Rachel menjerit.
Gadis itu berusaha menutup wajahnya dengan satu tangannya sambil memiringkan kepala untuk menjauh dari kepala laki-laki itu.
"Eh!"
Rachel tertegun ketika beberapa detik kemudian tidak ada gerak lanjut dari laki-laki yang masih memegang kedua bahunya itu.
Gadis itu sedikit membuka tangan yang menutup wajah dan melihat laki-laki itu tengah menatapnya lembut dengan senyum seringai yang misterius.
"Apa?" teriak Rachel.
Mata cantik gadis itu membelalak kesal.
"Aku hampir saja lupa," ucap laki-laki itu datar.
"Iya, Apa? Emang harus begini cara ngomongnya?" protes gadis itu ketika menganalisa posisi laki-laki itu yang membungkuk beberapa centimeter di atasnya.
Sorot lembut mata laki-laki itu berubah tajam. Ekspresi wajahnya turut mengancam.
"Mulai saat ini tak ada nama laki-laki lain yang boleh disebutkan mulut ini selain namaku," tegas El Thariq sambil meletakkan jarinya di dagu Rachel sambil menunjuk dengan tatapan ke arah bibir gadis itu.
"Ah!" jerit Rachel dalam hati.
Seketika wajah Alex kembali hadir.
Dan ketika wajah itu mengantarkan pada kejadian terakhir gadis itu bersama laki-laki dalam pikirannya itu, hatinya terasa ngilu.
"Mengerti? ... Ra?" tegur El ketika melihat gadis itu malah menerawang ke satu arah tak jelas.
"Agh!" seru gadis itu tersentak ketika laki-laki itu menggerakkan dagunya.
"Apa sih? Minggir!" seru Rachel kesal.
Alih-alih menjawab peringatan itu, gadis itu justru mendorong ke atas tubuh El Thariq dengan kaki.
Laki-laki itu terduduk, kemudian beranjak.
"Kita lanjutkan nanti, aku sudah lama mengabaikan tamu-tamuku. Ingat aku sudah memperingatkanmu, jangan sampai ke depan ada hal-hal yang sangat tidak Kamu inginkan berkaitan dengan nama laki-laki lain yang Kamu sebutkan itu ...," ancamnya lembut dan ... serius.
"Ihh! Yang enggak-enggak aja!" gumam Rachel lirih dengan bersungut-sungut.
Gadis itu melirik dengan penuh kebencian mengikuti langkah El Thariq yang berjalan meninggalkan ruangan.
Rachel diam.
Ia menegakkan telinga mengira-ira berapa langkah laki-laki itu telah meninggalkan ruangan ini.
"Yap!" seru gadis itu antusias.
"Sepertinya ini saat yang tepat untuk kabur," ucap Rachel dalam hati.
Gadis itu segera beranjak dan berjalan dengan cepat ke arah pintu ruang kerja itu.
Senyumnya terkembang ketika mengetahui pintu ruang kerja itu gampang di buka dan ....
"Ya, Nyonya?"
Dua orang laki-laki anak buah dari pemilik rumah megah menyambut gadis itu di depan pintu dengan anggukan hormat.
Gadis itu melongo melihat dua orang yang mengenakan stelan jas warna hitam lengkap dengan dasi warna senada seperti yang ditemui di rumah Om Ronnie ketika itu.
"Kurang ajar! Bisa-bisanya ditaruh dua bodyguard di depan pintu!" umpat gadis itu dalam hati.
"Ya? Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" ulang salah satu dari penjaga pintu itu.
"Nyonya? Yang benar aja!" gerutu gadis itu dalam hati.
"Nyonya?" desak penjaga yang lain yang sejak tadi hanya diam.
"E ... e ... aku ingin minum," jawab Rachel mencari celah.
"Sementara Nyonya bisa mengambil minuman di sana," jawab salah satu dari penjaga itu sambil menunjuk satu lemari yang berada dalam ruang kerja itu.
"Sajian lengkap akan datang beberapa saat lagi," lanjutnya sambil mengarahkan kepala pada temannya yang terlihat sedang menghubungi bagian dapur menggunakan alat komunikasi yang terselip di telinganya.
Rachel menahan kedongkolannya.
Ternyata keinginannya untuk kabur dari tempat itu sudah terbaca oleh El Thariq.
Gadis itu bergeming dengan sorot mata nanar. Kemarahan yang sejak tadi berkobar berubah wujud menjadi gunung es kejengkelan setinggi ribuan kilometer.
"Maaf, Nyonya. Nyonya diperintahkan untuk tidak meninggalkan ruangan ini sampai ... mungkin beberapa saat lagi."
Penjaga itu mengangguk hormat.
Anggukan hormat yang merupakan perintah halus untuk kembali masuk ke ruangan itu membuat wajah Rachel muram.
Tetapi, tak urung gadis itu kembali masuk ke ruang kerja itu karena setiap gerak langkahnya dihalangi oleh dua penjaga itu.
"Kalau saja badan dua penjaga itu nggak seberotot itu, mungkin aku bisa melawan mereka dan kabur," gerutu gadis itu ketika bersandar di pintu ruang kerja yang baru saja ditutup.
"Aaah!" teriaknya kesal ketika pandangannya menyasar jendela dan mendapati jendela itu didobel dengan teralis besi warna hitam yang dbentuk dengan ukiran indah.
Gadis itu berjalan mendekati jendela dan mengguncang-guncangkan teralis besi itu dengan geram.
Ia tahu dengan guncangan lemahnya, teralis besi itu tak akan bergeser. Pun begitu, untuk melampiaskan kegeramannya, tangannya terus mengguncang teralis di belakang kaca jendela itu.
"Apa bedanya ruang ini dengan penjara?" seru gadis itu kesal dengan sedikit terengah-engah.
Gadis itu berhenti menggoyang teralis besi itu, berbalik dan bersandar pada teralis berukir itu sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, matanya menelisik setiap celah, pikirannya menerka-nerka benda-benda yang berada di balik lemari tertutup.
"Bergerak!" serunya dengan lantang.
Kakinya melangkah ke setiap lemari yang ada di ruangan itu.
Dengan cekatan, tangannya mengobrak-abrik setiap isi lemari dan laci berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk mencongkel teralis hitam berukir itu.
"Ahhh ...!"desahnya kecewa.
"Ini bukan ruang kerja tukang bangunan, bagaimana aku berharap menemukan sebuah perkakas yang bisa kugunakan ...."
Gadis itu berkacak pinggang di belakang meja kerja besar dalam ruangan itu. Pandangannya beredar ke seluruh ruangan yang bisa terekam mata.
"Hah!"
Kedua bahu gadis itu menjengit, suara ketukan di pintu membuatnya terperanjat.
Detik selanjutnya pintu itu terbuka, wajah kedua pegawai wanita yang gadis itu temui di kamar tidurnya terlihat di ambang pintu.
Keduanya memandang Rachel dengan mata berkilat dan senyum terkembang di bibir.
Rachel mendengkus lega melihat kedua pelayan yang mendorong meja dengan roda-roda di empat kakinya.
"Non- eh Nyonya, ini minuman lengkap dengan sajian khusus pra-makan siang," ujar Jessy dengan riang.
"Saya mengucapkan selamat atas pernikahan Nyonya Rachel dan El Tha-"
"Stop!"
Rachel menghentikan kalimat Rose yang belum usai sambil mengangkat telapak tangan, "jangan kita bicarakan pernikahan tak jelas ini!"
Rose dan Jessy saling pandang, tapi, akhirnya, kedua pegawai wanita itu hanya bisa tersenyum kemudian mengangguk dengan patuh.
Pandangan mata Rachel tertuju ke arah meja beroda berisi minuman dan snack yang mengggugah selera yang penutup-penutupnya baru dibuka itu.
"Aku ingin makan dan minum ini ... di ruangan terbuka, ruang ini terlalu ... sedikit udara," ucap Rachel datar.
Tangan gadis itu melakukan gerakan mengipas-ngipas di depan wajahnya, sedangkan mulutnya mengeluarkan embusan napas panjang.
Kedua pegawai wanita itu kembali saling pandang.
Dan akhirnya Rose berbalik, lalu berjalan ke arah dua penjaga yang berada di depan pintu ruangan yang masih terbuka.
Pegawai wanita paro baya itu menyampaikan keinginan Rachel pada kedua penjaga berotot itu.
Kedua penjaga itu saling pandang dengan ekspresi penuh kecurigaan. Kemudian, keduanya bersama-sama memandang ke arah Rachel dengan ekspresi tak percaya.
"Aku tidak akan makan dan minum ini jika tidak keluar dari ruangan ini!" tuntut Rachel dengan tegas.