Chereads / TIRTA NIRWANA / Chapter 8 - 7 | APAKAH SANG PENYELAMAT TELAH TURUN?

Chapter 8 - 7 | APAKAH SANG PENYELAMAT TELAH TURUN?

"Kau sudah tahu jalan mana untuk sampai ke Kampar, saudagar?" Ziam kini sedang berdiri di samping saudagar.

"Sudah tahu, Ziam."

Laki-laki bersongkok putih itu tergelak. "Jadi tidak perlu saya beri tahu. Saya tahu kau lebih berpengalaman dalam perjalanan, saudagar."

Mereka berdua tergelak.

Aku sekarang bersama Xavier, pemuda yang aku selamatkan dari serangan naga meskipun sebelah kakinya tidak bisa diselamatkan lantaran dimakan oleh naga. Dia lebih banyak bercerita mengenai kehidupannya sebelum naga-naga itu menyerang desa. Tentang pekerjaannya sebagai orang yang menanam padi dan beternak kuda. Karena kuda lumayan banyak peminatnya dan terus bertambah kebutuhannya.

"Para Penguasa sedang membutuhkan banyak kuda. Kuda yang besar, bagus, daya stamina dan daya tahan yang bagus. Nilai lebih jika kuda yang diberi memiliki bentuk yang bagus, berwarna cokelat gelap atau hitam."

`Apa yang mereka lakukan dengan kuda-kuda itu?`

"Entahlah. Aku tidak tahu dan tidak peduli. Aku hanya peduli pada Kepeng. Satu ekor kuda bisa dihargai 100 Kepeng. Kalau kudanya bagus bisa sampai 500 Kepeng. Tapi sekarang itu tidak ada artinya lagi. Kepeng-kepeng itu tidak ada sisa. Hangus dimakan api. Aku sendiri hanya memiliki kuda ini." Xavier mengelus kuda yang berwarna cokelat gelap tinggal satu itu. Besar kudanya sama dengan kudaku dan saudagar, tinggi sama dengan tinggiku, berbadan besar, otot-otot di pangkal kakinya menonjol dengan jelas.

"Eh!" Pemuda itu melihatku dengan tatapan penuh keterkejutan. "Sejak kapan aku bisa mengerti apa yang ingin kau ucapkan dari tanganmu itu, Pendekar?" Tubuhnya berguncang karena tergelak dengan amat keras.

`Entahlah. Aku tidak ahli dalam hal ini. Aku hanya belajar untuk bisa berbahasa seperti orang lainnya.`

"Aku tidak mengerti bagaimana bisa ini terjadi. Entahlah." Dia masih tergelak seperti tadi.

`Apa yang akan kau lakukan setelah ini?`

"Aku berusaha kembali menjadi petani dan peternak kuda. Kaki ini tidak menjadi halangan untukku untuk melanjutkan hidup." Tiba-tiba Xavier terdiam. Pandangannya jauh menerawang ke depan. "Aku juga harus menenangkan ibunya Maria. Bagaimanapun juga, gadis itu mati karena kesalahanku. Harusnya aku berprasangka baik kepadamu, Pendekar. Bukannya memperkeruh keadaan. Naga-naga sudah menyerang, tapi aku, ah sudahlah."

Kepalanya tentunduk dalam. Kedua tangannya memeluk lututnya yang tinggal satu. Apakah dia sampai menangis mengingat apa yang terjadi tengah malam tadi atau tidak. Suara isakannya sangat jelas terdengar di antara orang-orang yang sedang membongkar tumpukan-tumpukan kayu itu.

Tidak ada lagi rumah yang tersisa dari serangan naga semalam. Bahkan pohon-pohon di sekitar desa juga ikut hangus. Beruntung apinya tidak menjalar ke pohon-pohon yang berada di atas bukit. Juga angin tidak berembus dengan kencang semalam, sehingga kebakaran tidak meluas. Beberapa tenda sudah berdiri tegak di samping rumah-rumah yang telah jadi abu. Beberapa ibu-ibu mulai memasak makanan dari bahan-bahan yang dibawa oleh pasukan Panglima Sutar. Meskipun dalam keadaan masih murung, mereka melakukan kegiatan memasak dengan cepat dan tangkas.

Seorang perempuan berusia kepala empat menyemblih ayam terakhir. Terhitung ada dua puluh ekor ayam yang disembelihnya. Ayam-ayam yang sudah disemblih, langsung direbus pada wajan airnya sudah mendidih. Selagi menunggu ayam-ayam itu siap untuk dicabut bulu-bulunya, ibu-ibu lainnya mempersiapkan bumbu masak. Cabe, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, cengkeh, kayu manis, pala, daun salam, semua bahan-bahan itu diambil dari karung-karung yang dibawa oleh Panglima Sutar. Bahan-bahan itu diolah sesuai kadarnya. Bawang merah, bawang putih, dan cabai digiling hingga halus dalam satu tempat setelah dibuang kulitnya dan dicuci. Bumbu-bumbu tadi dimasukkan ke kuali, ditumis. Aku tidak tahu masakan apa yang akan mereka buat, tapi dari aromanya terhidu sangat harum. Bahkan ketika tutup wajan ayam-ayam rebusan itu dibuka, aromanya menguar begitu pekat. Harumnya membuat lapar. Dari banyaknya masakan yang dibuat ibu-ibu itu, bisa dipastikan makanan itu untuk semua penduduk desa. Mungkin untuk makan malamnya nanti akan dibuat lagi.

Aku sangat lapar hanya dengan menghidu aroma masakannya.

"Aku sangat menyesal atas kejadian itu. Maria mati. Batu mejannya tidak ada. Bagaimana kuburannya bisa ada? Jasadnya sudah tentu sudah lumat dimakan naga yang sudah menghilang." Xavier kini menatapku setelah lama dia menekur. Matanya sembab, pandangannya kosong, entah apa yang dilhatnya. Apakah dia sedang melihatku atau melihat ke belakangku jauh di sana.

`Semua sudah berlalu. Kau tidak akan bisa mengembalikan waktu untuk menebus kesalahanmu sendiri.`

"Itu benar, Pendekar. Tapi aku tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan ibunya Maria. Dia sangat kehilangan daripada aku. Dia sangat sedih daripada aku. Maria adalah anak satu-satunya. Keberlangsungan hidup keluarga itu bergantung kepada Maria. Ayahnya tidak tahu dimana rimbanya dan siapa sosoknya. Tidak ada yang tahu bagaimana batang hidung Ayahnya Maria atau istri dari ibunya Maria.

"Bukan, perempuan itu tidak mendapatkan keajaiban. Sama sekali. Bukannya aku tidak terima jika keajaiban ada pada keluarga itu, malah aku sangat bersyukur jika ada keajaiban sedikit saja untuk keluarga itu. Orang-orang di desa sudah tahu dan sudah jadi rahasia umum, jika ibunya Maria menjadi gundik dari Raja Marco. Entah apa sebabnya, ibunya Maria dikeluarkan dari tempat Para Penguasa itu, tempat yang sangat diidam-idamkan orang. Saking inginnya orang tinggal di tempat itu, menjadi gundik raja sangat diperbolehkan. Bahkan dari cerita-cerita orang yang tinggal di sana, ada pemuda tampan yang menjadi gundik raja. Aku tidak tahu pasti. Tapi ibunya Maria sudah menjadi banyak perbincangan bagi warga desa. Ditambah lagi perempuan itu kembali ke desa saat bunting tujuh bulan. Perut besarnya seperti ingin meledak.

"Betapa menyedihkannya kehidupan keluarga itu. Terlebih ketika Maria lahir. Tidak seperti anak-anak baru lahir yang disambut bahagia oleh semua orang, tidak ada sambutan selamat untuk Maria ataupun ibunya yang sudah hampir mati kelelahan setelah melahirkan. Bahkan ada yang berkata jika Maria akan membawa sengsara di desa ini. Atas kejadian datangnya naga-naga semalam, aku tidak tahu bagaimana ke depannya. Terlebih Maria juga ikut mati dalam kejadian semalam. Apakah semua menganggap ini bagian dari kesialan dari keluarga Maria atau keberuntungan bagi mereka mengingat bagi mereka Maria adalah hal yang membawa kesialan di desa ini.

"Pikiran mereka terlalu rumit untuk orang desa yang pekerjaan hanya bertani dan beternak. Entah darimana kejelasan datangnya kesengsaraan itu. Mereka juga bukan pemuka agama, juga bukan orang-orang yang menetapakan benar atau salah. Termasuk Zaim. Dia adalah ornag paling busuk. Sekarang bisa bermanis mulut dengan orang lain, seperti saudagar. Sehabis kalian pergi laki-laki itu akan menunjukkan sifat aslinya."

Xavier berkata dengan berapi-api. Kemarahan yang ada di dalam dirinya baru diungkapkannya sekarang. Sepertinya dia tidak tahu kepada siapa lagi mesti berbicara demikian.

`Kau tidak mempercayai siapapun di desa ini?`

"Tidak ada selain Maria. Tapi aku tidak pernah bercerita pada Maria mengenai pandangan orang-orang terhadapnya ataupun keluarganya. Sangat tidak punya perasaan jika aku mesti bercerita panjang lebar kepada Maria. Dialah satu-satunya orang yang bisa aku ajak bertukar pikiran di desa ini. Kedua orang tuaku sudah meninggal ketika mereka berdua dibawa oleh Panglima dan kembali dengan kabar kematian. Aku tinggal bersama paman dari keluarga ibu. Meneruskan pekerjaannya yang sudah aku sebut tadi dan berusaha hidup di dalam keadaan seperti ini."

"Tenang saja. Kami baik-baik saja sekarang atau seterusnya. Walaupun desa kami baru saja lenyap, kami akan baik-baik saja. Saudagar tidak perlu memberitahu pada Para Penguasa. Saya sebagai Ziam mampu membenahi semua ini."

Xavier dan aku langsung melihat ke arah saudagar dan Ziam yang sedang berbincang. Suara Ziam itu terdengar keras dari percakapan mereka yang sedari tadi suaranya kecil. Hal yang disengaja dan berusaha memberi tahu kepada siapapun, kepada masyarakatnya, Panglima Sutar dan anak buahnya termasuk saudagar dan aku jika desa ini baik-baik saja.

"Kau bisa menilainya sendiri, Pendekar. Demi Maria yang dimakan naga, apa yang aku sebutkan tadi adalah kejujuran yang tiada tandingnya. Dan apa yang dikatakan oleh Ziam itu adalah dusta terbesar yang pernah aku dengar."

Aku terdiam. Tidak tahu mesti bagaimana lagi menanggapinya. Raut wajah Xavier mengeras. Tatapannya penuh dengan amarah.

"Maafkan aku yang sudah berbincang dengan kau, Pendekar. Kau tidak perlu memikirkan apa yang aku katakan tadi. Aku hanya tidak tahu bagaimana melepaskan pikiran-pikiran ini."

`Aku paham. Dan aku tidak akan memikirkannya. Aku janji itu.`

"Kau juga tidak perlu menanggapi apa yang aku katakan, Pendekar."

Tidak ada lagi raut wajah penuh amarah itu, pandangannya kosong ke depan. Ziam itu sibuk memanggil masyarakatnya untuk berhenti sejenak mengumpulkan barang-barang yang bisa diseleamtkan dari tumpukan kayu arang. Menyuruhnya untuk makan. Rombongan ibu-ibu yang memasak itu memberi tanda ke semua orang yang melihatnya untuk berkumpul makan. Ziam itu berjalan mendekatiku bersama saudagar.

"Kita bertemu lagi di tempat makan, Pendekar." Xavier berdiri, untuk kemudian berjalan dibantu dengan tongkatnya.

"Sebelum pergi, kalian mesti menerima jamuan makan dari kami. Meskipun tidak banyak dan tidak banyak ragam masakan, tapi terimalah saudagar dan Pendekar. Tanda terima kasih kami telah ditolong oleh kalian berdua." Ziam itu tersenyum sambil kedua matanya tertutup. Untuk kemudian laki-laki itu mendorong saudagar dan aku pelan. Mengarahakannya ke kerumunan warganya dan pasukan Panglima Sutar yang sudah ada di sana.

Tikar panjang membentang di tanah lapang yang tidak ada tumpukan arang. Para lelaki dewasa sudah duduk di tempatnya masing-masing. Piring, gelas, dan alat makan lainnya sudah terhidang di depan masing-masing orang. Ibu-ibu yang memasak tadi, kini sibuk membagikan makanan. Meletakkannya di dalam mangkuk besar. Beberapa ibu-ibu lainnya menuangkan air ke cawan masing-masing orang. Ibu-ibu itu telaten meskipun beberapa saat sebelumnya penuh ketakutan mengingat serangan naga di tengah malam.

Pasukan Panglima Sutar juga nampak duduk di dekat para lelaki. Panglima itu duduk di tengah-tengah pasukannya dengan wajah yang masih masam. Mereka menjaga Panglimanya supaya tidak mencari keributan di desa yang siap diserang anag ini. Bukannya meringkankan, malah menambah beban para warga nantinya.

Aku duduk di samping Xavier dan saudagar. Pemuda itu terus memperhatikan Ziam yang duduk di seberangnya. Dia tidak banyak bicara seperti tadi. Pandangannya masih terpaku pada laki-laki yang memakai songkok putih itu.

Ketika ibu-ibu itu sudah selesai menyiapkan makanan dan duduk di seberang para lelaki, Ziam memanjakan pujia-pujian kepada apa yang disembahnya. Menatap langit sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti. Bahkan laki-laki itu berdiri sebentar, lalu kembali duduk dengan wajah yang berseri. Seperti orang yang baru saja mendapatkan kebahagiaan.

"Sang Pencipta memberkati kita. Mari kita mulai makan."

Piring-piring diangkat dengan hati-hati, kemudian menunggu orang untuk mengambil makanan, lalu menyantapnya. Suasana hening, tidak ada percakapan satupun terjadi. Baik dari warga ataupun dari pasukan Panglima Sutar. Xavier yang duduk di sampingku makan dalam diam. Kedua matanya tidak lepas dari Ziam.

Ketika semua makanan tandas dari piring-piring, Ziam berdiri. Laki-laki itu menatap aku dan saudagar. Tangan kanannya mengarah kepada kami berdua.

"Kita sudah didatangi oleh pahlawan. Ini adalah pertanda dari Sang Pencipta. Sang Penyelamat telah turun. Pendekar ini yang akan menuntun kita kepada jalan yang benar. Melawan keburukan yang datang silih berganti. Menggantikan kemalangan menjadi keuntungan yang berlimpah. Kebajikan akan menang melawan kejahata apapun. Salam sembah sujud untuk Sang Penyelamat."

Ziam itu perlahan-lahan turun. Membukungkuk. Bersimpuh. Untuk kemudian bersujud menghadap ke arahku dan saudagar. Perilakunya itu diikuti oleh semua warganya, lelaki yang duduk di dekat Ziam, ibu-ibu yang memasak, anak-anak, dan termasuk Xavier. Panglima Sutar dan pasukannya menatap heran ke arah kami. Aku balas dengan wajah kebingungan. Tidak tahu apa maksud dari apa yang mereka lakukan. Mereka bersujud dalam waktu yang cukup lama.

Untuk beberapa saat aku tersadar dengan apa yang dibincangkan oleh majikanku dengan saudagar kemarin. Tentang ramalan kehadiran naga dan Sang Penyelamat. Aku tidak merasa seperti seorang pahlawan, apalagi ini dikait-kaitkan dengan ramalan yang entah berantah keasliaannya. Aku hanyalah seorang manusia yang bisa yang ingin mencari tahu kebenaran tentang diri sendiri.

Setelah cukup lama bersujud, Ziam itu berdiri dan juga diikuti oleh warganya. Dia menengadah ke langit sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Tirta Nirwana akan turun tidak lama lagi."