'Jadi, Mangkuto benar-benar menikahi Zylia?'
Saudagar mengangguk sambil menegak minumnya. Ayam di atas piringnya telah tandas menyisakan tulang-tulang ayam. Jatah makananku belum habis. Terlalu terpaku dengan cerita dari saudagar. Ingin tahu bagaimana nasib Mangkuto ke depannya setelah menerima Zylia atas dasar iba. Dan kesedihan itu tidak layak menjadi landasan untuk menerima seseorang. Hanya akan menimbulkan kesedihan lain yang tak terkira. Kesedihan yang lebih besar dari sebelumnya. Kesedihan yang tidak akan ada ujungnya. Hanya kematian yang akan mengakhiri penderitaan yang penuh kesedihan itu.
"Aku tidak tahu bagaimana jalan pikir pemuda itu. Saat mengambil keputusannya untuk menikahi Zylia di depan kedua orang tuanya atau pun di depan Khaz, semua hal yang bisa digambarkan dalam cerita sangat tidak masuk akal. Terlalu memaksa supaya cerita bergulir. Dari orang-orang yang bercerita, pernah aku dengar ada riwayat ceritanya berbeda, Mangkuto tidak serta merta ingin menikahi Zylia, tapi ujung dari cerita itu sama saja. Mereka berdua akhirnya menikah dan Zylia melahirkan. Mereka mempunyai anak kembar. Laki-laki keduanya. Malah anak itu sangat mirip dengan Mangkuto. Baik dari rupa maupun tingkah lakunya tak ubah dengan pemuda peternak kuda itu. Baik hati, ramah, dan segala sifat baiknya ada pada kedua anak itu."
Aku kembali menghentikan makan lagi. Terdiam dengan penjelasan dari saudagar. Ceritanya menjadi aneh dan tidak masuk akal lagi.
'Bagaimana mungkin anak kembar mereka sangat mirip dengan Mangkuto?'
Aku mengeluarkan semua isi kepalaku yang saling berseteru dengan cerita saudagar.
"Aku tidak tahu. Cerita ini sudah seperti itu sejak aku mendengarnya pertama kali. Aku juga mencari sumber ceritanya di Kampar, tapi sia-sia. Tidak ada yang menjelaskan lebih lanjut kenapa hal itu bisa terjadi. Bagian paling jelasnya, bukan Mangkuto yang menghamili Zylia ketika dia belum menikah. Itu adalah perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab."
Aku terdiam. Kembali menatap piring di hadapanku yang sejak tadi diabaikan. Bagian dada dan sayap itu masih utuh. Aku hanya memakan sedikit makananku, cerita dari saudagar begitu menarik. Terlebih tentang apa yang sebenarnya yang ada di dalam pikirannya Mangkuto. Pemuda peternak kuda itu dengan ringan lidahnya mengatakan perihal yang akan membuat kehidupannya berubah untuk ke depannya.
Dada ayam aku belah menggunakan jari-jari tangan. Aroma rempah semerbak keluar. Menguar. Bercampur dengan bau-bau di sekiaran sungai. Dagingnya terasa lembut berada di mulut. Tidak terlalu berminyak ketika melewati kerongkongan. Dan rasa nikmat ayam itu hanya tertinggal di mulut, tidak ikut hingga masuk ke dalam perut.
Aku terus memakan bagianku sampai makananku benar-benar tandas. Menuangkan air dari kendi untuk kemudian meminumnya. Acara makanku sudah selesai. Mencuci piringku dan saudagar. Meletakkan peralatan makan kembali pada tempat yang ada di punggung kuda. Membereskan tempat memasak tadi. Memastikan api tidak ada hidup lagi baik arangnya ataupun abunya.
Aku melakukan semua itu dalam diam. Keheningan ini sangat aneh. Apakah karena aku pertama kali bertualang dengan orang lain, atau saudagar baru pertama kali ini melakukan perjalanan dengan orang yang tidak bisa berbicara? Atau karena baik saudagar maupun aku sama-sama belum terlalu kenal. Belum tahu perangai, tingkah laku, hingga kebiasaan satu sama lain. Aku tidak pandai dalam hal yang menyangkut dalam sebuah hubungan antarmanusia atau pun hubungan antar-antar lainnya.
Saudagar sudah diam sejak tadi. Mengakhiri ceritanya yang menurutku sangat menggantung. Apa hikmah dari ceritanya? Pilihan aneh yang dijalani Mangkuto karena tidak bisa berkata tidak? Sangat membuang-buang waktu jika saudagar hanya bercerita demikian. Mungkin maksud tujuan bercerita seperti itu untuk membunuh waktu kami yang daripada terbuang pecuma hanya untuk beristirahat lebih baik mendengar ceritanya. Dan alangkah lebih baiknya jika saudagar tidak memulai ceritanya jika harus mengakhirnya seperti ini.
Mangkuto akan menikahi Zylia yang sudah tidak perawan lagi dan memiliki anak laki-laki kembar.
'Apakah akhir ceritanya hanya berkakhir di situ, saudagar?'
Laki-laki berbaju cokelat itu menatapku. Dia menghentikan kegiatan bersiap-siapnya di atas kuda. Padangannya tampak jauh untuk melihat apa yang ada di belakangku. Lama dia memandang entah apa yang dilihatnya. Untuk kemudian dia menggeleng pelan.
"Ceritanya masih berlanjut."
Saudagar kembali kegiatan siap-siapnya. Ingin sekali berkata padanya untuk melanjutkan ceritanya itu. Apa yang akan terjadi selanjutnya benar-benar ingin tahu. Apa maksudnya dengan pilihan Mangkuto adalah hal yang sangat mengubah hidupnya.
Dan mengenai sumpahnya Mangkuto. Kenapa dia membawa-bawa nama Tirta Nirwana? Apakah cerita ini benar-benar terjadi atau hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Apakah Tirta Nirwana itu bukan hanya takhayul semata? Apakah kebenaranya itu memang benar-benar ada?
Keaslian cerita ini layak dipertanyakan.
"Kau siap-siap. Kita akan berangkat sebentar lagi. Cuaca sekarang sangat bagus untuk bepergian. Terang dengan awan-awan yang begitu banyak. Kita akan sampai Kampar sebelum matahari lebih condong ke barat."
Aku berdiri di depannya yang sudah berada di punggung kudanya. Menggerak tangan.
'Kapan kau akan bercerita lanjutanna, saudagar?'
Dia memandangku dengan begitu serius. Untuk kemudian dia tergelak. Teramat keras. Mengalahkan suara kecipak air sungai.
"Aku tidak kau begitu bersemangat mengenai cerita itu, Pendekar. Bukankah orang-orang di desa tadi menyebut nama kau demikian? Lagipun kau tidak punya nama bukan?" Saudagar melemparkan pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan ceritanya Mangkuto.
Aku mengangguk cepat. Berharap dia bisa memberikan kepastian mengenai cerita itu dengan lekas.
"Aku akan melanjutkan cerita itu setiba di Kampar. Kau tidak ada berpikir untuk aku bercerita ketika kita sedang berkuda, Pendekar? Itu akan membuat perjalanan kita menjadi lama dan sangat terlambat juga untuk kita tiba di Kampar." Dia masih saja tergelak walaupun sedikit.
Aku mengangguk. Paham. Dan tentunya perihal yang membuat perjalanan kami bisa terlambat sangat tidak aku sukai. Cerita mengenai Mangkuto bisa dilanjutkan kapan saja. Aku menyiapkan kuda. Tunggangan itu tampak baik-baik saja setelah istrihat dan minum air sungai. Sudah tampak bertenaga untuk dibawa berjalan mendaki gunung kembali.
"Tenanglah, tidak akan lama kita sampai Kampar."
Jalan yang kami lalui tak ubahnya dengan jalan selepas kepergian kami dari desa yang diserang naga semalam. Dipenuhi oleh pepohonan yang rindang. Cahaya matahari jarang yang bisa menembus kumpulan daun-daun itu hingga ke dasar hutan. Akar-akar pohon melintang kian kemari. Kaki-kaki kuda yang jenjang itu melangkahi akar-akar pohon itu. Melewatinya tanpa ada kesulitan sedikit pun.
Setelah mendaki gunung, kami menuruni lereng yang keadaanya tidak terlalu curam. Tetapi membuat laju kuda kian cepat. Aku perlu berhati-hati supaya tungganganku tidak menabrak pohon atau tertungkai oleh akar-akar pohon. Bisa-bisa aku akan terguling bersama kuda dan mendapatkan luka-luka sebelum tiba di Kampar. Beruntungnya kuda yang aku tunggangi mudah untuk diatur. Aku hanya perlu mengarahkan tali yang terpaut di hidungnya. Untuk menuntunnya supaya tidak menabrak apa pun yang ada di depannya.
Kami terus berjalan ke arah timur setelah melewati gunung. Hamparan padang rumput kami lewati dengan cepat. Tidak ada lagi pohon-pohon yang menanungi kami dari cahaya matahari yang beitu terik di tengah hari ini. Hanya hamparan rumput hijau sepanjang mat kami memandang. Tidak ada pohon, sungai, dan bangunan.
Selepas dari hamparan rumput, matahari sudah beranjak dari atas kepala ke arah barat. Kami disambut oleh jembatan yang membentang sungai besar. Kata saudagar itu adalah sungai Kampar dan tidak lagi kami akan sampai tujuan. Lebar jembatan itu bisa untuk lewat sepuluh kuda dalam sekali jalan dan panjangnya sekitar seribu langkah kaki. Ketika sudah melewati jembatan itu, tampak tiang-tiang yang terbuat dari batu menjulang keluar dari sungai. Ada lima buah tiang yang menopang jembatan batu itu.
Tak lama setelah melewati jembatan itu, sudah mulai ramai orang-orang yang kami lihat. Ada yang berkuda ataupun jalan kaki. Gerbang masuk kota Kampar seolah mengucapkan selamat datang ketika kami lewat di bawah gapura batu itu. Meskipun sudah memasuki kota, saudagar terus memacu kudanya untuk terus berjalan lebih masuk ke dalam. Melewati beberapa simpang dan masuk keluar simpang, kami tiba di sebuah penginapan. Begitu kata saudagar setelah melihat bangunan tiga lantai dan tidak ada tanda jika bangunan ini adalah penginapan.
Ada pasar di dekat penginapan yang kami datangi. Orang-orang banyak berlalu lalang dan kegiatan jual beli. Ragam benda yang dijual dan dibeli oleh orang-orang. Kami meletakkan kuda pada tempat yang sudah tersedia di penginapan itu. Pintu berdering ketika saudagar buka. Seroang ibu-ibu menyambut kami di belakang meja panjangnya.
"Satu kamar dengan dua ranjang. Menginap tiga hari." Saudagar langsung memesan setelah perempuan itu mengatakan selamat datang dan ada yang bisa dibantu?
Aku membawa beberapa tas ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh perempuan tadi. Sepertinya dia yang bekerja semua. Menyambu tamu, menyiapkan kamar, mengantarkan tamu, dan hal lainnya. Ketika aku hendak masuk kamar, dua orang anak laki-laki berlari-lari di dekatku. Suara tapak kaki yang menyentuh lantai kayu terdengar nyaring. Suara gelak tawanya begitu ceria, membuat orang yang mendengarnya pun bisa tertawa tanpa sebab.
"Kita beristirahat barang beberapa hari di sini. Kau bebas melakukan apapun di sini. Aku akan mengurus niaga."
Aku mengangguk. Tidak masalah.
Dan aku menagih janji dari saudagar untuk melanjutkan ceritanya mengenai nasib Mangkuto dan keluarga barunya.