Sementara itu, El Thariq yang baru saja masuk ke ruangan yang berisi orang-orang penting yang hadir dalam peresmian pernikahannya.
"Amana, apa mereka sudah mendapatkan jamuan yang lezat," ucap El pada wanita dengan sanggul modern anggun yang berdiri menyambut kedatangannya.
Wanita itu mengangguk hormat dengan wajah tanpa ekspresi.
"Mereka baru saja menyelesaikan menyantap jamuan itu, El," lapor Amana tanpa berani mengangkat pandang.
El mengangguk, kemudian berjalan mendekat ke arah tamu-tamu itu dan mengucapkan rasa terima kasih serta kalimat formal lain yang singkat dan padat.
"Armand!" seru El Thariq tanpa mengalihkan pandangan dari para tamu.
Seorang laki-laki dengan hidung mancung dengan cuping hidung yang terlihat lancip mendekat.
Laki-laki berambut pirang yang disisir rapi itu mengangguk hormat pada para tamu. Sedangkan, mereka membalas sikap hormat laki-laki yang mengenakan stelan jas warna abu-abu terang itu dengan sikap yang sama.
"Armand, antarkan para tamu penting yang telah meluangkan waktunya untuk menghadiri penandatanganan pernikahanku ini pulang! Dan pastikan berita pernikahan ini tidak tersiar keluar sebelum saatnya!" perintah El pada asisten pribadinya itu.
Perintah itu direspon dengan anggukan patuh. Lalu, laki-laki berambut pirang menuntun para tamu keluar ruangan.
"Ronnie!" panggil El dengan tenang.
Laki-laki yang baru berjalan beberapa langkah itu menghentikan gerakan kakinya.
Bahunya sesaat terlihat menegang, tetapi bahu itu mengendur ketika berbalik.
"Ada yang masih harus kita bicarakan, bisakah Kamu pulang lebih lambat dari yang lain?" pinta El dengan sopan.
Paman Rachel itu mengangguk hormat, kemudian mengikuti langkah pemilik rumah ke satu ruangan yang berada tak jauh dari ruang jamuan itu.
"Ruang kerjaku sedang digunakan oleh keponakanmu, jadi kita membicarakan urusan kita di sini," ucap El sebelum duduk di sofa besar berwarna putih di ruangan yang cukup luas itu.
Om Ronnie sekilas mengedarkan pandangan pada ruang yang didominasi warna putih itu, warna coklat tua mendekati hitam hanya ada pada bingkai jendela dan bingkai pintu.
Satu lukisan abstrak dengan ukuran besar tertempel di salah satu dinding. Hanya itu hiasan yang paling menonjol yang membuat ruangan itu tak begitu terlihat kosong.
"Duduklah, Ronnie!" pinta El dengan datar.
Laki-laki yang pandangan matanya sedang tertuju pada pemandangan di luar jendela dengan ukuran besar itu mengangguk, kemudian dengan pelan duduk di sofa yang terpisah dengan pemilik rumah megah itu.
"Em ... El ...," ucap Om Ronnie menggantung.
El Thariq tersenyum misterius sambil menatap tajam lawan bicaranya.
"Aku nggak akan mengingkari janjiku, Ronnie. Aku bukan jenis orang yang suka bermain dengan kata-kata. Aku akan segera menyelesaikan masalah perusahaanmu," balas El Thariq tanpa ekspresi.
"Oh, bukan, bukan itu maksud saya, El. Itu ... itu saya tahu El memang orang yang menepati janji, saya tidak bermaksud .. em ... tidak berani ... menuduh El dengan tuduhan seperti itu, tapi ... em ...." Ucapan Om Ronnie kembali menggantung.
El Thariq kembali menyeringai.
Laki-laki itu mengalihkan pandangan matanya untuk sejenak memberikan sedikit ruang kebebasan lawan bicaranya yang sejak tadi merasa berada di bawah tekanan tatapan matanya.
"Katakan saja, Ronnie, jangan takut! Aku akan mendengarkannya, bukankah keponakanmu itu sekarang telah menjadi istri sahku," dorong El Thariq setelah menyandarkan punggungnya dengan santai di sandaran sofa.
Kakinya yang terlihat menjulur panjang menyilang.
Om Ronnie mengangguk sambil menelan ludah yang mendadak terasa kering.
"Em ... ini tentang Rachel, keponakan saya itu ... em ...." Sekali lagi, ucapan Om Ronnie tak selesai.
El Thariq diam, membiarkan lawan bicaranya menggunakan jeda waktu untuk memompa keberaniannya menyampaikan apa yang ada dalam hatinya.
"Keponakan saya itu ... Rachel ... apa ia akan baik-baik saja?" Akhirnya kalimat itu sampai di ujungnya.
El Thariq sedikit terhenyak, tapi kemudian ia tersenyum simpul menahan kegelian.
"Ah ... ternyata dibalik semuanya, Pak Ronnie ini merasa bersalah terhadap keponakannya itu. Tapi, apa yang membuatmu berpikir keponakanmu itu akan nggak baik-baik saja di sini? Apa menurutmu aku akan memakan atau menyiksanya?" tembak pemilik bangunan megah itu langsung pada sasaran.
Seketika laki-laki yang rambutnya separo telah memutih itu menggeleng dengan cepat.
"Tidak! Bukan seperti itu, El. Tapi, keponakan saya itu, gadis biasa saja, jika dilihat sepintas, keadaannya akan sangat berseberangan dengan gaya dan hidup El. Apalagi, jika dibandingkan dengan ... em ... para wanita yang sering berada di sekeliling, El. Em ... tentu saja, sebagain besar dari wanita-wanita El bukan hanya sosialita kaya tapi juga public figure atau orang-orang penting yang punya pengaruh besar di negara ini. Saya ... saya sangat khawatir dengan keponakan saya itu." Om Ronnie sejenak diam untuk mengambil napas yang seolah habis stok.
El tetap diam, mendengar dengan saksama ungkapan hati lawan bicaranya, matanya terus memandang lurus ke depan.
"Keponakan saya itu ... Rachel, berada jauh di luar dunia itu. Dia memiliki dunianya sendiri, saya khawatir, ketidaktahuannya itu, yang bahkan, saya pastikan, dalam ketidaktahuannya itu juga termasuk tidak mengetahui siapa sesungguhnya El, mungkin akan berdampak buruk baginya. Lihat saja, tadi ketika penandatanganan itu, dia bisa bersikap seperti itu. Dan lagi, sebelumnya, dia berani kabur dari El." Om Ronnie kembali diam, lalu menghela napas panjang, sementara El Thariq masih diam seperti semula.
"Sikapnya yang spontan dan sembrono itu apa dikemudian hari apa tidak akan membuatnya celaka? Em ... maaf, bukan saya bermaksud lancang ... saya sedang ... hanya ... berharap kemurahan El untuk memaklumi sikap dan tindakan keponakan saya itu," pungkas Om Ronnie.
Paman Rachel yang semula tak berani mengangkat pandang, terlihat makin menunduk dengan jari jemari yang saling terkait erat.
El tersenyum menyeringai. Matanya sekilas melirik ke arah lawan bicaranya. Kemudian ia menarik napas panjang.
"Ronnie, aku tahu resiko mengambil gadis seperti Rachel jadi istriku, mengambil seseorang yang sama sekali nggak mengenal sekaligus nggak menginginkanku, memaksanya masuk ke dalam duniaku." El Thariq diam sejenak.
"Ronnie, apa ... menurutmu aku nggak tahu itu?" tanya El sambil menoleh ke arah Om Ronnie.
Paman Rachel itu sesaat mengangkat pandang, lalu dengan cepat menggelengkan kepala saat pandangannya bersirobok dengan mata elang El Thariq. Kemudian, ia kembali menunduk.
"Saya hanya menyampaikan kekhawatiran saya, El. Bagaimanpun, Rachel adalah anak perempuan dari mendiang kakak saya. Dan ... saya hanya sedikit heran kenapa orang seperti El memilih seorang gadis biasa di luar dunia El saat El bisa memilih gadis dengan model apapun dari dunia El sendiri?" tanya Om Ronnie memberanikan diri ... tentu saja masih dengan terus menunduk.
Kadang di beberapa kata suara itu terdengar pelan.
"Itu juga yang jadi dipertanyaanku, El."
Tiba-tiba suara perempuan menyela pembicaraan itu.
"Agh!" seru El kesal.