kemudian cengengesan.
***
Bella menekan bel apartemen Neo. Sedikit tidak ingin menginjakkan kakinya disana tapi mama minta tolong padanya. Kabarnya pria itu sakit. Mama tidak ada di rumah. Dia sedang pergi keluar kota dengan papanya Bella. Bella menduga alasan mereka saja yang ingin menikmati waktu berdua.
"Oh! Padahal sudah tua." Bella geleng-geleng kepala ketika ditinggalkan sendirian.
Memasuki hari kedua mama menghubunginya. Tidak hanya untuk menanyakan kabarnya. Tetapi juga untuk memberikan titah kepada anaknya tersebut untuk merawat Neo yang katanya sakit.
"Kenapa harus Bella sih, ma?!" Protesnya. Padahal mamanya tahu sekali sebenci apa Bella pada laki-laki itu.
"Neo tidak memiliki siapa-siapa disini, sayang. Lagipula dia beberapa kali sudah bantu kamu."
Bella memutar bola matanya. "Bella enggak mau. Kenapa mama begitu perhatian sama dia. Sebenarnya anak mama itu, Bella atau berengsek itu sih?"
Mama berdecak kecil. "Jangan seperti itu sayang! Mau ya? kasihan dia sendirian di apartemennya."
"Udahlah. Siapa tahu kematiannya memang menjadi yang terbaik."
"Bel..." mamanya menggeram memperingati. "Ya sudah kalau kamu tidak mau. Mama tidak paksa juga."
Nada perempuan yang melahirkannya itu terdengar begitu mengiba sebelum telepob itu ditutup. Karena hal itulah Bella berada disana. Merasa tidak enak hati telah membuat mamanya tersebut bersedih.
Bella menekan bel sekali lagi. Sebuah pikiran buruk mulau berkelabat dalam kepala perempuan itu. Bagaimana jika Neo benar-benar terkapar di dalam.
Pintu pada akhirnya dibuka dengan Neo yang menatapnya dengan mata picak. "Bel," Neo meringis sedikit.
"Gue disuruh mama bawain Loe bubur." Bella bersuara malas-malasan membuat pria itu mengangguk.
Neo menganggukkan kepalanya membuka pintu lebih lebar sebelum tertutup dengan sendirinya. "20192804." Neo bersuara lirih sebelum membaringkan dirinya di sofa. Pria itu benar-benar sakit sepertinya.
"Hah?" Bella tidak mengerti dengan angka yang diucapkan oleh laki-laki itu.
"Kode aksesnya. Kamu tidak perlu menunggu selama itu di luar."
Bella menganggukkan kepalanya dan terhenti. Itu hari pernikahannya dan Galas. Tapi dia tidak melanjutkan. Neo sedang sakit dan dia sedang malas bertanya. Mungkin hanya sebuah kebetulan.
"Loe udah beli obat?"
Neo menunjuk meja tempat obatnya tergeletak. "Udah minum obat?"
Neo menggelengkan kepalanya. Membuat Bella berdecak. Perempuan itu mengambil air mineral menghampiri Neo dengan membawa obat.
"Suap buburnya dulu," ucap Bella yang sudah membuka kotak bekal yang dibawanya.
Neo duduk susah payah membuat Bella berdecak dengan kelakuan laki-laki itu. "Lebay Loe. Demam dikit aja."
Neo tidak menjawab memajukan bibirnya kemudian menerima bubur buatan Bella. Dia hanya memakannya dua suap lantas mengembalikannya lagi setelahnya.
"Enggak enak apa gimana sih?" Bella bertanya melihat kelakuan laki-laki itu.
"Pahit ..." ucap Neo memelas.
Bella memutar bola matanya. "Makanya dipaksain ..." ucap perempuan itu kemudian memaksa Neo untuk menerima bubur itu. Setelahnya Bella memaksa Neo juga untuk menelan obatnya.
"Bel, kamu akan disini bentarkan?" Neo menggenggam tangan perempuan itu yang ditepis oleh Bella.
"Enggak!" ujar Bella tanpa perasaan.
Neo memajukan bibirnya. "Bel .... nanti kalau aku kenapa-napa masa kamu tega! Mau ya? Sampai agak mendingan aja ... please ...."
Bella berdecak. "Ya udah!" ujarnya.
Neo tersenyum. Merebahkan dirinya di paha Bella. "Loe apa-apaan sih?" Bella menahan kepala pria itu.
"Pen dielus ..." ujarnya.
Bella berhenti memberontak setelah Neo berhasil merebahkan diri dipaha perempuan itu. Menyusupi pinggang Bella dan mengarahkan tangan perempuan itu pada kepalanya. Bella dapat merasakan dahi laki-laki itu yang cukup panas.
"Loe sebenarnya manja gini karena anak bungsu apa gimana sih?"
"Aku anak tunggal." Neo menggumam membuat Bella berdecak meremehkan.
Bella membiarkan Neo terlelap setelahnya. Menyusuri kepala lebat pria itu serta hembusan nafas Neo pada perutnya yang membuat Bella berdesir. Neo tertidur pulas seperti bayi. Menggenggam sebelah tangannya, lantas membiarkan Bella mengusap kepalanya dengan tangan perempuan itu yang lain.
Bella jadi bertanya, benarkah dia semanja Neo juga? Dari yang perempuan itu tahu dia merasa sudah terlalu mandiri dari lama. Memang kadang-kadang Bella agak sedikit manja. Tapi tidak pernah seberlebihan Neo lakukan sekarang. Lagipula dia perempuan. Sudah hal yang biasa untuk mandiri.
Entah berapa lama Neo dan Bella berada dalam posisi itu sampai sebuah suara pada pintu terdengar. Tidak lama menampilkan satu sosok pria yang tidak kalah karismatiknya dari Neo. Pria itu menaikkan alisnya menatap Bella yang sepertinya terkejut dengan kehadirannya.