Jessy dan Rose mengembuskan napas lega ketika gadis yang sedang diamatinya kembali mengeksekusi makanan di atas piring itu.
Walaupun, Rose yang lebih berumur mengetahui sorot mata Rachel masih menyimpan bara.
"Mereka semua hutang penjelasan padaku, mereka semua harus membayar semua ini, juga kebebasanku, kebebasan yang mereka rampas!" teriak Rachel dalam hati.
Gadis itu kembali memasukkan potongan-potongan besar dalam mulutnya dan mengunyah dengan ekspresi marah.
"Dan Alex? Alex ...."
Mendadak satu nama itu terlintas.
Dan itu membuat gerakan kunyah di mulutnya memelan, tangannya berhenti hingga membuat pasangan garpu dan sendok terlihat mengambang di atas piring.
Mata gadis itu mulai merebak, mata cantik itu terlihat berkaca-kaca di sudut-sudutnya.
Tiba-tiba saja tenggorokan gadis itu susah menelan makanan lumat itu.
"Kita harus bicara banyak, Lex," lanjut renungannya kemudian. "dan untuk mewujudkan itu, aku harus keluar dari sini."
Gadis itu kembali mengangkat pandang, mengedarkan tatapan matanya yang sarat kemarahan itu ke arah depan.
Disuapan terakhirnya, kening gadis itu mengernyit.
"Seluas apa halaman rumah si penjahat ini? Lelah mataku menelisik, tapi hanya taman dan pepohonan yang nampak. Ah ... ketika membuka jendela pagi tadi, kenapa tak kuperhatikan dengan baik letak pagar rumah megah ini," sesalnya dalam hati.
Gadis itu sekilas menoleh ke arah dua pegawai wanita yang masih setia mengamatinya.
Tangannya meraih segelas air putih, menyesapkan kemudian kembali menolehkan kepala pada keduanya, kali ini dengan tatapan yang intens.
"Kalian berdua tinggal di rumah ini 'kan?" ucap Rachel datar.
Gadis itu mampu menyisihkan sorot amarah dalam matanya.
Kedua pegawai wanita itu mengangguk tanpa ragu.
"Kalau rumah kalian, jauh nggak dari sini?" lanjut Rachel tanpa ekspresi.
Gadis itu meletakkan gelas di meja dan menumpukan seluruh perhatian pada keduanya.
Jessy dan Rose saling pandang, saling menarik ujung seragam putih mereka, kemudian melemparkan senyum basa-basi.
"Hem ... Non Rachel, sebenarnya kami nggak masalah menjawab pertanyaan Non, itu 'kan ..., pertanyaan Nona 'kan biasa saja, tapi, kami dilarang em ... maksudnya ... untuk saat ini, dilarang menceritakan hal seperti itu pada Nona," jawab Jessy dengan volume lebih lirih dari volume suara normal.
Rachel mengernyitkan kening.
"Seperti itu? Seperti itu yang bagaimana?" tanya Rachel, mata gadis itu sedikit menyipit.
"Oh ... anu Non, hal-hal pribadi maksudnya," imbuh Rose dengan volume suara yang sama.
Kening Rachel kembali mengernyit.
"Oh ya? Siapa yang melarang? Pemilik rumah ini, El Thariq?" desak Rachel pelan.
Jessy menatap lekat.
"Em ... kami nggak menerima perintah langsung dari dia, semua pengurus rumah tangga berada di bawah tanggung jawab dan instruksi Amana," jelas Jessy dengan tetap menjaga volume suaranya.
"Amana?" jawab Rachel dengan ekspresi wajah bingung.
Rose tersenyum.
"Dia kepala pengurus rumah tangga rumah El, Non. Itu wanita yang tadi pagi menyambut dan mengiringi Non Rachel ke ruang bisnis El," tambah Rose pelan.
Rachel menyahut dengan oh panjang, tapi pikirannya berontak.
"Hem ... kenapa mereka mengkhawatirkan hal seperti itu, hem ... apa itu strategi biar aku nggak mengetahui tempat ini dan semua kegiatan pemilik rumah ini? Hem, kurang ajar! Padahal dengan bertanya-tanya di mana letak rumah mereka, aku bisa mengira-ngira di mana letak rumah ini, menyebalkan sekali!" keluh batin Rachel.
Rachel mengusap wajahnya, kemudian menghela napas panjang.
"Oke, kalau begitu, bisa kita skip dulu pembicaraan tentang pribadi kalian. Sekarang, bisakah kalian menemaniku berkeliling tempat ini?" ucap Rachel tanpa ekspresi.
Gadis itu tak melepaskan pandangannya dari dua pegawai wanita itu.
Kedua pegawai wanita itu kembali saling pandang.
"Sebentar, Non," jawab Rose singkat.
Wanita itu bergegas berjalan ke salah satu laki-laki yang ditugaskan untuk menjaga nonyanya.
"Agh!" seru Rachel tertahan.
"Untuk setiap pergerakan harus melapor? Yang benar saja mereka ini? Jangan-jangan orang-orang yang berdiri di sini memiliki baterai di bagian belakang tubuh mereka, atau ada satu colokan untuk mengecas daya di bagian samping tubuh mereka. Atau mereka telah menukar jiwa mereka untuk menjadi robot-robot abad ini."
Mata Rachel memperhatikan sosok Rose yang tengah berbicara dengan salah satu laki-laki penjaga itu dengan kesal.
Kemudian gadis itu melihat laki-laki itu menekan alat komunikasi di telinganya, gerakan itu diikuti dengan gerak mulut yang mengucapkan beberapa kata.
Gesture laki-laki itu terlihat begitu mendengarkan ucapan yang terdengar dari alat komunikasinya itu.
Gadis itu berdiri dengan tak sabar, berjalan dua langkah mendekat ke arah laki-laki itu.
"Agh!" jerit Rachel tertahan ketika tiba-tiba sepasang tangan mendekapnya dari belakang.
Gadis itu tak perlu menoleh ke belakang untuk mengetahui tangan siapa yang mendekapnya, dengan melihat reaksi Jessy yang menoleh untuk kemudian menunduk, lalu selanjutnya berundur, menjauh dari tempat ia berdiri.
Pegawai wanita yang masih muda itu berjalan dan berhenti di samping Rose.
Rachel berusaha lepas dari pelukan itu.
"Kamu ingin keliling rumah ini?"
Suara yang sejak kemarin jadi terasa sangat familiar itu membuat wajah Rachel bersungut-sungut.
"Jadi, setiap orang yang ingin bergerak, harus melapor padamu, begitu?" ujar Rachel kesal.
El Thariq terkekeh.
"Sebenarnya tidak, hanya saja khusus untukmu, diberlakukan peraturan yang berbeda, sampai ...," ucap El tak usai, laki-laki itu tersenyum menyeringai.
Rachel menoleh, dengan sedikit mendongak gadis itu menatap wajah El Thariq dengan rasa ingin tahu yang kental.
"Sampai apa?" tanyanya tegas.
"Sampai Kamu mencintaiku ... dengan rela," jawab El Thariq diplomatis.
Rachel mendecih sebal.
"Mencintaimu? Cinta? Oh! Nggak masuk akal sekali!" sanggah Rachel ketus.
Gadis itu mengalihkan pandangan ketika detik itu juga wajah Alex terbayang.
"Kata itu harusnya menjadi topik pembicaraan antara aku dan Alex, bukan aku dan Kamu!" seru Rachel dalam hati.
El Thariq melepaskan dekapannya, tapi satu tangannya tetap memegang tangan Rachel.
Laki-laki itu duduk dan sedetik kemudian menarik Rachel dalam pangkuannya.
"Aku bisa duduk sendiri!" protes Rachel kencang.
Dan seperti biasa, usaha gadis itu untuk melepaskan diri dari pelukan El Thariq gagal.
"Aku tahu, tapi aku nggak tahan untuk tidak memelukmu, semenolak apapun Kamu pada pernikahan kita, sekarang ini, Kamu adalah istriku," jawab El Thariq sambil menatap dengan lembut.
Laki-laki itu kemudian memeluk dan menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu.
"Hihh!" seru Rachel sambil menggerakkan bahunya dengan risih.
"Kalau Kamu mau, aku akan mengantarkanmu mengelilingi rumah ini, tapi kupikir Kamu lebih suka ditemani oleh Jessy dan Rose seperti permintaanmu tadi 'kan?" ujar El Thariq tanpa mempedulikan sikap Rachel yang risih diperlakukan seperti itu.
"Untung saja semua pegawai tidak ada yang berani melihat ke arah sini," ucap Rachel dalam hati.
"Ya, aku akan meminta mereka berdua menemaniku, nggak boleh?" jawab Rachel sambil masih berusaha melepaskan diri dari pelukan itu.
"Ra, apa di kehidupan sebelumnya Kamu mengenal Dre?" celetuk El Thariq tiba-tiba.
"Hah?!" seru Rachel bingung.