Rachel mengedarkan pandangannya ke seluruh area yang bisa ditangkap matanya.
Terkadang ia harus sedikit memanjangkan lehernya karena beberapa spot terhalang oleh enam orang laki-laki yang ditugaskan menjaganya.
"Hem ... menyebalkan sekali, mungkin moment kaburku kemarin membuat mereka meningkatkan penjagaan," ucapnya dalam hati.
Gadis itu membuat gerakan dengan bibirnya, salah satu sudut atas bibirnya naik ke atas. Gerakan itu dibarengi dengan lirikan sebal.
Gadis itu mengambil dengan acak makanan-makanan yang tersaji di atas meja.
Dengan gerakan kasar, ia menyuapkan potongan-potongan besar ke dalam mulutnya.
Gerakan yang disertai dengan kemarahan itu membuat dua pegawai wanitanya berulang kali mengalihkan pandang dari makanan ke mulut nyonya baru yang nggak mau dipanggil dengan sebutan nyonya itu berulang kali.
"Non Ra-"
"Ssst!"
Celetukan Jessy segera dipatahkan Rose, pegawai wanita yang lebih tua itu menarik ujung rok Jessy.
Kedua pegawai wanita itu akhirnya hanya diam sambil mengamati tingkah nyonya barunya.
Secara fisik, Rachel terlihat sedang membantai sajian lezat itu untuk menyalurkan amarahnya, tapi, dari sorot matanya, gadis itu seolah tidak sedang berada di tempat itu.
Pikirannya mengembara, kembali mengunjungi orang-orang terdekatnya yang mendadak seolah-olah tak dikenalnya.
"Aku nggak begitu heran jika Tante Mery bersikap seperti itu. Itu bukan pertama kali. Dulu, ketika pertama kali Om Ronnie membawaku ke rumah itu, ia juga bersikeras menolak. 'Beban!' ucapnya ketika itu. Jadi, dengan adanya keputusan menjualku pada bos rumah ini, mungkin dia akan merasa sangat senang."
Rachel berhenti mengunyah.
Gadis itu menegakkan punggung, menatap lurus ke depan, kemudian menghela napas panjang.
Kedua pegawai wanita yang tadi turut mengamati tanpa sadar melakukan mirroring. Keduanya melakukan gerakan yang sama, sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh nyonya barunya itu.
Detik berikutnya, bahu kedua pegawai wanita itu turun karena ternyata gadis yang mereka amati melanjutkan kembali aktivitas membantai makanannya.
"Dan Mia ...," ucap Rachel dalam hati.
Gadis itu sedikit membungkuk ketika garpu di tangannya menusuk sepotong daging sapi berwarna golden brown yang berkilat-kilat karena minyak yang melumurinya. Serbuk-serbuk lada hitam bertaburan, tertempel di permukaan sepotong daging sapi itu.
Gadis itu menegakkan punggung, mulutnya melakukan gerakan mengunyah pelan dan sorot matanya menerawang.
Bayangan sepupunya itu kembali melintas dalam benak.
"Mia lebih mirip dengan Tante Mery daripada dengan ayahnya. Wajar saja jika sikap dan perlakuannya selama ini padaku seperti itu. Tapi, nggak kusangka, dukungannya ke ibunya sampai seperti itu," lanjutnya dalam hati.
Tiba-tiba Rachel menghentikan gerakan kunyahannya. Menelan dengan pelan apa yang memenuhi rongga mulutnya.
Gadis itu duduk mematung sambil masih menatap lurus ke depan.
Bayangan Mia sedang keluar dari rumah Alex kembali melintas.
Bagaimana gerak-gerik sepupunya itu keluar dengan telepon seluler yang menempel di telinganya kian jelas tergambar. Berikutnya gerak mulut anak pamannya itu seolah diputar ulang dalam tayangan gerak lambat.
"Agh!" teriak gadis itu kencang.
Seketika kedua pegawai wanita yang berdiri di sampingnya terlonjak.
Kedua pegawai wanita itu hanya bisa saling pandang dan kemudian melanjutkan sesi pengamatan pada istri baru juragannya.
"Brak!!!"
Jessy dan Rose kembali terlonjak ketika tangan Rachel tiba-tiba menggebrak meja.
Jessy menjerit tertahan, sedang Rose memegang dadanya sendiri.
Gebrakan itu membuat satu sendok kecil mental dan berdenting ketika menabrak lantai.
Rachel meletakkan kedua sikunya di atas permukaan meja, kemudian jari-jemarinya memegang kedua pelipisnya.
Posisi itu membuat kepala gadis itu menunduk, sedang wajahnya tepat berada di atas piring.
"Bagaimana bisa Mia berada di rumah Alex? Sejak kapan? Berapa lama? Bukankah Alex ketika itu baru saja mengantarku pulang ke rumah Om Ronnie?"
Pertanyaan-pertanyaan bergejolak dalam benak Rachel.
"Dan ... kenapa Alex membiarkan gadis itu berada di dalam rumahnya? Bukannya dia tahu, antara aku dan Mia nggak pernah berada dalam hubungan yang bisa disebut manis? Hem ... jika melihat gelagat Mia, sepertinya ada agenda lain dalam diri gadis itu. Dia ... dia bukannya gadis yang akan repot-repot mendukung gagasan ibunya hingga bertindak seperti itu. Si manja itu lebih cocok berada di dalam rumah Om Ronnie, menungguku pulang dan ikut memprovokasi penjemputan paksa itu. Ya ... itu lebih masuk akal sebagai tindakan gadis itu, tapi ini ...."
Rachel menekan pelan pelipisnya.
"Berapa lama sebenarnya rencana mereka itu? Melihat bagaimana keluarga Om Ronnie, membuat orang tua Nanny menolak kedatanganku, sepertinya rencana mereka nggak sesederhana yang kupikirkan. Nanny ..., ah ...."
Rachel meneriakan satu desahan lelah yang panjang dalam posisi menunduknya.
"Non- Non Ra-"
Ucapan Jessy kembali terputus oleh tarikan baju yang dilakukan Rose.
"Biarkan saja dulu!" ucap Rose tanpa suara.
Jessy melongo dan mengangguk pelan.
Rachel melepaskan jari jemari dari kedua pelipisnya, gadis itu kini duduk bersandar dengan dua kaki lurus, sedang matanya menatap lurus ke atas. Ke atap yang menaungi meja kursi tempat ia makan, atap yang terbuat dari tempered glass dengan filter itu membuat sinar matahari menembus teduh di bawahnya.
"Si Brengsek El Thariq ini telah meretakkan persahabatanku dengan Nanny. Bukan aku nggak memasukkan tindakan Tante Mery yang melakukan pelarangan dan ancaman langsung ke keluarga Nanny sih, tapi tindakan istri Om Ronnie itu dipicu dengan lamaran paksa laki-laki itu. Dasar penjahat!"
Percakapan batin itu membuat gurat-gurat kemarahan mengisi setiap sudut gadis itu.
Kesimpulan dalam percakapan pikirannya mengantar ingatannya pada kejadian pagi ini.
Kejadian pada pagi ini yang nggak akan pernah diterimanya sepanjang hidupnya. Menikah paksa.
Terbayang di pelupuk matanya, bagaimana tunduk patuhnya sang paman pada pemilik tempat ini.
"Ah menyebalkan sekali!" serunya geram. Kedua tangan gadis itu mengepal.
"Apa yang ada dalam pikiran Om Ronnie? Apa dia masih manusia? Atau dia masih manusia yang hidup tanpa hati? Emang perusahaannya itu nggak bisa mencari solusi lain ya? Harus gitu, mengorbankan perempuan yang berada dalam pengasuhannya? Jika si penjahat El Thariq ini orang yang besar dan berpengaruh, kenapa nggak Mia saja yang dinikahkan dengan laki-laki itu. Bukannya dengan begitu, dia akan bermenantukan orang yang besar dan berpengaruh? Jika itu terjadi, perusahaannya yang pailit kan bisa lebih tertolong ... dan mungkin bisa berkembang dan membesar. Jadi, pertanyaannya, kenapa harus aku yang dikorbankan?" gerutu Rachel dalam hati.
Gadis itu menegakkan punggungnya hingga kini duduk dengan tegak.
Amarah dalam dirinya mulai menggeliat bangun. Satu embusan napas panjang keluar dari mulutnya.
Gadis itu mencoba menahan diri dengan sekuat tenaga untuk nggak menendang meja yang berada di depannya.
"Mereka semua ada di luar sana, menikmati hidupnya, menjalani hari seolah tak ada apapun yang terjadi, sementara aku, terkurung di sini!" teriaknya dalam hati.
Mata gadis itu menatap nanar pada ke enam laki-laki yang berdiri tak jauh dari tempat ia duduk.