Cahaya matahari mengganggu kinerja mataku. Beberapa kedipan tak kunjung membuat pandanganku menjelas. Yang terlihat hanya seluet tubuh membelakangi cahaya yang sedang tidur disampingku. Seluet itu terpahat sempurna. Mata yang terpejam, hidung mancung, serta ah! Lupakan bibir itu. Sepertinya aku bisa mengenalnya hanya dari bibir itu. Bibir yang memiliki bekas hasil karya tanganku. Seluet itu kini telah terlihat dengan jelas seiring dia memutar tidurnya menghadap kepadaku. Dengan takut-takut kuraba bibir itu, dia melenguh pelan kemudian membuka matanya.
"kenapa hm?" ucapnya. Aku segera memutar tubuhku sambil menatap langit-langit putih polos kamarnya.
"tidak!" dia menrutkan keningnya. Terlihat jelas penasaran dari raut wajahnya ketika aku meliriknya sekilas untuk memastikan dia tidak menyadari tindakan cerobohku tadi.
"apakah bibirku sexy sehingga kau menyentuhnya?. Ah! Aku memang sering mendengar kata itu dari teman-teman amerikaku" dia terkekeh pelan melihat aku membelalakkan mata.
"yak!! Aku tidak sedang mengagumi bibirmu!"
"lalu? Kau sedang berusaha mencicipinya?" dia kembali terkekeh. Aku benar-benar malu sekarang.
"tidak! Aku hanya melihat bekas luka itu. Sudah 10 tahun tapi tidak kunjung hilang. Aku jadi merasa bersalah" dia menyentuh bibirnya sambil mengusapnya pelan lalu menelungkupkan badannya sambil menatapku
"aku juga heran. Kenapa ini tidak hilang. Mungkin dia enggan untuk menghilangkan bekasmu padaku" aku mengernyitkan dahi mendengarnya. Kata-katanya sungguh melankonis.
"haha. Ada pula seperti itu?. Tapi bekasku sudah hilang" aku menyibakkan poni agar dapat mengekpost dahiku secara keseluruhan.
"yahh... kenapa hilang? Padahal aku senang memberimu tanda" dia menunjukkan ekspesi pura-pura cemberut andalannya yang dimataku sangat terlihat aneh.
"tanda? Siapa yang mau memelihara tanda hasil sebuah bogeman?. Kau ada-ada saja" aku terkekeh pelan. Sepertinya candaanku tidak membuatnya bereaksi. Dia menatapku sekilas lalu memandang keluar jendela kamarnya.
"ish. Padahal aku ingin kita masing-masing memiliki tanda. Itu membuktikan kita telah melalui suka dan duka sebagai sahabat. Dasar dahi menyebalkan" dia menarik kepalaku lalu meniup dahiku dari jarak yang sangat dekat. Jantungku berpacu seakan ingin keluar. Dia yang menyebabkan aku menderita pernyakit ini melenggang pergi keluar kamarnya. Aku benar-benar benci merasakan hal ini. Rasanya sangat menyebalkan sehingga aku langsung berlari keluar kamarnya menuju rumahku.
~
Sekolah sudah terlihat ramai saat aku memasuki gerbang sekolahku. Dari tempat parkir kulihat ryan sahabatku dengan gita melambaikan tangan kepadaku. Mereka tersenyum dengan cara berbeda. Tentu saja berbeda, toh mereka beda orang. Ah! Bukan seperti itu maksudku. Ryan tersenyum saat melihat atm berjalannya datang pagi menghampirinya. Sedangkan gita tersenyum,,, susah aku menjelaskan. Yang jelas, dia pernah menembakku.
Dan ryan juga mengatakan dia telah menyukaiku sejak kelas 1 dan sekarang kami telah kelas 3. Cukup lama bukan? Tapi aku tidak bisa membalas rasanya. Karna aku tidak mengerti sama hal itu.
"fi! Kantin yuk" seperti biasa, gita tersenyum cerah sambil mengaitkan tangannya kelenganku. Ryan yang melihat itu menampakkan perubahan ekspresi. Meski tidak handal soal suka meyukai, aku paham betul bahwa ryan menyukai gita. Bagaimana dia menahan sakit hati sementara selama ini dia harus mendengarkan ocehan gita tentangku.
"yan. Kau belom makan kan? Ayok ke kantin" aku melepaskan tangan gita dari lenganku. Ryan tersenyum cerah kemudian menggantikan gita bergelayut manja dilenganku yang satunya lagi.
"ayok sayangku" dia menarik kami menuju kantin.
Setelah menyebutkan pesanan kami, gita meninggalkan kami untuk memesan. Aku menatap ryan yang tak kunjung mengalihkan pandangan dari gita
"kau tidak mencoba untuk menyatakannya?" dia menatapku tajam lalu mendesis
"bagaimana mungkin? Aku tidak mau dia menjauhiku karena itu. Dia tidak sepertimu yang bisa bersikap biasa saja mengetahui hal itu" aku kasihan mendengarnya. Memang, laki-laki dan perempuan berbeda dalam menyikapi itu.
"lalu apa rencanamu?" aku benar-benar penasaran akan itu. Dia tersenyum aneh
"biarkan berlalu seperti air mengalir" dia mengatakannya sambil mendramatisir kalimat pendek itu dengan ekspresi berlebihan. Aku berlagak muntah melihatnya. Dia terkekeh
Gita pun datang bersama seorang pelayan membawa pesanan kami. Dia mendudukkan pantatnya di kursi depanku.
"lagi bahas apaan?"
"ngak ada" sahut ryan sambil mencuri teh yang akan diminum gita. Gita merenggut malas melihatnya. Aku langsung menyodorkan teh milikku
"kau memang yang terbaik fi," dia pun menyeruput habis tehku. Kami melongo melihatnya.
"kau!! Benar-benar git" ryan menggelengkan kepala melihat gita yang hanya menatap bingung. Aku terkekeh pelan melihat ekspresi cemberut ryan.
"hai alfii!, sayangku cintaku" si pembuat suara langsung mendudukkan pantatnya di kursi sampingku sambil melikarkan tangannya dibahuku. Aku melengos malas.
"yak Tama! Berhentilah mengganggu temanku!" aku yang ingin memaki si pembuat suara terhenti ketika ryan berteriak sambil mencengkram bahu tama. Dua orang teman tama menahan gelagat ryan.
"bagaimana bisa yan? Dia terlihat imut dimataku" tama mencubit pipi kananku. Aku menahan nafas untuk tidak meledakkan emosiku ketika dihina seperti ini. Ku lihat raut ketakutan gita saat mataku dan matanya tidak sengaja bertemu. Aku yakin ekspresiku sekarang yang membuat gita takut. Aku menarik nafas panjang beberapa kali untuk meredakan ekspresiku.
"bisakah kau pergi tam?" aku menolehkan kepala untuk memandangnya tajam.
"ou!! Aku takut sayang! Jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku semakin menyukaimu" dia mencoba menyentuh pipiku lagi. Tapi gita memelintir tangannya sehingga ia berteriak kesakitan.
"berhenti mengganggu temanku sialan" gita tetap memelintir tangannya sementara kedua teman tama berusaha melepaskan cengkraman gita.
"sudahlah git. Aku tidak nafsu makan lagi. Lepaskan" aku beranjak dari dudukku dan pergi mendahului mereka. Aku benar-benar muak melihat tingkah laku tama. Dia benar-benar membuatku ingin menonjok wajah sialannya itu.
Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku harus menjaga sikap agar dia tidak mengadu kepada orang tuanya dan mengakibatkan orang tuaku kehilangan kolega bisnis. Aishhh dasar homo sialan!
☆☆☆
Gita membuka pintu kelas dengan terburu-buru. Nafasnya memburu menahan kesal. Kemudian dia membalikkan badan kearah aku dan ryan. Dia mengintimidasi kami dengan sipitan matanya yang menandakan dia ingin mengetahui sesuatu. Aku dan ryan melewatinya dari sisi kiri dan kanan menuju meja kami.
"tidakkah kau bisa melawan fi?" dia berkacak pinggang dibelakang kami. Aku membalikkan badan, menatapnya sambil tersenyum.
"untuk apa aku melawan orang yang jelas-jelas bisa aku kalahkan?" aku menaikkan sebelah alis meneliti reaksi wajahnya. Dia pun berjalan menghampiri kami dan duduk di bangkunya.
"Tapi, aku merasa sangat marah ketika dia menghinamu? Bagaimana mungkin wajah tampanmu itu dibilang imut? Issshhh!!" dia merenggut kesal. Kami saling pandang melihat tingkahnya yang lumayan imut itu.
"Tapi, itu bukan sebuah kebohongan git. Alfi memang punya wajah yang imut. Seandainya aku berjalan dengannya di pasar, maka orang-orang akan percaya bahwa aku sedang membawa adikku yang masih kelas 7 smp berjalan-jalan" aku membelalakkan mata mendengar argumennya. Dia menunjukkan cengirannya ketika aku mengupat dalam diam.
"Tidak bisa!! Alfiku tampan!! Lagian dia tinggi darimu yan" gita menggebrak meja menyanggah perkataan ryan. Kami yang terkejut mengelus dada untuk meredakan detak jantung.
"Yak git!! Bukankah yang seharusnya kesal itu alfi? Kenapa kau yang seperti orang ditinggal hamil?" aku setuju dengan ucapan ryan. Gita membalikkan badannya menghadap kami lalu menatap kami tajam.
"dia sahabatku yang paling berharga. Aku akan melindunginya dari godaan gay terkutuk itu. Bisa-bisanya dia mengincar alfi temanku setelah dia menyodomi pria manis dari kelas ujung itu?"
"yak!! Aku mual membicarakannya. Hentikan itu. Lebih baik sekarang kita"
"CABUT!!" ucap mereka berdua memotong kata-kataku. Aku terkekeh pelan melihat tingkah mereka yang terburu-buru mengambil tas dan berlari keluar kelas sambil saling merangkul
~
Kami memasuki kafe. Seorang pelayan tersenyum dari jauh dan melambaikan tangannya. Kami menghampiri pelayan itu dan duduk di meja yang ditunjuknya. Gita menarik lengan pelayan tersebut agar duduk di sampingnya.
"lan, lu tau tama anak sekolahan kami?" gita langsung menyuguhkannya pertanyaan begitu sang peelayan mendudukkan pantatnya.
"Tau git. Dia kan yang dlu brantem sama gilang. Napa emang git?" si pelayan yang disapa Alan itu memeluk baki yang dibawanya agar ujungnya bisa dijadikan sandaran dagu. Aku tidak heran lagi melihat sisi feminim si Alan. Toh dia emang gay dari pertama kali aku mengenalnya. Lagi pula, pria itu sangat cantik untuk kategori seorang laki-laki.
"Dia ngotot mau Alfi. Kan gila" gita meminum air yang sebelumnya di tuangkan seorang pelayan lain yang barusan menghampiri kami.
"siapa? Tama? Naksir Alfi?" sahut si pelayan yang baru saja datang lalu duduk di samping alan sambil merangkul bahu pria itu.
"hooh lang. Tadi dia terang-terangan di kantin manggil alfi dengan sebutan sayang. Parahkan?" Ryan memperagakan panggilan sayang tama dikantin tadi. Aku dan gita berlagak muntah sedangkan Alan tersenyum dan Gilang melongo.
" ingin rasanya aku memberikan bogeman mentah ke bajingan itu" kami tertawa mendengar penuturan gita. Toh semua akan berlagak seperti itu mendengarnya. Karna tak ada rahasia diantara aku dan tiga sahabatku beserta pasangan gay ini.
"Jadi, kau akan belok fi? Aku rasa, kau cukup cantik untuk jadi bottom" Gilang segera meninggalkan kami ketika aku berancang-ancang menyiram air yang tadi disuguhkannya. Alan tertawa ngakak mendengar godaan kekasihnya.
"sudahlah fi. Jangan kau dengarkan yang dikatakan gilang. Dia memang begitu ke semua orang" ucap Alan sambil membukakan buku menu
"jadi kalian mesan apa?"
"teh es sama nasi goreng 3" Sahut ryan.
"eh!! Aku tidak memesan itu" Gita menyiniskan nada bicaranya.
"aku tau kau akan menyebut itu. Dan kau fi, pasti akan mengatakan samain aja" ryan menekankan kata terakhir sambil melebihkan ekspresi saat membacanya. Gita melengos mendengarnya. Toh memang seperti itu selama ini. Sudah menjadi kebiasaan kami bertiga
"oke. Tunggu sebentar" Alan bangkit dari duduknya kemudian mendekatkan wajah kearah telingaku sambil berbisik "Tapi, yang dikatakan gilang tadi memang benar lho fi" aku membelalakkan mata sementara dia berlalu sambik tersenyum. Ryan dan Gita menatapku meminta penjelasan. Aku hanya mengangkat kedua bahu.
"Yak! Lihatlah pria di tepi jendela itu. Sepertinya dari tadi dia menatapku. Ahh betapa sexynya dia" Gita berujar sambil membenahi rambut sebahunya kemudian tersenyum untuk mengajak orang yang dibilangnya jadi berinteraksi.
"masih sexyan aku git" sahut ryan acuh tak acuh.
"tidak! Dia sangat tampan. Kau jauh darinya yan. Lihatlah postur badannya yang tegap berisi. Kulit putih, ah!! Bibirnya juga sexy. Merah merona. Apa dia pakai lipbalm?" Gita mengekpresikan deskripsi orang yang dimaksudnya dengan berlebihan. Aku yang penasaran pun membalikkan tubuh untuk melihatnya. Toh memang aku membelakangi objek yang dikatakkan gita tadi.
Aku terkejut ketika melihat sosok yang ku kenal sedang tersenyum kearah pintu masuk dimana seorang perempuan anggun memasuki kafe ini. Dia berdiri kemudian mengusap-usap rambut perempuan itu. Moodku langsung turun, aku kembali menghadap kedepan dimana gita terlihat cemberut menyadari pria yang ditaksir ternyata sedang kedatangan kekasihnya. Ryan menggeleng-gelengkan kepala melihatnya.
Pesanan kami pun datang. Alan meletakkan pesanan kami di meja sembari mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Aku mengerti maksudnya. Aku berpura-pura muntah, kedua sahabatku menatap aku penuh tanya kemudian melirik Alan yang mengedikkan bahunya.
"kenapa Fi?" Ryan yang tak kunjung meredakan penasarannya pun bertanya.
"Tak apa-apa, hanya godaan si Alan" Ryan dan Gita kembali berfokus kepada makanannya. Aku pun begitu. Dalam benakku, ingin rasanya aku melihat kebelakang untuk meneliti pria tadi. Tapi sudahlah, toh nanti aku bisa menanyakan hal yang membuat aku penasaran dirumahnya. Kami pun menghabiskan nasi goreng dalam diam. Toh kami memang kelaparan akibat tidak jadi makan di kantin sekolah tadi.
"fi!" aku menegang mendengar suara itu memanggilku. Kulirik wajah penasaran kedua temanku. Gita menatapku sambil menyipitkan matanya. Dengan enggan aku membalikkan badan.
"yak!! Ternyata benar-benar kau. Aku kira siapa. Aku tak mengenalimu jika dandananmu seperti ini" ucap si pemilik suara. Memang, aku berdandan tidak seperti biasanya. Ini karna faktor cabut. Dasi yang biasa terpasang rapi, kini berada di tasku. Kemeja putih yang selalu masuk, kini telah acak-acakan keluar dari celanaku. Rambut yang biasanya tersisir rapi, juga telah acak-acakan karna pelampiasan kekesalanku atas insiden tadi pagi.
"hmm. Hi fan" aku menyahut dengan canggung. Fandi duduk di sampingku tanpa permisi. Bisa kulihat mata gita tak bisa berpaling sedikitpun dari pergerakan pria ini.
"yah.. lihatlah. Ternyata kau juga bisa terlihat keren" dia memutar-mutar bahuku aku menepis tangannya yang menyebalkan itu.
"hentikan. Kau membuatku gerah" aku meminum teh es yang dari tadi belom ku sentuh. Dengan seenak hatinya, fandi merebut teh es yang sedang ku minum dan meminumnya tanpa izin.
"terimakasih" dia pun melenggang pergi menghampiri cewek yang telah melambaikan tangannya di meja kasir setelah mengacak rambutku. Aku merenggut kesal. Lalu melihat kedua sahabatku yang kini telah melipat kedua tangan sambil mengintimidasiku dengan tatapan.
"siapa dia?" ryan mendahului gita yang ingin bertanya. Aku menarik nafas malas kemudian menghembuskannya dengan kasar. Aku benar-benar malas membahasnya.
"yak! Bagaimana bisa kau selama ini diam saja memiliki teman setampan itu?" Gita kembali menyipitkan matanya. Aku benar-benar malas mendengar itu kemudian bangkit dari dudukku.
"namanya fandi. Dia sahabat kecilku, dia tetanggaku, aku tidak mengenalkannya? Dia selama ini tinggal di amerika dan baru pulang beberapa hari yang lalu. Tolong jangan ada tanya lagi. Aku malas membahas tentang dia!. Ssstt!!! Sudah jangan bertanya, bayar saja makanannya" aku meletakkan telunjukku di bibir gita saat dia membuka mulutnya untuk bertanya.
Dia merenggut kesal sambil memanyunkan bibirnya. Ryan yang gemas melihat ekspresi gita mencubit pipinya dan mendapat jintakan di dahinya. Aku tidak peduli lagi. Aku melangkah keluar sambil membalas sapaan gilang di meja kasir.