"alfi!,,, alfi!,,, bisa melihat jari saya? Berapa jari saya?" aku menatap bingung kearah dokter yang sedang mengacungkan ibu jari serta telunjuknya itu. Maksudnya apa? Ingin menguji kewarasan otakku? Baiklah dokter, aku akan menjawabnya sesuai keinginanmu
"lima dok" aku menjawab pelan sembari menarik nafas . Dokter itu terkejut kemudian memeriksa monitor disamping kiriku lalu memeriksa denyut nadiku kemudian berakhir dengan melambai-lambaikan tangan di depan mataku. Dokter itu menarik nafas kemudian menghembuskan dengan terpaksa.
"maaf buk, saya telah memberi harapan palsu pada ibuk dan bapak. Tadi alfi benar-benar dalam keadaan normal. Tapi, mungkin karena pengaruh anesti yang belum hilang lensa matanya tidak merespon dengan baik" aku melihat bunda yang terduduk lemas di sofa, ayah mengusap-usap bahu bunda untuk menenangkan bunda. Ishh!! Dasar dokter menyebalkan. Dia membuat bundaku menangis? Tunggu pembalasanku. Ku torehkan kepala kesisi kanan, disana kulihat fandi yang memijit pelipisnya serta ryan yang memeluk gita. Oh tuhan, keadaan ini tak oerlu di dramatisir. Tapi aku tak sengaja membuatnya menjadi dramatis seperti ini. Ampuni aku hambamu yang tampan ini.
"kita tunggu sampai jam 5 sore nanti buk. Saya permisi" dokter itu keluar sambil menunduk. Aku memutar bola mata malas. Lihatlah mereka, mereka bereaksi seakan aku akan mati.
"fan!" aku memanggil fandi dengan pelan. Ini bukan untuk mendramatisir keadaan. Tapi memang ternggorokanku serak. Mungkin akibat telah lama ngk di beri air. Fandi yang mendengar panggilanku segera menoleh dan dengan terburu-buru duduk di kursi sebelah kananku.
"iya fi? Kau bisa melihat wajah tampanku? Kau butuh apa?" fandi menggenggam tanganku. Aku menggeleng lemah kemudian mengisyaratkan dia agar mendekat dengan jari tanganku yang digenggamnya. Dia pun mendekatkan telinganya kepadaku.
"mandilah kau sialan! Kau menodai mataku saat melihatmu" fandi melotot mendengar ucapan di sentilnya keningku sambil berkacak pinggang menatapku tajam. Bunda, ayah serta gita dan Ryan menghampiri ranjangku sambil memarahi fandi atas tindakannya.
"kau ingin membuatku mati cemas hah?" fandi membentakku. Aku sangat ingin tertawa keras, tapi ku tahan melihat tatapan mematikan makhluk-makhluk di dalam ruangan ini.
"maafkan aku" hanya cengiran yang bisa kutunjukkan sekarang. Mereka menghela nafas lega secara serentak kemudian kembali ke posisi mereka semula.
"kenapa kau menjawab seperti itu tadi?" fandi mengintidasiku dengan tatapan tajamnya. Oke, aku kalah sekarang. Aku tertawa pelan melihat dia mengacak rambutnya frustasi.
"kau kira aku anak bodoh? Sudah jelas jari tangan itu ada lima. Dan dokter itu malah menanyakan itu kepadaku" aku mencoba bangkit dari tidur. Fandi membantuku dan memberi bantal sebagai tumpuan punggungku. Perut kiriku masih terasanya nyeri. Sebenarnya kenapa? Toh yang aku ingat hanya kena tendang.
"Setidaknya kau jawab jumlah jari yang diacungkan" fandi menarik selimutku hingga perut kemudian menekan pelan perut kiriku. Arkhhhh... ini benar-benar sakit "itu hukuman karna telah membuat jantungku berhenti berdetak tadi"
"fan. Perutku benar-benar sakit. Ini kenapa?"
"kau di operasi. Tulang rusukmu benar-benar patah kali ini" aku terkejut mendengar jawaban fandi. Segera ku tarik keatas piyama yang sedang ku pakai. Sebuah perban menutupi perut kiriku. Aku usap pelan perban itu. Ini kedua kalinya aku mendapatkan operasi di lokasi yang sama. Dulu hanya operasi pemberian gips. Tapi sekarang, aku rasa tulangku diberi katrol penyambung. Karna fandi mengatakan ini benar-benar patah. Huffttt.. aku benci terlihat lemah seperti ini.
Suara pintu di ketuk mengalihkan perhatian kami semua. Aku menurunkan kembali bajuku, seorang laki-laki sebayaku memasuki ruanganku dengan takut-takut. Fandi langsung menghampirinya dan menariknya menuju ayahku. Gita mengambil buah yang dibawa laki-laki tersebut. Aku tidak mempedulikannya, toh aku tidak mengenalnya. Tapi wajahnya sedikit akrab dimataku. Dia berkali-Kali menunduk meminta maaf. Tapi ada satu katanya yang membuatku terkejut.
"aku tidak sengaja melakukannya, maafkan aku. Aku tidak tau kalau itu alfi" aku tersentak kaget. Aku sedikit mwngingat suaranya. Bukankah itu suara yang bersama tama tempo hari?.
"yak!! Kau!! Kesini!!" aku berteriak. Dia memutar badannya dengan pandangan menuduk. Aku berusaha bangkit dari dudukku untuk menghampirimya. Tapi naas, aku malah terpeleset dari tempat tidur.
Sepasang lengan menahan tubuhku agar tidak menyentuh lantai, aku melirik pemilik lengan ini. Dia yang juga tengah menatapku dari samping membuatku beradu pandangan dengannya dari jarak 20 cm saja. Aissshhh... jantungku kembali bermasalah.
"Da,, Da,, DARAH!!~
☆☆☆
Aku terkejut mendengar teriakan gita. Darah? Apa aku yang mengeluarkan darah? Dengan tergesa-gesa ku angkat piyama yang ku kenakan. Tapi, luka bekas operasi itu tidak mengeluarkan darah sedikitpun. Semua mata menatap gita dengan tajam. Dia yang ditatap masih dengan ekspresi cemasnya menunjuk ke tangan kananku. Aku segera melirik tangan kananku yang terpasang infus. Ternyata jarum yang menancap melukai kulitku ketika aku membuat pergerakan mendadak tadi. Semua orang di ruangan ini menghela nafas dan menatap malas ke arah gita.
"itu berdarah.. iiii... panggil dokter!!" ryan membekap mulut gita yang menurutku terlalu berisik itu. Fandi membantuku duduk di tepi ranjang sementara pria yang tadi ku panggil melangkah mendekat kepadaku. Bunda juga menghampiriku untuk memperbaiki jarum infus yang merusak kulitku tadi.
"Kau!! Bisa kau jelaskan kepadaku?" dia yang ku tanyai menatap orangtuaku. Ayahku mengangguk lemah untuk memberi instruksi. Dia menghela nafas pelan seakan itu merupakan jawaban hidup dan matinya.
"Maafkan aku fi. Maafkan aku" ah! Aku baru ingat dia pria yang dipanggil wan oleh tama malam itu. Ya benar, suaranya sama. Aku meneliti wajahnya, mencoba mengingat-ingat siapa pria ini. Karna wajahnya tak asing bagiku. Tapi tak terlalu akrab untuk bisa cepat kuingat.
"aku tak butuh permintaan maafmu!. Cukup kau jelaskan mengapa kau kesini"
"Aku,, aku dibayar tama untuk melumpuhkanmu" aku terkejut bukan main. Bagaimana bisa? Apa untungnya tama melukaiku? Dan, apa untungnya dia melakukan hal menjijikkan itu?. Aku tak habis fikir dengannya. Dia yang memberi jawaban tadi terus menunduk, ku lihat gita menghampirinya kemudian menendang kakinya. Semua yang ada di ruangan ini membelalakkan mata melihat aksinya.
"yak git! Jangan frontal!" Ryan menarik gita menjauh dari pria itu. Gita memberontak, masih ingin memberi pria ini pelajaran. Aku menatap gita sambil menggeleng untuk memberi isyarat agar gita berhenti.
"Bagaimana kau mau melakukan itu ziwan?. Kau tau betul alfi cidera di bagian itu! Kau malah membuat cideranya semakin fatal bangsat!" gita mendecih setelah mengungkapkan argumennya.
"disana sangat gelap git! Aku tidak tau kalau itu alfi!" aku bingung mendengar mereka beradu argumen dengan sengit seperti ini. Mereka berbicara seperti kawan lama yang memperebutkan sesuatu.
"halah!! Alasan kau saja wan! Bilang saja kau masih iri pada alfi atas kalahnya kau untuk menjadi utusan perguruan dua tahun yang lalu!"
"Git! Aku tidak serendah itu!" Pria yang dipanggil ziwan itu akhirnya mendongak dan membentak gita dengan keras. Dia menatap gita dengan pandangan putus asa, bisa kulihat matanya yang memerah menunjukkan bahwa dia mengungkapkan kejujuran.
Ah~ aku ingat sekarang. Dia yang menjadi lawanku ketika pemilihan atlet di perguruan. Kenapa aku tidak mengingatnya dengan cepat?.
"siapa tau wan. Bak kata orang, musuh dalam selimut lebih berbahaya. Kau juga menyaksikan dia mendapat cidera waktu itu. Bisa saja kau telah merencanakannya, karna kau memang tau betul dengan kelemahan alfi!" Gita tak mau kalah. Berkali-kali ryan menyuruhnya berhenti, tapi perkataan ryan hanya dianggap angin lalu belaka. Dia mendesis sambil memandang sinis ziwan yang mengacak rambutnya frustasi. Fandi pun ikut-ikutan memandang sinis ziwan layaknya seekor singa melihan hyna sedang kesusahan.
"sudahlah! Aku yang ingin bertanya git. Bukan kau! Ryan tolong kendalikan gita" Gita melongo mendengar ucapanku. Mungkin sekarang dia mengartikan aku membela pria ini, pria yang membuatku hampir kehilangan nyawa dan dengan seenaknya datang meminta maaf. Padahal sebenarnya tidak, ingin rasanya aku menghajar pria ini. Tapi, apakah dengan menghajarnya dendamku pada tama hilang? Aku rasa aku hanya akan membuang-buang tenaga saja.
"terserah kau fi!. Tapi jangan salahkan aku jika dia besok menjadi penghuni salah satu ranjang disini" gita keluar dari ruanganku disusul ryan setelah mengatakan itu. Aku menarik nafas agar meredakan sesak dan emosi didadaku melihat pria yang didepanku ini.
"kenapa kau melakukan itu? Jelaskan padaku!" aku bertanya dengan nada yang kubuat biasa saja meski aku sedang menahan emosi. Kulihat dia tersendak mendengar pertanyaanku, tak lama kemudian dia kembali menunduk melihat lantai.
"aku bukan dari keluarga kaya fi!. Aku menerima semua tawaran tama meski itu menghajar orang karna bayarannya besar. Dengan bayaran itu aku bisa memberi makan adik dan ibuku. Itu biasa ku lakukan. Tapi, malam itu aku benar-benar tidak tau kalau itu kau!. Aku baru menyadari ketika kau memberontak dan aku melihat dengan jelas wajahmu meski cahaya lampu sangat redup. Maafkan aku fi" tuturnya. Aku meremas tanganku menahan emosi. Ku torehkan kepala ke arah jendela untuk meredakan sesak di dadaku. Kemudian kembali melihatnya yang masih menunduk.
"Dan kau masih menyandraku ketika aku berteriak frustasi malam itu?" aku menghardiknya. Dia terkejut kemudian menatapku frustasi.
"aku melepaskanmu fi!" ujarnya sambil menatap mataku.
"Bagaimana aku mempercayaimu? Jelas-jelas kau yang memegangiku malam itu!" aku mengacak rambutku untuk mengalihkan kekesalanku.
"Caritakanlah padanya wan. Seperti kau menceritakannya pada paman. Sepertinya, kalian harus meluruskannya pada alfi. Paman permisi" ayahku membawa bundaku keluar ruangan setelah mengatakan itu. Aku menatap tajam ziwan yang mengangguk kemudian menunduk hormat kepada ayahku.
"Dia juga yang menolongmu fi" kini fandi berujar setelah kebungkamannya dari beberapa saat yang lalu. Aku mengernyitkan dahi kemudian menatap ziwan meminta penjelasan.
"Ketika aku menyadari kalau itu kau, aku langsung melepaskan cengkramanku. Lalu dia datang menghajar tama dan yang lain. Tapi perkelahian itu tidak seimbang . Aku memutuskan membantunya meski bayaran untuk makan kami sekeluarga menjadi taruhan" ujarnya. Aku menatap fandi meminta pendapat apakah aku harus mempercayainya atau tidak.
"itu benar fi. Dia juga yang membantumu memakaikan celanamu lagi" aku mengernyitkan dahi, lagi. Tapi, suara yang memanggilku saat itu bukan suara ziwan.
"lalu siapa 'dia'-nya yang satu lagi?" aku benar-benar penasaran sekarang. Ku lihat ziwan yang menatap fandi. Aku pun mengikuti arah pandangan ziwan. Pria yang kami pandang Cuma mengangkat bahu kemudian berbisik ditelingaku.
"Dia itu,,, makhluk yang terlanjur tampan~