'Apa yang terjadi antara mereka?' Aku bertanya setelah saudagar cukup lama berdiam diri untuk tidak melanjutkan ceritanya.
Saudagar menatap riak air sungai di depannya. Sesekali dia mengambil batu, untuk kemudian melemparkannya ke permukaan sungai. Batu itu melompat. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Memasuki lompatan ketujuh, batu itu tenggelam ke dasar sungai. Dia memutar tubuhnya untuk bisa melihatku yang duduk di belakangnya.
"Menurut kau, apa yang akan dilakukan oleh Mangkuto?"
Saudagar balas bertanya, tidak memberikan jawaban yang sesuai aku minta. Aku menatap punggungnya lebar yang ditutupi jubah cokelat. Dia masih memandang air sungai yang begitu jernih. Sama persis seperti yang diceritakannya perihal sungai di belakang rumah Mangkuto.
Jika aku menjadi pemuda itu mungkin saja aku akan menolak tawaran laki-laki berbaju hitam itu. Itu adalah urusan keluarga mereka. Hubungan aku dengannya hanya sekadar sebagai pembeli kuda dan penjual kuda. Tidak lebih dari itu. Mengingat Mangkuto bisa lebih dekat dengannya karena terdapat gambaran sosok ayahnya pada laki-laki itu, seharusnya itu tidak bisa menjadi landasan yang tepat untuk dia menerima tawaran yang sangat sakral.
Menikahi perempuan yang tidak dikenalnya. Dan itu juga bukan anak kandung dari pelanggannya.
Aku tidak ingin menjadi Mangkuto. Hidup sepertinya sangat membosankan. Hidup dengan teratur dan sudah terjadwal dalam satu hari harus berbuat apa. Menyiapkan kuda-kuda dari kandangnya. Memberinya pakan, minum, dan lainnya. Sibuk mengurusi binatang peliharaan padahal diri sendiri belum sempat mandi apalagi sarapan.
Hidup seperti pemuda dalam ceritanya saudagar tidak pernah terlintas dalam benakku. Aku sudah lelah untuk hidup seperti itu. Menjadi budak orang lain. Bukan atas keinginan sendiri untuk melakukan apa pun.
'Aku akan menolak permintaan itu. Hanya bisa membantu untuk mendengarnya bercerita. Bukan untuk menikahinya.'
Saudagar tetap diam dalam posisi duduknya. Bahkan dia tidak menoleh ke belakang untuk melihat raut wajahnya setelah aku menjawab pertanyaannya.
"Kau tahu, Mangkuto sangat menyukai hidupnya seperti itu. Mengurusi kuda-kudanya sejak pagi hingga malam. Menjadi penjual kuda sekaligus merawatnya. Dia menganggap itu adalah ladang pencariannya. Tidak ada yang lain. Tidak ada tanah yang bisa dijadikan ladang yang benar-benar harfiah. Orang tuanya tidak meninggalkan sepetak tanah pun untuknya ketika meninggal. Tidak ada sanak saudara yang menjadi tempat berlindungnya. Dia hanya dirawat oleh tetangg-tetangganya ketika kecil dan tetap bermukim di rumah kayunya itu."
Saudagar kembali diam. Mengambil batu yang lebih pipih dari sebelumnya. Melempar ke permukaan sungai. Kali ini batu itu melompat delapan kali. Dia memutar badan setelah batu itu tenggelam. Menyuruhku menurunkan bahan makanan dari punggung kuda.
"Kita bisa lupakan cerita itu sejenak. Kau tidak akan bisa mengerti kata-kataku kalau belum makan. Kita sudah lama beristirahat di sini dan sangat malang sekali kita tidak makan di sini. Airnya begitu jernih."
Dia mengeluarkan satu bingkisan yang dibungkus kain berlapis-lapis. Ketika lapis kain terakhir dibuka, tampak satu daging ayam utuh. Saudagar juga mengeluarkan beberapa bumbu rempah-rempah. Mengeluarkan periuk dan menyuruhku untuk mengambil ranting-ranting pohon yang berserakan.
Saudagar mulai menghidupkan api dari kayu-kayu yang aku cari. Pemantik api yang digunakannya terbuat dari batu. Dikeluarkannya dari dalam baju cokelatnya. Menggeseknya dengan kayu, tampak bunga api kecil dari sana. Untuk kemudian entah bagaimana caranya api itu hidup.
"Kita akan makan siang di sini. Kau bisa memasak?"
Aku menggeleng ketika saudagar menatapku untuk menunggu jawaban.
"Tidak apa. Kau bisa melihat bagaimana cara memasak. Kau akan terbiasa dan menjadi pandai memasak."
Tangan laki-laki itu dengan gesit mengurusi ayam utuh yang sudah dicuci. Masih tampak tetes airnya di beberapa bagian ayam, sepertinya dicuci ketika aku mencari kayu bakar. Melumuri ayam itu dengan bumbu rempah-rempah yang sudah digiling halus. Warna ayamnya yang berwarna putih itu berubah menjadi warna kuning kemerahan. Beberapa daun bawang yang sudah dipotong kecil-kecil menghiasi lumuran ayam itu.
Saudagar mempersiapkan setangkai kayu yang panjang dan lurus. Kayu itu dicucinya untuk kemudian ditusuknya pada ayamnya. Pada api yang sudah melalap ranting kayu tadi dan tinggal bara api yang masih membara, diletakkan ayam yang sudah ditusuk kayu itu di atas bara api. Hawa panasnya perlahan membuat ayam itu berwarna menjadi kehitaman.
"Aku sama seperti kau. Menolak tawaran laki-laki itu yang hanya sebatas penjual dan pembeli. Kita tidak tahu bagaimana sebenarnya keadaan keluarganya. Meskipun dia berkata seolah-olah keluaraganya adalah yang terbaik di desanya. Dan semua warga desa adalah musuhnya. Tidak ada yang tahu sampai melihatnya sendiri. Apakah yang diterangkannya itu adalah kebenaran atau kebohongan. Kita tidak akan tahu apakah mereka sebaik itu atau merekalah pelakunya terhadap semua warga desanya. Manusia manapun tidak ingin disalahkan. Tidak ingin salah di mata orang lain.
"Di salah satu pihak yang benar tentu ada pihak yang salah, dan manusia tidak. Kau ingin berdiri di sisi mana?"
'Aku tidak tahu. Benar atau salah bukan harga mutlak untuk menilai manusia.'
Saudagar tersenyum dengan amat lebar. "Pemikiranmu mengerikan."
'Entahlah. Menilai perbuatan orang atas benar atau salah itu sebenarnya sebuah kesalahan. Tuan tidak akan tahu atas dasar apa orang itu berbuat. Tidak ada yang tahu beban seperti apa yang ditanggungnya sehingga berbuat seperti yang diinginkannya.'
Aku berusaha menggerakkan kedua tanganku dengan pelan-pelan supaya saudagar itu mengerti tentang apa yang aku sampaikan.
"Aku tidak menyangka jika kau memiliki pemikiran seperti itu. Sangat jarang ada manusia yang seperti itu. Banyak orang yang aku temui hanya untuk memikirkan diri sendiri. Apakah mereka tidak menyakiti orang lain? Apakah mereka sudah menyenangkan orang lain? Tanpa peduli diri mereka sendiri tersiksa oleh hal itu. Kebahagiaan untuk dirinya itu tidak ada."
'Terlalu menyedihkan hidup seperti itu. Lebih baik aku hidup mengurus kuda seumur hidup daripada hidup seperti demikian. Menyakitkan.'
Saudagar memutar ayam itu. Bagian ayam yang terkena panas bara api sudah berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan bau harumnya begitu semerbak. Membuat perut kian lapar.
"Kita bertanggung jawab penuh atas kebahagiaan sendiri. Sayangnya itu tidak berlaku untuk Mangkuto."
Saudagar terdiam sejenak.
"Kau sudah tahu apa yang akan dipilih oleh pemuda itu?"
Aku mengangguk. Orang yang dalam cerita saudagar tadi sudah jelas-jelas akan menerima tawaran itu. Tawaran untuk menikahi keponakan laki-laki itu yang hanya sebatas pembeli kuda. Perempuan yang tidak pernah dia temui sebelumnya akan menjadi pendamping hidupnya. Perempuan yang akan tinggal seatap dengan Mangkuto. Perempuan yang tidak tahu bagaimana sifat aslinya. Perempuan yang tidak tahu asal usul keluarganya. Perempuan yang tidak tahu bagaimana kehidupannya dahulu.
Perempuan yang mengucapkan janji sehidup semati dan hanya bertemu pertama kali ketika pernikahan.
"Mangkuto menerima tawaran itu. Mendatangi keponakan itu. Dan kau tahu apa alasan terbesarnya?"
Aku menggeleng pelan.
"Dia melakukan itu karena iba."