Rachel yang semula membuang muka, seketika menolehkan kepala.
Dalam pangkuan El Thariq, posisi duduk gadis itu jadi sedikit miring ke arah laki-laki itu.
Dari jarak kurang dari sejengkal itu, mata cantik Rachel menatap langsung netra hitam El Thariq. Gadis itu mencoba menelisik makna dibalik pertanyaan itu.
"Wow! Aku mau menukar jiwaku untuk memiliki apa yang ada dalam mata cantik ini," ucap El Thariq lembut.
Laki-laki itu menikmati keindahan mata coklat terang Rachel. Kemudian mengamati setiap sudut wajah gadis itu dan tidak menemukan ketidaksempurnaan.
Satu-satunya ketidaksempurnaan yang jelas terlihat adalah ... tidak ada cinta tergurat dalam wajah itu.
"Ihh!" seru Rachel jengah.
Gadis itu memalingkan pandangan mata El Thariq dengan menggeser pelan pelipis laki-laki itu dengan tangannya.
Laki-laki itu terkekeh.
"Apa maksudnya? Siapa Dre?" tanya gadis itu dengan nada cepat.
"Ah ya! Dokter wanita itu. Tunggu! Sebelum melanjutkan ini, aku ingin duduk sendiri."
Rachel kembali berusaha beranjak dan melepaskan dua rengkuhan tangan itu. Usaha gadis itu dijawab dengan makin eratnya kedua tangan El Thariq.
Gadis itu menghela napas dengan kasar, menahan geram di tengah ketidakberdayaan.
"Ya, dokter wanita muda yang Kamu temui tadi pagi di kamarmu. Dia baru mengenalmu, tapi dia sudah berbicara atas kepentinganmu, aneh 'kan?" ucap El Thariq dengan tenang.
Rachel menyipitkan mata, keningnya terlihat sedikit berkerut, tetap tak mengerti.
"Tapi, sebenarnya apa Kamu ingin ... kita segera bulan madu?" tanya El Thariq nekad.
"Hah?!" sentak Rakhel terperanjat.
Gadis itu meletakkan lengan tangannya di bawah leher laki-laki itu dan mendorongnya ke arah belakang dengan keras.
"Hilangkan frasa itu dari pikiranmu! Ingat! Bagiku pernikahan ini nggak ada, titik."
El Thariq tersenyum menyeringai, netra hitam matanya menyimpan kekecewaan.
"Dre, sangat disayangkan, ternyata prediksimu benar. Aku terpaksa harus mempertimbangkan saranmu," gumam laki-laki itu lirih seolah dokter keluarganya itu berada di depannya.
Rachel yang tidak begitu mengerti dengan ucapan itu, menatap dengan sinis laki-laki yang terus memeluknya itu.
"Aku akan keluar, ada sesuatu yang harus diurus. Emh ... Kamu bisa berkeliling dengan Jessy dan Rose seperti yang Kamu mau. Jika ada apa-apa, Kamu bisa mengandalkan Amana, dia yang bertanggung jawab mengurus urusan di rumah ini, oke?" ucap laki-laki itu dengan lembut.
El Thariq terus menatap wajah Rachel, laki-laki itu kemudian mengusap bagian belakang kepala gadis itu.
Tindakan itu diimbangi dengan gerakan menghindar yang tidak segan menyatakan rasa risih.
Laki-laki berambut hitam dengan sedikit bekas luka di pipi itu tak mempedulikan itu, dengan tenang ia tersenyum menyeringai.
Beberapa saat kemudian El Thariq melepaskan pelukannya.
Rachel buru-buru beranjak dan berdiri menjauh beberapa langkah dari pemilik rumah itu.
"Rose, Jessy!" seru laki-laki itu dari tempat ia duduk.
Panggilan itu membuat kedua pegawai wanita itu bergegas mendekat.
"Antarkan Rachel mengelilingi rumah ini dan jaga dia baik-baik! Mengerti?" perintah El Thariq dengan tegas.
Kedua pegawai wanita itu mengangguk berulang kali ketika perintah kedua itu diucapkan dengan penuh penekanan.
Kemudian, bos kedua pegawai wanita itu beranjak, berdiri dan melangkah mendekati Rachel.
Tangannya mengusap dengan lembut puncak kepala gadis itu.
Kebalikannya, gadis itu justru melakukan gerakan siap menangkis pukulan dan menggerakkan kepalanya untuk menghindari usapan lembut itu.
Rachel mengembuskan napas lega ketika akhirnya pemilik rumah megah itu pergi meninggalkan dia dan kedua pegawai wanita itu.
Kedua wanita itu juga melakukan hal yang sama ... bernapas lega.
"Ayo, kita mulai sekarang!" ajaknya sambil berjalan ke satu arah yang dipilih acak.
Kedua pegawai wanita itu segera mengikuti langkah Rachel dan sekaligus keenam penjaga yang berada tak jauh dari tempat itu.
"Non Rachel, tahu nggak? Saya tadi sempat melirik ... em ... mengintip Non dan El," ucap Jessy yang berjalan di samping gadis itu.
"Hah?!" seru Rachel sambil menghentikan langkah.
"Hem ... sedikit kok," kilah Jessy beralasan, "habis gimana, leher ini agak pegel menunduk terus."
"Hihh!!" sahut Rose sambil menarik ujung seragam putih pegawai yang lebih muda itu.
Rachel menanggapi itu dengan embusan napas panjang, penuh pemakluman.
"Iya nggak papa, trus kenapa?" ucap Rachel datar, gadis itu melanjutkan langkah.
Dengan langkah tak sabar, gadis itu tak sabar ingin mengetahui di mana gerbang utama rumah megah itu.
"Non Rachel tahu nggak? Kalau gadis-gadis di luar sana melihat Non Rachel dan El tadi, pasti mereka bakal iri. Pasti mereka mau melakukan apa saja untuk menggantikan posisi Non Rachel di sana," tutur Jessy blak-blakan.
Rachel kembali menghentikan langkah.
"Kamu juga, Jes?" ucap Rachel dengan nada cepat, matanya terus mengamati tempat itu.
"Eh! Jelaslah, Non. Apalagi saya yang melihat langsung," jawab Jessy lugu kemudian terkikik.
"Kalau begitu, nanti jika ada hal seperti tadi, Kamu bisa menggantikanku Jessy. Dengan senang hati, aku beri kesempatan padamu seluas-luasnya," sahut Rachel dengan enteng.
"Hihh! Jessy! Kalau ngomong mulutnya diatur dong!" tegur Rose kesal.
Wanita itu menepuk bahu yuniornya dengan keras. Dan itu membuat Jessy meringis. Gadis itu mengusap-usap bahunya yang terasa agak sakit.
"Non, jika itu terjadi, bisa-bisa tak butuh waktu lama, saya sudah berubah jadi snack untuk para buaya," timpal Jessy sambil masih mengusap-usap bahunya.
Rose berusaha menjajari Rachel.
"Non Rachel, saya minta maaf atas nama Jessy, tolong harap maklum, dia masih muda. Remaja yang seharusnya berada di sekolah tingkat menengah atas memang gemar ngomong seenaknya, em ... tolong jangan dimasukkan hati," pinta Rose dengan lembut.
Rachel menghentikan langkah dan berkacak pinggang, matanya sibuk menatap lanskap di luar rumah yang ditata dengan apik itu.
"Nggak papa, Rose. Santai saja! Apa yang diucapkan Jessy bukan sesuatu yang membuatku sakit hati, tenang saja ...," balas Rachel tanpa menoleh.
Rose tersenyum lebar, sedangkan Jessy terlihat girang.
"Non Rachel baik sekali, biasanya orang-orang dalam posisi Non Rachel akan mudah menghukum atau bahkan memecat pegawai tanpa mempedulikan keadaan pegawai tersebut," puji Rose tulus.
"Oh ya? Jangan khawatir, Rose! Aku bukan salah satu dari orang-orang itu," ucap Rachel enteng seraya berucap dalam hati, "dan aku juga bukan datang dari kalangan seperti itu."
"Eh, Rose, sudut taman yang digunakan untuk aku makan tadi, apa berada di belakang rumah megah ini?" tanya Rachel ketika melihat sebuah pintu yang tidak begitu besar.
Rose mengangguk.
"Iya, Non. Bagian belakang agak ke samping kanan, ini pintu belakang dan jika Nona terus berjalan ke sana, Non akan melihat gerbang utama," jelas Rose sambil menunjuk ke satu arah.
Tanpa menyahut, Rachel segera bergegas berjalan ke arah yang ditunjuk itu.
Gadis itu melihat lanskap taman yang seolah tak berujung.
Sekilas matanya melihat wujud bangunan megah yang berdiri dengan angkuh. Bangunan tingkat tiga itu seolah mengejek gadis itu.
Akhirnya, langkah-langkah gadis itu akhirnya berhenti ketika matanya menemukan sebuah pintu gerbang berukuran besar di tengah-tengah pagar.
"Oh My God, bagaimana cara keluar dari sini jika gerbangnya saja seperti itu?" seru gadis itu dalam hati.