Aku berjalan mondar-mandir di ruangan ini sambil menggigit kuku jariku. Kembali terngiang kata-kata fandi olehku 'mereka membahas orang yang aku sayangi' aku berfikir keras semalaman mencerna kata-katanya. Sampai-sampai aku meminta pendapat gita dan alan soal itu lewat telephone tadi malam. Tapi hasilnya nihil, mereka malah mengatakan apa yang juga aku fikirkan. Yaitu 'fandi menyukaiku'
Aiisshhh!! Aku Mengacak rambut. Apakah aku harus mengikuti saran mereka? Untuk mencium fandi agar tau kalau fandi itu homo atau tidak? Arrkkhh!!! Itu sama dengan bunuh diri bagiku. Tak sengaja aku tersandung tas yang berisi pakaianku. Sudah satu jam sejak orang yang mengemasi tas-tas ini izin pulang untuk mandi. Orang tuaku tidak dapat menjemputku untuk pulang karena pembatalan perjanjian bisnis dengan keluarga tama.
Setelah mendengar penjelasan ziwan, orang tuaku langsung memutuskan hubungan kerja dengan orang tua tama. Aku jadi sedikit lega karna tidak harus menahan emosi lagi jika di dekat bajingan itu. Tapi, aku malah seperti orang yang tak punya keluarga sekarang. Abangku satu-satunya malah memilih berangkat ke kampus dari pada menjemput adiknya.
Adikku? Ah lupakan dia masih kecil untuk membawa mobil. Jadinya, aku pulang bersama fandi. Aisshh.. aku tak bisa membayangkan betapa canggungnya nanti.
"alfiii!!! Abang datang!!" fandi menerobos masuk ke ruangan ini dengan gaya sok kerennya. Aku melengos kemudian duduk di tepi ranjang rumah sakit ini sambil melipat kedua tangan di dada.
"kenapa kau begitu lama huh?"
"aku harus tampil tampan setiap saat" dia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya yang kurus bak lengkuas. Aku menghela nafas malas sebagai jawaban. Dia menatapku bingung.
"bisa gila aku jika terus-terusan bersama kau!" aku melenggang pergi keluar ruangan. Tujuanku hanya satu sekarang yaitu pulang. Kulangkahkan kakiku sambil sedikit dihentak-hentakkan agar dia mendengarnya dan bergegas menyusulku.
"yak tunggu aku!" aku berhenti kemudian memutar badan untuk melihatnya. Dia menenteng dua tas besar tampa terlihat kewalahan sedikit pun. Dia masih terlihat keren meski dengan tentengangan besarnya itu. Aisshhh.. aku kembali mengingat kata-kata alan 'kau harus menciumnya untuk membuktikan itu fi' membayangkannya saja membuatku gila. Aku? Alfi? Seorang pria harus mencium fandi yang juga seorang pria? Jika kulakukan apa bedanya aku dengan tama?. Arrrghhh!!! Aku mengacak rambutku kemudian berlari mendahuluinya.
~~
"yak!! Kenapa kau berubah menjadi patung? Sejak dari rumah sakit, lalu di mobil, dan sekarang? Apa kau kehilangan kemampuan berbicaramu?" aku melirik malas fandi yang sedang mengoceh sambil membolak-balikkan novel yang sedang dia baca. Aku merutuki bundaku sekarang. Kenapa dia pulang Cuma untuk mengatakan kalau mereka ada urusan bisnis dan meminta fandi menemaniku malam ini? Tak bisakah dia menelfon ryan saja? Lihatlah kelakuan makhluk ini. Dia telah membongkar isi lemariku untuk mencari baju yang bisa muat olehnya. Dia sibuk mencari bajuku sedangkan dia bisa saja meloncat dari balkon ini ke balkon kamarnya untuk mengambil baju.
Ish!! Menyebalkan. Jangan lupakan DVD musikku yang telah berantakan serta novel-novelku yang telah berceceran kemana-mana.
"aku malas berurusan dengan monyet!" aku menjawab sambil melipat kembali pakaian-pakaianku dan memasukkan kembali kedalam lemari. Aku menghela nafas melihat masih banyak yang tersisa.
"monyet? Kau menyebut dirimu sendiri?" dia terkekeh pelan setelah mengucapkan kata yang tidak lucu sama sekali. Aku mendecih lalu melemparinya dengan bantal yang tergeletak di lantai. Jan lupakan itu juga, dia yang membuat bantal-bantalku turun dari ranjang.
"aku menyebut orang yang sedang bersamaku dikamar ini" aku beranjak dari duduk kemudian memungut novelku satu persatu untuk di letakkan di tempat semula. Aku jelas mendengar dia mencemoohku dengan mengulang kata-kataku tadi. Dari tadi dia memang sudah membangkitkan emosiku. Sekarang emosiku benar-benar diujung tanduk.
Aku mengambil bantal yang lain lalu menghampirinya untuk menghajarnya habis-habisan.
Dia berteriak memintaku berhenti. Bukan alfi namanya jika berhenti dalam hal ini. Aku terus memukulnya dengan bantal lalu sesekali menendangnya. Dia berteriak frustasi kemudian mengambil bantal yang lain. Dia membalasku dengan bruntal hingga aku terpeleset dari ranjang dan jatuh kelantai. Tapi, kenapa aku tidak merasakan sakit?
"aarkhh! Badan kau berat! Bisakah kau minggir?" aku terkejut ketika sadar bahwa aku tengah menindihnya. Dia memalingkan wajahnya ke kanan tanpa menatapku ketika berbicara. Posisi ini membuatku terngiang akan kata-kata alan 'kau harus menciumnya untuk membuktikan itu fi'. Apakah sekarang waktunya?
Entah mendapat keberanian dari mana, aku memutar kepalanya menghadapku kemudian mendekatkan bibirku ke bibirnya. Aku mengendus pelan sebelum benar-benar menempelkan bibirku ke bibirnya dengan sempurna. Aku merasakan panas di dada serta pipiku. Tak lama kemudian aku terbelalak kaget menyadari perbuatanku sendiri. Aku segera bangkit dari badannya dan melangkah menuju pintu.
"yak! Mau kemana kau?" fandi menarik tanganku hingga aku kembali terjatuh kelantai. Bedanya, sekarang aku yang ditindihnya. Yak! Bukan ini yang aku inginkan. Kenapa situasi berubah serius seperti ini?. Aku memukul badannya agar membebaskanku. Tapi, dia dengan cepat melumat bibirku. Dadaku kembali sesak seperti sebelum-sebelumnya. Sesaknya diiringi dengan rasa hangat kemudian menjalar ke pipiku. Ini pertama kalinya aku merasakan ini. Lumatannya bertambah ganas dalam durasi yang lama, aku memekik dalam pagutan bibir kami untuk mengisyaratkannya bahwa aku kehabisan nafas. Dia pun melepasnya dengan enggan kemudian menatapku sambil tersenyum miring.
"kau ingin nambah?~
"yak!! Sialan! Pergi kau!!" aku mendorong tubuhnya dengan kasar lalu berdiri untuk meninjunya. Fandi tak tinggal diam. Dia segera berdiri dan menangkis semua seranganku. Beberapa tinju dan tendangan mengenainya, tapi kebanyakan meleset.
"woi!! Sakit!! Kira-kira kalau mau menghajarku" aku tidak mengindahkan permohonannya. Aku menarik kerah bajunya kemudian membantingnya ke lantai. Brukk!! Punggungnya dan lantai yang bersentuhan menghasilkan bunyi yang keras. Aku berkacak pinggang menatap matanya yang tepat di bawah kakiku sambil meniup poni.
"kauu... kauu... benar-benar sadis" dia menggeliat-geliat di lantai menahan sakit. Aku berjalan menuju balkon kamar. Kubuka dengan lebar pintu balkon itu untuk memasukkan udara segar ke kamarku. Beberapa kali ku tarik nafas panjang agar panas di pipiku bisa hilang oleh dinginnya angin malam ini.
"tante yana!!! Bawa pulang fandi!! Dia ngompol!!" aku berteriak ke arah rumah tetanggaku sekaligus rumah makhluk yang sedang menahan sakit di dalam kamarku sekarang
"iya alfi??" sahut tante yana. Aku samar-samar mendengar musik dari ruang keluarga rumah itu. Ah~ pantas saja tante yana tidak mendengar dengan jelas teriakanku.
"yakk!! Bertanggung jawablah anak manja!" aku tersentak kaget melihat fandi sudah berdiri di sampingku sambil memegangi pinggangnya dan masih merintih kesakitan.
"aku tidak membuatmu hamil" aku menjawab acuh tak acuh. Ku edarkan pandangan ke seluruh langit. Bintang-bintang terlihat seperti ketombe ryan yang berjatuhan di baju hitamnya.
"kau membuat pinggangku encok, anak manja!"
"berhenti memanggilku seperti itu. Lagian, kau yang salah. Kau yang menciumku" aku melototinya ketika dia mengancang akan menyentil keningku. Fandi menurunkan tangannya kemudian memasukkannya ke dalam saku celana.
"hufftt.. maling teriak maling" fandi mengucapkan itu tanpa menoleh kepadaku. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit malam. Tangannya yang tadi memegangi pinggangnya kini telah bertengger di bahuku. Segera ku raih tangannya kemudian ku pelintir dengan pelan. Aku tak sanggup menganiayanya dengan kekuatan penuh.
"bersikap normal lah malam ini fan. Aku cukup stress menghadapi sikap gilamu" aku mengertakkan gigi untuk mengancamnya. Dia menunjukkan deretan giginya namun dengan kening berkerut menahan sakit.
"baiklah.. lepaskan fi! Ini sakit" mohonnya. Aku pun melepaskannya karna memang tidak tega melihatnya mengaduh kesakitan dari tadi.
"lagian, kau yang memulai. Aku hanya membalas" dia berujar sambil memutar-mutar pergelangan tangannya.
"aku tidak sengaja! Jan berfikiran yang aneh-aneh" aku melangkah meninggalkannya ke dalam kamar. Aku ingin tidur sekarang karna tidak mau kesiangan besok pagi. Aku berniat ke sekolah meski dokter masih menyarankanku untuk istirahat. Tapi aku merindukan sahabatku.
"aneh? Toh di amerika laki-laki berciuman dengan laki-laki itu biasa aja kok fi. Tak ada yang aneh" dia memasuki selimutku setelah sebelumnya menutup pintu balkon. Aku memutar arah tidurku agar memunggunginya.
"tapi itu aneh bagiku"
"tidak untukku"
"berhenti menggangguku sialan! Aku ingin tidur!" aku menendangnya yang menyalipkan tangannya ke pinggangku. Dia mengaduh kesakitan sambil tertawa. Aku menarik selimut sampai menutupi seluruh kepalaku
"matikan lampu, sialan!"
"ya.. ya.. ya.. hamba patuh pada tuanku" ku rasakan fandi turun dari kasurku untuk mematikan lampu. Kemudian kembali tidur ke ranjangku dengan menjadikanku sebagai bantal gulingnya.
~~
Aku menyuap sendokan terakhir nasi gorengku. Sejak datang pagi tadi sebenarnya perutku sudah mendemo minta diisi. Dan sekarang sudah jam istirahat kedua, aku baru mengisinya. Aku menghabiskan dua piring nasi goreng untuk membalas semua rasa laparku. Gita dan ryan menggeleng-gelengkan kepala mereka sambil melipat tangan dimeja.
"apa dia membiarkanmu kelaparan?" gita menyodorkan minumannya ketika aku menegak habis teh esku yang memang tinggal sedikit. Aku menyeruput habis minuman yang ditawarkannya.
"memasak air saja dia tidak bisa. Bagaimana menjagaku tetap kenyang?" aku mencibir mengingat fandi yang menghanguskan panci ketika masak air dua hari yang lalu.
"lalu bagaimana kau makan?" ryan menatapku penasaran.
"yahh... beli" aku memberikan senyuman lebarku kepada mereka yang memutar bola mata malas.
"hai alfii" aku memutar badanku untuk melihat suara yang memanggilku. Tama beserta anak buah barunya berdiri di belakangku.
"ah tama. Aku sangat merindukanmu" aku segera bangkit dari duduk lalu meninju rahangnya. Ia tersungkur ketanah. Anah buahnya mencoba membalasku namun dihadang oleh gita dan ryan.
"aku dengar kau masuk rumah sakit ya? Maaf tak sempat membezukmu" tama bangkit sambil menyeringai. Diusap bibirnya yang berdarah, lalu di jilatnya darah itu.
"yak!! Bajingan. Berani sekali kau!" gita yang tak bisa menahan emosinya menendang perut tama kuat. Cukuplah untuk membuat tama merasakan kesakitan. Tapi anehnya, dia masih tertawa sembari bangkit dari tersungkurnya. Aku heran, kenapa dia biasa saja? Padahal tendangan gita cukup kuat untuk seorang ahli taekwondo
"cihh!!! Kau punya bodyguard ternyata" tama mendecih sinis. Anak buahnya menyerang gita dan ryan. Namun dengan cepat di lumpuhkan oleh mereka. Tama benar-benar salah dalam memilih anak buah sekarang. Anak buahnya tidak sepadan dengan kami, tidak seperti yang menyerangku malam itu.
"Alfi awas!!~