"Aah ...!" Rachel mendesah lelah.
Gadis itu kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri.
Gerakan kepalanya itu berhenti ketika menemukan sebuah bangku taman besi berwarna hitam yang diletakkan tak jauh dari tempat ia berdiri.
Gadis yang bertelanjang kaki itu bergegas mendekati bangku taman itu dengan diikuti oleh kedua pegawai wanitanya.
"Ufhh!" Satu embusan napas panjang lolos dari mulut Rachel.
Gadis itu bersandar dan meletakkan kepala di puncak kursi taman, sementara kakinya terjulur lurus.
"Jarak sejauh ini, uhh! Ini bukan halaman rumah Om Ronnie yang dengan sedikit menghentak energi, gerbang bisa terlewati. Jika aku nekad lari menuju gerbang itu, belum sampai di gerbang besi yang tinggi itu, pasti aku sudah tertangkap."
Gadis itu sekilas melirik ke arah gerbang, kemudian kembali menatap ke atas langit.
Gadis itu memandangi awan putih yang bergerak sangat pelan jauh di ketinggian langit sana.
Matahari sudah agak bergeser dari tengah langit, sinar terangnya yang panas tertutup oleh gumpalan-gumpalan kapas mengambang di hamparan biru di atas sana.
"Dan ... gerbang belakang .... Ah! Kayaknya juga bukan celah yang mudah. Tinggi pagar rumah ini seperti tinggi benteng-benteng istana zaman dahulu. Jika nekad manjat, belum sampai setengah pagar, pasti sudah terciduk."
Gadis itu memejamkan mata. Menayangkan ulang apa-apa yang baru saja terekam matanya.
Jessy dan Rose saling pandang.
"Non, Non Rachel apa baik-baik saja? Kalau mau istirahat di dalam saja, Non. Di sini masih panas terik," ucap Rose lembut.
Rachel mendesah lelah. Dalam kelopak matanya yang masih tertutup, gelap menjadi kemerahan terpengaruh dengan terik matahari.
Gadis itu melepaskan geram dengan menjejak-jejakkan kaki.
"Non Rachel sakit?" ucap Rose cemas.
"Ah ... bisa nggak ya ngomong jujur? Andai bisa langsung jawab, ya, aku sedang sakit hati dan pikiran," ucap Rachel dalam hati, tapi kemudian menggumamkan kata, "aku tidak apa-apa, Rose."
"Non, kita lanjut keliling area dalam rumah saja yuk!" ajak Jessy yang melihat Rose mengembuskan napas lega sambil mengelus dada.
Rachel diam sesaat, tapi kemudian, akhirnya kelopak matanya terbuka setelah pikiran buntu yang berdesakan dalam kepala memicu denyut di pelipis.
"Oke."
Gadis itu menyahut sambil beranjak berdiri. Lalu, berjalan ke arah pintu utama rumah megah itu dengan kaki tanpa sepatu.
Kedua pegawai wanita itu segera mengikuti langkah nyonya mereka ke dalam rumah.
Rachel memperhatikan ruangan-ruangan yang pertama kali dilihatnya.
"Lantai satu ini banyak difungsikan untuk bisnis El. Beberapa bangunan yang didirikan di sekitar bangunan utama, dikonsentrasikan untuk kegiatan dan ruang istirahat para pegawai," jelas Jessy antusias.
"Stop! Ke ruang lain saja!" teriak Rachel ketika langkah Jessy hendak memimpin ke lorong yang gadis itu kenali.
"Oh ya, tadi pagi, Non Rachel di situ," jawab Jessy seolah tak ada yang salah dalam acara yang diadakan di ruangan itu.
Kemudian ketiganya berjalan ke lantai dua.
"Lantai dua ini sudah mulai digunakan untuk aktivitas pribadinya El, Non. Tapi, masih banyak pegawai yang diperbolehkan masuk. Nah, untuk lantai tiga, nggak semua pegawai boleh masuk. Termasuk ke kamar Non yang ada di sebelah timur gedung ini," jelas Jessy polos.
Selintas ada kebanggaan dalam suaranya karena dia adalah salah satu pegawai yang diperbolehkan naik ke lantai tiga.
"Uff! Lantai tiga! Memang dari jendela kamar itu bisa turun menggunakan kain seprai disambung-sambung seperti yang kulihat di film-film?" keluh Rachel dalam hati.
Wajahnya manyun nggak jelas.
"Non, tenang saja! Kalau males naik turun tangga, Non Rachel bisa menggunakan lift. Letaknya beberapa ruang dari kamar Non Rachel. Hem ... maaf, Non. Berhubung tadi pagi terburu dan ruang bisnis El lebih dekat dicapai dari tangga, ya kita akhirnya nggak pakai lift," ucap Jessy sambil tersenyum sungkan.
Rachel mengembuskan napas panjang ketika menapaki anak-anak tangga yang menuju ke lantai tiga.
"Bukan itu yang membuat wajahku manyun, Jess. Tapi, makin dijelaskan, sepertinya jalan keluar makin buntu," ucap Rachel dalam hati.
"Oke, terima kasih. Aku ingin istirahat di kamar sekarang," ucap Rachel setelah penjelasan mengenai denah-denah ruang yang ada di lantai tiga selesai.
Kedua pegawai wanita itu mengangguk dan membiarkan nyonya baru mereka memasuki kamar.
Dengan gusar, Rachel berjalan ke arah jendela.
Gadis yang masih bertelanjang kaki itu mengembuskan napas panjang untuk mengekspresikan ketidakberdayaannya ketika matanya menatap pagar tinggi jauh di bawah sana.
"Mengelilingi rumah saja capeknya sama dengan mengitari mall," keluh gadis itu pelan.
Gadis itu menyandarkan pinggangnya pada bingkai jendela.
Berbeda dengan jendela ruang kerja di lantai satu milik El, jendela kamar Rachel yang diperuntukkan untuknya itu berukuran besar dan tanpa terali besi.
"Meskipun tanpa terali, untuk keluar dari jendela ini juga sama sulitnya," gumam gadis itu pilu.
Rachel menggerak-gerakkan baju yang dipakainya.
Setelah, berkeliling gedung, stelan baju warna putih dengan kancing-kancing emas itu membuat badan terasa gerah.
Tangan gadis itu membuka kancing-kancing itu dengan kasar.
"Eh! Di mana baju-bajuku sendiri?" serunya dengan terperanjat.
Gadis itu baru saja ingat dengan dua kopor yang kemarin ikut dimasukkan dalam bagasi mobil El ketika dijemput paksa dari rumah pamannya.
Gadis itu segera berjalan menuju lemari-lemari besar yang berada pada salah satu sisi dinding kamar itu.
Matanya menelisik setiap slot lemari yang berdiri tegak dari lantai hingga menyentuh langit-langit itu. Tetapi, dua koper miliknya tak ditemukan.
Gadis itu menatap sebal pada beberapa deretan lingerie dengan berbagai model yang tergantung pada salah satu slot lemari.
"Pakai aja sendiri kalau mau!" celetuknya gusar sambil masih menatap dengan sinis pada lingerie dengan model bervariasi itu, dari model tak normal hingga lumayan normal.
Tapi, tak urung gadis itu, mengambil satu lingerie yang paling normal.
Sebuah celana pendek yang dipasangkan dengan atasan bertali warna hitam disambar dan dibawa ke kamar mandi.
"Untung masih ada kimononya," gumamnya lirih.
Beberapa saat kemudian, Rachel selesai membersihkan diri.
Suara pintu diketuk terdengar ketika gadis itu baru saja keluar pintu kamar mandi.
Seorang wanita dengan hidung mancung dan ekspresi datar masuk.
Wanita yang masih mengenakan blazer yang dipakai tadi pagi di ruang bisnis El itu mengangguk hormat. Rambut yang disanggul modern itu membuat penampilannya bertambah resmi.
"Saya Amana, kepala pengurus rumah tangga di sini. Maaf, baru kali ini ada kesempatan berkenalan secara langsung dengan Nyonya Rachel," ucapnya dengan menyertakan senyum resmi.
Rachel mengangguk kaku, mulutnya tertahan untuk melarang Amana memanggilnya dengan sebutan nyonya.
Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil menatap Amana dengan ekspresi yang sedikit bingung pada pengurus rumah tangga itu.
Amana mendekat ke arah Rachel, wanita yang usianya sebaya dengan El itu mengangsurkan sebuah tab warna putih.
"Nyonya Rachel bisa belanja dan memilih baju dan barang-barang yang diinginkan. Untuk sementara barang-barang itu hanya bisa dibeli melalui tab ini karena Nonya masih dilarang keluar rumah," ucap Amana datar.
"Ya?!"