Chereads / Baby Heart [End] / Chapter 3 - Awal Dari Celaka Itu

Chapter 3 - Awal Dari Celaka Itu

Langit telah memerah memperlihatkan senja yang telah merebut siang. Aku masih disini sejak siang tadi. Beberapa komik dan novel telah ku baca berserakan di rumput. Beberapa anak-anak masih bermain bersama orang tuanya.

Tapi kebanyakan sudah pulang mengingat udara yang semakin dingin. Aku merentangkan kedua tangan untuk merilekskan otot. Segera ku kemasi barang-barang bawaan untuk meninggalkan taman bermain ini. Ku rasa, orang dirumah telah sibuk menyiapkan makan malam.

Ah! Ketika mengingat makan malam, perutku langsung mendemo untuk diisi. Baiklah. Aku akan mengisimu setibanya dirumah nanti.

Segera ku tinggalkan taman untuk pulang kerumah melewati gang sempit yang akan mempercepat waktuku. Sebenarnya, aku lumayan ngeri melewati jalan ini. Kabarnya dijalan ini sering terjadi pembullyan.

Tapi, harus bagaimana lagi? Aku tidak mungkin melewati jalan utama yang membutuhkan waktu 30 menit berjalan kaki sementara aku sangat kelaparan sekarang. Huffttt!! Di ujung gang aku melihat beberapa pemuda sedang menegak minuman dan merokok. Ehtah itu minuman berakhohol atau Cuma soda, aku tidak peduli aku terus berjalan hingga melewati mereka

"Hi sayang!." Tunggu! Bukankah itu suara Tama?. Dengan pergerakan malas, aku memutar tubuh untuk melihat mereka. Tama sedang menyeringai sambil mematikan rokok yang diisapnya dengan sol sepatunya. Aku menyipit untuk memperjelas penglihatan. Tapi sayang, aku tidak mengenali mereka kecuali tama. Karna aku hafal suara bajingan itu.

"wan. Bisakah kau melumpuhkan jagoan itu? Aku benar-benar ingin mencicipinya" aku tak paham maksud ucapan tama. Tapi, perasaanku benar-benar tidak enak sekarang. Mencicipi? Apa itu ada hubungannya dengan perkataan Gita tadi pagi? Aishh.. kenapa aku masih bingung?.

"bisa tam. Kau ingin dia utuh atau lecet sedikit?" suara yang dipanggil wan itu menyahut. Kemudian tiga sosok pria mendekatiku dan mengepungku.

"terserah kau wan. Tapi jangan lupa, sisakan bokongnya untukku. Atur anak buahmu agar tidak menyentuh bokongnya" sekarang aku paham. Aku bergidik ngeri sembali mengelak dari serangan ketiga anak buah tama.

Aissh.. kenapa mereka memulai perklahian ketika aku lapar? Sungguh menyebalkan.

Perkelahian tidak seimbang ini benar-benar ku rasakan. Setiap pergerakan dan jurusku terbaca oleh mereka. Apa mereka satu perguruan denganku? Kenapa mereka bisa menangkis semua tendangan dan pukulanku? Meski beberapa mengenai mereka sih? Tapi itu kan tidak wajar untuk ukuran aku seorang sabuk hitam. Sebuah tendangan mengenai rusuk kiriku.

Astaga! Aku lengah. Rusuk kiri adalah bagian terlemahku. Karna aku pernah mengalami patah rusuk saat memperebutkan medali emas saat laga 2 tahun yang lalu. Cidera itu juga yang menyebabkan aku pensiun. Karna, jika rusuk kiriku masih mengalami luka, akan sangat lama sembuhnya dan bisa berakibat fatal. Dan sekarang aku mengalami itu.

"cukup wan. Ingat! Kau tidak boleh melukai bokongnya. Apa bokongnya baik-baik saja?" Suara tama terdengar mendekat oleh telingaku. Tapi aku tidak bisa menerka jaraknya. Karna aku sibuk meringkuk di aspal untuk menahan sakit di rusukku. Aku yakin itu patah atau setidaknya retak.

"tenang tam. Aku tidak berani menyentuh milikmu" seiring selesainya tuturan pria yang dipanggil wan tadi, tama mencengkram daguku untuk mendongakkan kepalaku menghadapnya. Remang-remang kulihat jelas seringaian tama. Kemudian dua orang teman tama mengangkat badanku untuk disandarkan ke motor mereka. Aku yang kesakitan hanya pasrah. Tama menghampiriku kemudian membalikkan badanku menelungkup di motornya. Firasat dan fikiranku langsung kacau ketika dia berusaha membuka ikat pinggangku.

"tam!! Apa yang kau lakukan banjingan?" aku meronta sekuat tenaga meski dua anak buahnya memegangiku dengan sangat kuat. Oh anjing!! Apa yang akan dilakukan bajingan ini?

Setelah melorotkan celana abu-abuku dia membuka seluruh penutup kemaluanku. Aku benar-benar malu sekarang. Meski cahaya lampu tak cukup untuk menerangi tubuh bagian bawahku, tapi aku merasa ditelanjangi di depan ribuan orang sekarang. Aku meronta dan berteriak memintanya berhenti menyentuh bokongku. Ini rasanya sangat memalukan dan menjijikkan. Aku meneteskan air mata saat ku rasa percuma saja berteriak dan meronta.

Toh mereka memegang kendali ku. Aku putuskan, jika dia menodaiku, aku akan membunuhnya di depan orang tuanya. Lihat saja tam! Kau akan tamat di tanganku ketika kau sendirian.

Bughh! Bughh! Bughh! Suara hentaman terdengar di telingaku. Jelas sekali bahwa seseorang sedang bertarung melawan tama dan kawanannya. Aku terlalu malu untuk sekedar mengangkat kepala. Badanku merosot kebawah sembari turunnya air mataku dengan deras. Aku memilih meringkuk di aspal, aku benar-benar merasa hina sekarang.

Mataku perlahan memburam hingga telingaku mendengung. Aku ingin memperjelas pendengaran agar bisa membaca situasi yang sedang berlangsung melalui atmosfer. Tapi tidak bisa, dengungan di telingaku membentuk suara jutaan lebah hingga menenggelamkan suara di sekitarku.

"alfi! Fi! Bangun oi" hanya kata itu yang terdengar kemudian aku merasakan sesorang menarik kembali celanaku dan semuanya kabur. Aku mengenal suara itu, sangat mengenalnya.

☆☆☆

Author POV

Sekarang adalah hari ke3 alfi terbaring di ranjang rumah sakit. Operasi yang dijalaninya bisa dikatakan berjalan lancar. Ralat, operasinya lancar. Hanya saja, anesti yang diberikan tak kunjung diminimalisir oleh darahnya sehingga dia yang seharusnya bangun paling lambat 48 jam sesudah operasi itu masih terbaring lemah.

Orang tua alfi bergantian menjaganya pada malam hari sedangkan siang hari, fandi senantiasa mengganggunya dengan bacotan-bacotan yang sangat jelas tidak akan ditanggapi alfi. Malam harinya ia juga tidak pulang, ia tidur dilantai sambil memperhatikan monitor yang menunjukkan lemahnya denyut nadi pria itu.

Orang tua alfi sudah capek menyuruhnya pulang bahkan bisa dikatakan mengusir. Tapi, dengan alasan ingin menemani sahabat kecilnya, fandi berhasil bertahan menemani alfi selama 3 hari tanpa mandi sedikit pun.

Fandi kembali memeriksa monitor untuk menambah harapan bangunnya alfi. Dia melenguh kesal melihat angka yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Tak bisa menahan emosi, fandi memukul monitor itu sehingga angka yang menunjukkan denyut nadi alfi naik menjadi 120/80. Fandi panik, dia mengelus-elus monitor itu sambil beberapa kali meminta maaf. Tapi, angka monitor itu tak kunjung balik lagi. Sementara alfi melenguh pelan di sampingnya. Fandi pun segera memegang tangan alfi berharap ia benar-benar bangun.

Back to Alfi POV

Aku membuka mataku perlahan. Bagaimana tidak? Kepalaku terasa nyeri serta pandanganku mengabur. Meski aku yakin telah membuka mataku sepenuhnya, penglihatanlku masih kabur. Perlahan-lahan baru aku bisa melihat dengan jelas lampu di langit-langit yang serba putih itu. Kemudian aku melirik ke arah kanan.

Astaga! Aku mundur dengan cepat melihat wajah fandi yang menatapku dengan sangat dekat. Arrrkkhh! Perutku kiriku sakit. Aku meringkuk menahan sakit. Raut wajah fandi berubah menjadi khawatir.

"yak!! Kenapa kau membuat pergerakan mendadak ketika siuman?" fandi mengembalikan posisiku menjadi tidur telentang bak mayat tak berdaya .

"kau membuatku terkejut, sialan" aku merenggut sebal mendapat ceramah darinya. Kan, sebelumnya sudah kukatakan. Bahwa dia menyebalkan.

"kau terkejut karna ketampananku?" dia menaikturunkan alisnya sambil mendekatiku. Aku memutar kepala ke arah lain.

"kau seperti jack sparow!. Sudah berapa lama kau tak mandi hah?" kembali ku lirik dia. Sekarang dia menggaruk rambutnya dan memberikan cengiran. Ish! Lihatlah. Aku menebak dia tidak mandi seminggu. Rambut lepek dan kucel, wajah kusam, oh astaga jangan lupakan bibir pucat itu. Issh! Dia telah berubah seperti orang gila. Hanya saja dengan baju bermereknya.

"3 hari. Aku menungguimu sampai siuman anak manja!" hah?? Selama itu? Oh dasar manusia menjijikkan.

"kenapa kau tidak mandi? Dan aku sudah bangun sekarang. Bukannya memanggil dokter kau malah membuat seorang pasien stress dengan bacotanmu sialan!" aku memegang pelipisku sambil memijitnya pelan. Sebenarnya, aku sudah tidak pusing. Tapi hanya ingin mendramatisir keadaan.

"astaga! Aku lupa!" fandi berlari meninggalkanku yang tertawa melihat tingkahnya. Ah! Bocah itu sangat menggemaskan sekarang. Eh tunggu? Menggemaskan? Kau mulai gila alfii!!!

Yahh... membosankan. Aku melihat sekeliling untuk menghilangkan jenuh. Tabung oksigen di sebelah kiri ranjang menyandar ke lemari. Munkin dia lelah, fikirku. Dari sini aku hanya bisa melihat langit serta lantai gedung sebelah. Aku rasa, aku di lantai tiga. Tapi entahlah, ruangan yang cukup besar ini hanya aku yang mengisi, beberapa ranjang kosong. Mungkin mereka kehilangan pasien akibar banyaknya yang sehat. Aku benar-benar bosan ditinggal sebentar oleh anak menyebalkan itu.

"Alfffiiii!!!" aku menoleh ke arah pintu masuk. Disana gita dan ryan terkejut melihatku. Mereka berlarian menghampiriku serta mencubit pipi kiri dan kananku lalu saling menampar diri. Mereka kenapa? Sudah gila kah?

"kau terlalu berisik git! Lihatlah! Kita berhalusinasi. Mari keluar lagi" aku bingung mendengar tuturan ryan. Ryan menarik tangan gita untuk keluar. Mereka pun menutup pintu, aku menyernyitkan dahi. Kenapa mereka? Tak lama kemudian mereka kembali masuk dan dengan ekspresi yang sama. Serta masih saling menampar diri. Lalu menggeleng dan keluar lagi, kemudian masuk lagi. Begitu sampai empat kali. Aku menghembuskan nafas, lalu memutar tidurku menghadap jendela. Mereka membuatku gila. Aku merasakan dua orang lain memasuki ruangan ini, tapi aku tidak peduli. Aku lelah melihat kelakuan dua bocah tadi.

"alfi mahriza, biar saya cek keadaan anda" ah, ternyata dokter. Aku kira masih golongan stress seperti dua orang tadi. Aku membalikkan badan hingga menelentang. Dokter tadi memeriksa keadaanku. Gita dan Ryan sedang membicarakan sesuatu dengan Fandi di balik pintu. Sesekali gita berekspresi histeris. Yahh.. begitulah ratu drama. Selalu mendramatisir keadaan.

"kau terlalu lama tidur alfi, tapi denyut nadimu sangat normal. Kau anak yang kuat" aku hanya membalas perkataan dokter itu dengan cengiran. Entah apa yang terjadi aku masih bingung. Kenapa aku di rumah sakit, kenapa dia mengatakan aku terlalu lama tidur. Huffttt.. aku terlalu malas memikirkannya. Toh nanti bisa bertanya pada tiga makhluk yang memburu masuk itu.

"yak!!! Aku kira kau akan mati fi" gita memelukku dengan erat. Aku sesak mendapat pelukannya. Ditambah ryan yang sok melankonis juga memelukku disini lain. Aishh.. mereka benar-benar tak berguna.

"hentikan itu para bocah!. Kalian tidak melihat mukanya yang memerah akibat perbuatan kalian?" fandi menarik mereka menjauh dariku. Ryan dan Gita merenggut tak terima lalu duduk sambil menatapku meminta keadilan. Aku menunjukkan cengiran untuk membalas mereka.

"tapi aku merindukannya. Yak!! Bagaimana kau bisa di keroyok seperti itu? Apa sabuk hitam itu kau dapatkan dengan cara menyogok?" Gita menyerocos sambil melibat tangannya di dada. Aku memandang fandi sambil mengerutkan kening.

"maksut kau git?" aku benar-benar bingung sekarang.

"kau di keroyok! Dan kau malah terluka. Apakah keahlianmu tidak berfungsi? Atau jangan-jangan kau memang tidak bisa bela diri lalu menyogok pelatih agar mendapatkan gelar sabuk hitam?. Issh!! Kau hampir mati alfii!!" dikeroyok? Perlahan aku mengingat seringaian tama. Dan aku mengingat perlakuan bejatnya, saat tangan kotornya membuka ikat pinggangku, melorotkan celanaku, menelanjangi tubuh bagian bawahku, menyentuh bokongku dengan miliknya. Itu sangat menjijikkan.

Tiba-tiba nafasku sesak dan kepalaku pening. Bunyi suara monitor disampingku sangat berisik sehingga membuat telingaku mendengung. Samar-samar kulihat wajah kepanikan mereka, tapi aku benar-benar mengantuk. Aku putuskan untuk tidur meski mereka memanggil-manggil namaku.

"Alfi!~