Chereads / TIRTA NIRWANA / Chapter 17 - 16 | HIKAYAT DI TANAH LAPANG 3

Chapter 17 - 16 | HIKAYAT DI TANAH LAPANG 3

Selama sembilan perut Zylia membesar tak terkira. Tubuhnya kian berisi terutama di bagian dadanya. Pinggulnya melebar, tampak jelas bagi Mangkuto meskipun istrinya itu mengenakan pakaian yang longgar-longgar. Ketika mereka berduaan di kamar, tangan laki-laki itu merengkuh badan Zylia dan terasa begitu jelas perbedaan badan perempuan yang dicintainya itu sejak dari pertama tidur dengannya hingga sekarang. Kata tabib yang sering datang ke rumahnya, Zylia akan melahirkan paling lambat satu pekan lagi.

Mangkuto begitu bersemangat setelah mengetahuinya langsung dari tabibnya. Dia bukan pemuda lagi, dia adalah laki-laki yang akan bertanggung jawab demi Zylia. Dia menjaga perempuan yang baru pertama kali ditemuinya dan langsung dinikahinya itu dengan segenap rasa kepenjagaan. Dia melakukannya semata-mata atas dasar mencintai. Mencintai yang hakikatnya tidak diketahui bagaimana dan tabu bagi sebagian orang yang berpikir menikah untuk meneruskan keturunan dan lepas tangan dengan hal lainnya seperti nafkah yang berupa Kepeng dan kembali ke rumah hanya untuk mengambil nafkah batin. Bagi laki-laki kebanyakan hal itu adalah lumrah. Rumah hanya untuk pergi berkembang biak dengan istri sahnya dan keluar rumah lagi dengan mencari penyamun-penyamun baru atau lubang-lubang yang tidak memiliki tuan tetap.

Selama berada di rumahnya Mangkuto, sepasang manusia itu begitu dekat, lengket, dan harmonis. Kendati Zylia berusaha menerima dirinya di depan Mangkuto dan mengikuti segala yang ada di rumah laki-laki yang menikahinya itu. Mulai dari mengurus rumah, membantu Mangkuto merawat kuda-kuda, mencatat niaga kuda dengan orang-orang terlebih dengan Para Penguasa yang begitu banyak menginginkan kuda dari ternak suaminya.

Setelah perutnya perlahan mulai membesar, perlahan juga pekerjaan untuk membantu Mangkuto mulai berkurang dan laki-laki itu kian membantu istrinya yang mulai kesusahan untuk melakukan apapun. Meskipun di dalam perut perempuan itu diyakininya bukanlah anak yang berasal dari Mangkuto, dia tetap melakukan layaknya mengurus anak kandungnya.

Orang tua Zylia akan datang dalam tiga hari lagi. Ada beberapa hal yang mesti dilakukannya sebelum menyambut cucu mereka lahir. Khaz juga ikut bersama rombongan orang tuaya Zylia. Tidak ada kabar yang lebih lanjut yang diberikan oleh ibunya Zylia dalam surat yang dikirimkan ke rumah Mangkuto tempo hari.

Sayangnya semua itu berubah dengan cepat. Kabar yang mendadak disampaikan kepada orang tuanya Zylia memalui pengantar kabar yang lewat di depan rumahnya. Perempuan itu sudah kesusahan untuk menahan anaknya di dalam perut. Tabib datang dengan tergopoh-gopoh ketika Mangkuto menjemputnya, dia sendiri sedang menyiangi ladang yang akan ditanami tumbuh-tumbuhan yang akan dijualnya di balai ketika sudah panen. Laki-laki paruh baya itu merapikan songkoknya, di Desa Tanah Lapang tidak ada perempuan yang menjadi tabib dan hanya laki-laki yang layak menjadi tabib. Lagipun laki-laki sudah sering mengobati Mangkuto ketika sedang sakit.

Perempuan itu kian kesakitan dengan rasa sakitnya yang tidak bisa dia katakan seperti apa. Wajahnya meringis menahan air mata. Cengkraman tangannya begitu kuat ketika dia menggenggam tangan Mangkuto. Bulir-bulir peluh mengalir di wajah, leher, tangan, hingga kaki.

"Tenanglah dahulu Adinda, semuanya akan berlalu. Sakit ini akan tergantikan setelah kamu melahirkan anak-anak ini."

Zylia memandang Mangkuto dengan tatapan sendu. Dia berusaha tersenyum di tengah rasa sakit yang mesti dia terima dan tidak bisa dielakkannya. Tapi semua itu langsung berubah ketika Zylia berteriak kian kesakitan. Tabib sudah berada di depan Zylia. Melebarkan kaki perempuan itu. Tangannya merasakan pintu tempat keluarnya bayi. Tetangga-tetangga Mangkuto berusaha melihat apa yang terjadi di kamar dengan mengintip di balik jendela yang tertutup. Dengan pandangan yang tidak bagus lantaran berusaha melihat apa yang diterangi oleh lentera.

Perempuan itu berusaha mengatur segala yang ada di badannya dan berteriak dengan teramat keras. Ketika fajar menyingsing sosok bayi keluar dari peranakan Zylia. Digendong oleh tabib untuk kemudian menangis dengan tak kalah kerasnya. Ketika orang-orang yang ada di dalam kamar itu bersuka cita, Zylia berusaha mengeluarkan apa yang masih tertinggal di dalam perutnya.

Tabib itu tak menyangka jika ada satu orang anak lagi yang keluar dari perut Zylia.

***

Semua orang beitu bahagia dengan kehadiran keluarga baru Mangkuto dan Zylia. Bukan hanya satu orang, melainkan dua sekaligus. Terlebih ibunya Zylia tidak menyangka akan mendapatkan dua cucu sekaligus. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kesenangannya meskipun setelah melakukan perjalanan jauh yang mendadak karena mendapatkan kabar jika anka perempuannya telah melahirkan.

Rumah kayu itu kian ramai dengan kedatangan dua manusia baru. Kecil yang menggemaskan. Kecil yang membuat semua orang bahagia karenanya. Kendati yang bisa mereka lakukan hanya menangis dan merengek, tidak ada yang kesal akan hal itu. Semua orang teramat senang. Terlebih jarang-jarang jika ada orang yang melahirkan anak kembar. Bisa disebut juga ini adalah anugerah.

"Ini adalah rezeki yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa. Kita hanya bisa menerima, menjalaninya, dan jangan ditolak. Terlalu angkuh untuk manusia jika menolak pemberian dari langit." Tabib berkata pada Mangkuto ketika mereka berdua tengah mempersiapkan kuda-kuda untuk digembala. Semenjak Zylia melahirkan, laki-laki itu butuh orang tambahan yang mampu mengerjakan pekerjaannya, walaupun Mangkuto ujung-ujugnya juga turun tangan. Setidaknya hal itu dapat meringankan apa yang mesti dikerjakannya.

Khaz datang setelah tiga hari keponakannya itu melahirkan. Dia datang dengan kereta kuda sembari membawa bingkisan besar yang diketahui isinya adalah peralatan mandi, pakaian, untuk cucu-cucunya. Baju hitam yang dikenakannya menambah kesan wibawanya itu.

"Aku begitu senang dengan keputusan yang tepat ini. Sudah selayaknya Zylia bersamamu, Mangkuto. Aku tenang dia baik-baik dan begitu bahagia." Senyum dari Khaz teramat lebar.

"Aku akan menjaganya, Pak. Tenang saja."

Namun, laki-laki tambun itu hanya satu hari berada di rumah Mangkuto. Ada hal yang mesti diurusnya terkait niaga baru. Katanya begitu.

Kebahagiaan mereka kian bertambah seiring kedua anaknya kian besar. Kali dan Kala, Mangkuto menamakan dua anak kembar itu demikian. Dua tahun berlalu, anak kembarnya itu sudah bisa berjalan meskipun ujung-ujungnya terjatuh, untuk kemudian tertawa. Wajah mereka berdua begitu mirip dengan Mangkuto. Baik matanya, hidung, bentuk wajah, hingga rambut. Seperti tiruan langsung dari Mangkuto. Terlebih antara Kali dan Kala sedikit susah dibedakan lantaran wajahnya mirip. Mangkuto membedakannya dari bentuk hidungnya. Kali dengan hidung mancung, dan Kala sedikit pesek.

Menjelang Kali dan Kala berusia empat tahun, mereka berdua sudah serng berlarian di sekitar rumah kayu. Zylia mesti mengawasinya sebelum dua anaknya itu pergi ke sungai belakang rumah. Mereka kian berlari kesana-kemari dan kuda-kuda Mangkuto sudah enggan berlari. Kemarin dua kuda sudah tidak mau bangkit lagi dan berujung kuda itu ditanam pada tanah. Sebelum kuda-kuda itu membawa penyakit yang serius terhadap kuda lainnya.

Bahkan kini Mangkuto dibantu oleh tabib sedang menyembelih kuda yang keadaannya sudah sekarat. Napasnya satu dua. Kembang kempis perutnya berkata demikian. Suara lenguhannya kian keras ketika pisau itu mulai mengiris leher kuda. Meskipun keempat kakinya sudah diikat tambang dengan erat, kuda itu memberontak. Beruntungnya tenanganya tidak terlalu kuat lagi mengingat kuda yang disembelihnya sudah terlanjur sakit. Darah menggenangi sekitaran kuda. Amis terhidu hingga menusuk kepala.

Setelah kuda itu tidak mengejang lagi, Mangkuto menguliti binatang ternaknya itu. Kemudian menyisihkan mana daging yang masih layak dimakan dan tidak. Isi perutnya yang banyak tinja dibawanya ke sungai yang mengalir di belakang rumahnya. Membuang kotoran-kotoran yang kuning-kuning.

"Ini bukanlah kehendak kita. Kita hanya bisa berharap penuh pada Sang Maha Kuasa. Dialah yang memberikan kita anugrah dan juga penderitaan. Tidak ada yang tiada makna dari semua kejadian ini," kata Mangkuto ketika dia datang ke dapur dengan membawa danging-daging kuda yang dia sembelih tadi.

Perempuan yang berdiri di balik tungku itu mengangguk dalam-dalam. Paham sekali atas apa yang dikatakan suaminya itu.

"Apakah aku harus bekerja supaya dapur bisa terisi lagi seperti sebelumnya?"

Mangkuto menggeleng. "Tidak. Kamu hanya perlu menjaga Kali dan Kala. Dia sangat butuh apapun darimu. Kalau kamu bekerja, siapa yang akan menjaga mereka? Kamu tahu aku tidak ingin dia dijaga oleh orang lain. Selagi kita masih mampu merawatnya, bukankah alangkah lebih baik kita sendiri yang menjaga mereka?"

Meskipun dua anaknya itu bukanlah darah daging Mangkuto, dia begitu perhatian pada anak kembar itu.

"Aku harap apa yang menimpa keluarga kita bukanlah kutukan dari Sang Maha Kuasa karena aku mempermainkan pernikahan. Bukankah seorang perempuan yang tidak lagi perawan tidak layak menikah? Hanya akan mendatangkan bala jika menikah?"

"Mulai sekarang, kamu jangan berkata hal itu di depanku. Kutukan? Bala? Kamu kira kita hidup hanya untuk terkutuk dan mendapatkan kesialan? Kamu layak bahagia, Zylia. Apa yang dikatakan orang-orang di kampungmu itu?"

Perempuan itu diam sejenka. Tangannya yang mengiris bawang terhenti. "Aku adalah kutukan. Aku tidak tahu dari mana mereka mendengar kabar jika aku hamil terlebih dahulu baru menikah. Entahlah." Diam-diam perempuan itu menyeka matanya yang sedikit berair. "Ah, maaf. Mataku hanya perih karena memotong bawang." Dia berkata seperti itu lantaran Mangkuto sudah melihatnya.

Laki-laki itu meletakkan daging-daging di atas meja. Mencuci tangan dari noda darah, untuk kemudian mendekat pada Zylia. Berdiri di belakangnya sembari memeluknya dengan erat. Sudah lima tahun mereka bersama. Masalah-masalah banyak datang walaupun ini masalah yang terbesar baru merek rasakan.

"Semua akan ada jalan keluarnya. Kita tidak selamanya berada di bawah. Kita juga mestinya bersyukur, setidaknya kita masih bisa hidup, makan, dan memiliki atap untuk bernaung. Jika kemalangan tak dapat dielakkan. Kita hanya bisa menerima dan terus melanjutkan hidup bagaimanapun caranya."

Perlahan Zylia terisak dengan pelan. Dia memegang lengan Mangkuto dengan erat. Tidak ingin kehilangan laki-laki itu. Hanya dia tempat bisa bergantung.

Tanpa mereka sadari, roda takdir berputar tak tentu arah.