Kedua bahu El Thariq menegang, laki-laki itu serta merta menghadap ke arah dokter Dre yang masih santai dengan duduk setengah berbaringnya.
Satu kaki laki-laki itu berada di permukaan sofa sedang kaki yang lain menapak di lantai.
"Dre, bisa diulangi itu!" seru El Thariq tegas.
Dokter Dre sekilas melirik ke arah lawan bicaranya, tapi tatapan matanya kemudian kembali menatap langit-langit, sedang posisi tangannya bersedekap seolah ia sedang menjalani sesi hipnoterapi.
"Tunda rencana bulan madumu sampai gadis itu benar-benar rela menjadi istrimu, El," ulang dokter Dre dengan lugas.
Seketika El Thariq tertawa terbahak-bahak, kemudian kepalanya menggeleng-nggeleng.
Setelah tawanya reda, laki-laki itu menekan pangkal hidungnya yang mancung.
"Hanya Kamu yang bisa membuatku tertawa seperti ini, Dre. Tolong sarankan sesuatu yang sedikit lebih masuk akal ...," ucap El Thariq setelah reda dari tawanya.
Wanita yang masih semi terbaring santai itu mengembuskan napas panjang. Sekilas menoleh ke arah laki-laki yang tengah menatapnya itu, lalu kembali menatap langit-langit di ruangan itu.
"Aku tahu Kamu akan mengatakan itu, El. Tapi, saranku yang terdengar tak masuk akal itu, aku tujukan untuk kebahagiaanmu dan pasangan barumu itu. Dengar ya! Gadis itu memang belum menjalani sesi konsultasi denganku, tapi dari hasil penyelidikan orang-orangmu yang laporannya berakhir di tanganku, aku cukup bisa menggambarkan kondisi psikologis gadis itu," tutur dokter Dre dengan santai.
El mendengarkan dengan saksama.
"Bayangkan jika Kamu adalah Rachel, istrimu itu! Seorang gadis dengan gaya hidup positif, jauh dari kehidupan huru-hara malam, menjalani hidupnya dengan baik, ya di luar hidupnya di keluarga pamannya itu, belajar di universitas dengan baik, menjalin hubungan dengan sahabat dan kekasihnya dengan baik ... dan tiba-tiba, dia diambil dari dunianya yang indah itu, dipisahkan dari semua orang yang dicintainya dan mendadak dijadikan istri oleh orang yang sama sekali nggak dikenalnya, dengan paksa. Kalau Kamu jadi dia, apa yang akan Kamu lakukan, El?" lanjut dokter Dre tanpa menoleh.
El Thariq terdiam. Duduk beringsut, menghadap ke depan dengan lengan berada di atas sofa, sementara jarinya berada di mulutnya. Matanya menatap tajam lurus ke satu titik.
Beberapa detik kemudian laki-laki itu mendengkus lirih.
"Tapi, sekarang dia istriku, Dre," kilah El. Laki-laki itu kembali duduk dengan menyilangkan kaki.
Dokter Dreana mendesah lelah. Desahan itu diikuti dengan tarikan napas panjang yang bukan hanya dilakukan semata-mata untuk memasukkan pasokan oksigen, tapi juga untuk meredakan kekesalan dalam dada.
"Yah ... aku tahu Kamu akan mengatakan itu, El. Melihat bagaimana caramu menjadikan gadis itu sebagai istrimu, apa yang kuungkapkan sebelumnya mungkin menjadi nggak berarti. Hem ... dalam dunia cinta, Kamu layak mendapat gelar mafia cinta, perampas hubungan indah sekaligus perusak jiwa yang suci," tutur dokter Dre tanpa beban.
"Dre ...," desah El Thariq lelah. "Tapi, aku mengingingkannya."
"Hem ... aku paham sekali dengan jenis orang-orang sepertimu, El. Tapi, bagaimanapun gadis itu manusia, dia punya perasaaan, pikiran, kenangan dan semua haru-biru orang yang sedang mencinta. Jika Kamu paksakan keinginanmu, jangan salahkan orang lain jika gadis itu berubah menjadi zombie," sambung dokter Dre dengan nada yang sama.
El Thariq menoleh ke arah dokter muda itu, mulutnya hendak berucap ketika suara dering ponsel dalam saku jasnya terdengar.
"Ya?" ucap El Thariq setelah menempelkan layar pipih itu di telinga.
"Nyonya ingin makan di luar ruang kerja, El," suara salah satu penjaga yang ditugaskan mengamankan ruang kerja terdengar dari ujung sambungan telepon di seberang sana.
El Thariq diam sejenak, wajahnya menatap kosong pada satu arah.
"Ya, tingkatkan penjagaan!" jawabnya pendek.
Dokter Dre tersenyum. Kemudian, wanita muda itu beranjak duduk.
"Aku nggak tahu apa yang diucapkan si penelepon itu. Tapi, dari jawabanmu, aku bisa menebak, em ... dan itu adalah bukti awal dari apa yang kuungkapkan tadi," sahut dokter Dre ringan.
Wanita muda dengan rambut dicat coklat tua itu membuat sanggul modern sederhana yang anggun, lalu mengeluarkan compact powder dari dalam tasnya, membuka benda kecil itu dan mematut-matut penampilannya.
"Jangan menciptakan gangguan mental bagi orang lain, El!" imbuh dokter muda itu kemudian terkekeh pendek.
Dokter muda itu kemudian bangkit berdiri, menyelempangkan tas di bahunya dan menoleh ke arah El Thariq yang masih memandanginya.
"Kamu juga akan membuatku telat makan siang, El, tambahkan kompensasi untuk itu please ...," ucapnya dengan lirikan tajam.
Wanita itu kemudian berjalan pelan ke arah pintu ruangan itu.
"Kamu bisa makan siang di sini, Dre," balas El Thariq datar.
"Sorry aja, aku nggak mau makan jamuan pernikahan paksa," seloroh dokter Dre kemudian terbahak.
El Thariq mengeluarkan senyum seringai misteriusnya mendengar sindiran aesthethic itu.
"Hei, El! Ingat, perhatikan saranku!" seru dokter Dre ketika berdiri di ambang pintu.
El Thariq hanya mengedikkan bahu dengan satu alis terangkat. Lalu, setelah melihat bayangan teman kecilnya itu hilang dari ambang pintu. Laki-laki itu kembali membolak-balik berkas-berkas istrinya dalam dua stopmap folio itu.
Sementara itu di bagian lain rumah megah itu, Rachel ditempatkan di taman yang berada di salah satu sudut rumah milik suami resminya itu.
"Heh! Kenapa jadi lebih banyak yang jaga?" ucapnya dalam hati.
Gadis itu memperhatikan tambahan empat orang laki-laki berdiri di dekat sudut taman itu.
"Di sini, kalau makan, apa harus dikelilingi oleh enam orang penjaga?" tanya Rachel ketika menoleh pada Rose dan Jessy yang berdiri di sampingnya.
Dua pegawai wanita itu tersenyum. Tapi, kemudian Jessy menatap Rachel dengan heran.
"Nanti, Nyon- eh Nona Rachel akan terbiasa kok," jawab Rose lembut.
Jessy menggeser posisi berdiri Rose yang lebih dekat dengan Rachel.
Pegawai yang umurnya beberapa tahun lebih muda dari Rachel itu berjongkok di dekat kursi nyonyanya.
"Non, emang beneran, Nona nggak pernah sedikit pun mendengar berita tentang El," tanya Jessy dengan sorot mata penuh keingintahuan.
Rachel menggeleng dengan cepat.
"Apa pentingnya di hidupku mengetahui tentang itu?" jawab Rachel dalam hati.
Gadis itu menyuapkan satu irisan besar pudding ke dalam mulutnya.
Jessy menggeleng-nggelengkan kepala sambil masih menatap dengan ekspresi heran.
"Padahal El Thariq terkenal lo, Non. Orang tua saya saja tahu, dan karena itu, ketika saya diterima bekerja di sini, mereka senang sekali," imbuh Jessy sambil menatap lekat Rachel yang sedang mengunyah.
"Oh ya?" sahut Rachel tak peduli.
"Di sini kalau makan harus pakai baju dan sepatu kayak gini juga ya?" lanjut Rachel datar.
Gadis itu sedikit menarik rok selutut warna putihnya ke bawah. Lalu, ia membungkuk, tangannya turun ke bawah membebaskan kedua kakinya dari sepatu hak pendek beraksesoris tali itu.
"Hem begini lebih nyaman," gumamnya lirih.
Sambil mengunyah makanan yang disajikan di atas meja, gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh tempat yang bisa dijangkau matanya.
"Kira-kira di mana pintu gerbang rumah ini? Masih ada celah untuk kabur dari sinikah?" ucapnya dalam hati.