Kuda-kuda Mangkuto kian banyak mati. Laki-laki itu tidak sempat untuk menyembelihnya satu per satu. Terlalu banyak. Terlalu memakan waktu. Dan kuda-kuda itu sudah banyak penyakitnya, kalaupun disembelih banyak hal yang dikerjakannya. Menguraikan daging yang layak dimakan dengan tidak layak dimakan. Membersihkannya. Dan hal lainnya.
Sepagi ini laki-laki itu tengah menggali tanah bersama tabib. Lubang yang besar dengan banyak tanah di sekitarnya. Ada lima ekor kuda yang mati serempak pada malam kemarin. Tak diyananya mesti dikubur dengan cepat sebelum kuda-kuda lainnya ikut terserang penyakit yang dia sendiri tidak tahu namanya.
"Ini adalah ujian. Dan ujian juga anugrah dari Sang Maha Kuasa. Kita tidak bisa menyangkal ataupun menolaknya. Jalani dan terus berusaha. Jalan keluar itu ada. Yakini itu." Tabib itu berhenti sejenak untuk mencangkul tanah. Napasnya terengah. "Ini melelahkan juga ya?"
Mangkuto tersenyum untuk kemudian tergelak dengan ramah. "Tabib bisa beristirahat sejenak. Sedikit lagi selesai. Tapi aku minta tolong untuk mengangkat kuda-kuda yang mati. Tenang saja bukan kita berdua yang bekerja. Aku sudah memanggil beberapa pemuda untuk menolong kita. Lebih cepat kuda-kuda itu dikubur lebih baik."
Tabib itu keluar dari lubang tanah yang dalam dengan tangga.
Mangkuto menatap awan putih yang berarak diterbangkan angin. Cahaya matahari menempanya. Tampak jelas tubuhnya yang dibalut pakaian hijau itu basah oleh peluh. Badannya yang berotot itu tercetak jelas. Pakaiannya melekat di badannya yang basah itu. Ini adalah salah satu jalan dalam hidupnya. Dia mesti melewatinya. Dia yakin semua ujian ini akan ada jalan keluar yang indah.
Itu hal yang diyakini oleh Mangkuto.
Sebelum matahari merangkak ke atas kepala, Mangkuto sudah selesai menggali tanah. Cukup untuk lima ekor kudanya yang mati. Tiga orang pemuda sudah menungguinya di depan kandang kuda. Bersama tabib, mereka membawa satu per satu binatang itu. Gerobak yang dibuat besar terdengar reyot mengingat kuda-kuda yang diangkut beratnya bukan main. Kuda-kuda yang dirawat Mangkuto begitu besar-besar sehingga banyak orang yang ingin membeli kuda dengannya. Meskipun jauh jarak yang mesti ditempuh oleh pembeli untuk bisa sampai ke tempatnya Mangkuto.
Kuda-kuda itu dibuang pada liang yang sudah dibuat. Setelah lima ekor kuda berada di lubang yang sama, tanah mulai menimbun binatang-binatang itu. Tiga orang pemuda, tabib, dan Mangkuto sendiri sehingga pekerajaan itu bisa usai dengan lekas. Saat matahari hampir berada di ubun-ubun mereka, tanah sudah mereka padatkan. Hari yang cerah dan sudah lama tidak ada orang yang datang membeli kuda padanya. Ada Para Penguasa yang ingin berniaga dengannya. Membeli tujuh ekor kuda yang besar-besar dan itu sudah disiapkan oleh Mangkuto. Prajurit dari mereka akan mengambilnya esok.
Ketika Mangkuto mengajak tiha pemuda dan tabib itu untuk makan siang lantaran sudah menolongnya, mereka disambut oleh Kali dan Kala yang sedang bermain di sekitaran rumah. Dua anak kembar itu berlarian ke sana kemari. Tertawa dengan teramat riang. Hingga Kali menabrak salah satu pemuda itu. Anak kecil mengaduh dan tersungkur.
"Lihatlah! Ini anak yang pembawa sial kata orang-orang?" Pemuda yang ditabrak Kali berbisik pada temannya.
Temannya itu mengangguk. "Ya, benar. Dia yang membawa penyebab masalah pada Bang Mangkuto. Perempuan itu adalah biang keladinya. Kalau seandainya dia tidak menikah dengan perempuan yang tak tahu juntrungannya itu, kuda-kudanya tidak akan banyak mati mendadak ini."
"Ini adalah hukuman dari Sang Maha Kuasa."
"Jika itu beanr, sungguh tak terduga. Nasib baik Bang Mangkuto telah dicabut karena menikah dengan bekas orang lain."
"Kesengsaraan akan melekat padanya."
"Katanya sampai tujuh turunan."
"Serius? Kau jangan bercanda dengan hukum Sang Maha Kuasa."
"Pemuka agama berkata demikian. Dia tidak bisa melarang lantaran ingin melihat Bang Mangkuto bahagia dalam hidupnya. Terlalu banyak kejadian-kejadian yang menyakitkan dirasakannya sedari kecil."
"Wajar saja. Dan hei, bukankah ini akan membuat desa kita juga ikutan kena imbasnya?"
"Entahlah. Aku tidak tahu."
"Banyak ibu-ibu yang berkata demikian. Sekarang saja kuda-kuda milik Bang Mangkuto yang mati. Kita tidak tahu kapan kejadian itu akan menimpa warga lainnya."
"Entahlah. Aku tidak peduli."
"Mungkin saja kita akan mati seperti kuda-kuda yang kita kubur tadi."
Mereka berdua terdiam ketika Mangkuto datang dari dalam untuk menyilakannya masuk. Kali sudah kembali berlari-larian bersama Kala.
"Kalian tidak seharusnya membicarakan hal itu di sini."
Dua pemuda itu terkejut. Tabib sudah berada di belakang mereka. Entah sejak berapa lama laki-laki paruh baya itu berada di sana. Wajah mereka berdua merah padam bercampur takut. Sampai-sampai tabib ini mengatakannya pada Mangkuto, mengingat dia begitu dekat dengan Mangkuto.
"Sekarang kita sedang bertamu ke rumah orang. Dan tidak selayaknya kalian membicarakan hal itu."
Mereka berdua mengangguk paham.
"Jadi tabib sudah mendengar berita-berita miring itu?" Salah satu pemuda bertanya.
"Selagi aku masih di desa ini, apa pun yang orang-orang ucapkan akan sampai di telingaku."
"Apakah hal itu benar-benar akibat Bang Mangkuto menikah dengan perempuan yang tidak perawan lagi?"
"Sudah dikatakan, jangan membicarakan hal itu lagi di sini. Kalau kalian masih ingin membahas hal itu, jangan di rumah ini."
"Kalian kenapa?"
Mereka bertiga begitu terkejut dengan kedatangan Mangkuto.
"Aku sependapat dengan apa yang dikatakan tabib. Kalian boleh pergi sekarang dari sini."
Mata kedua pemuda itu membesar. Berusaha memohon dan minta maaf atas apa yang diucapkannya. Meskipun Mangkuto melontarkan kata maafnya, mereka berdua tetap diusir dari rumah kayu itu.
"Maafkan aku yang tidak mampu membantu banyak, Mangkuto." Tabib berkata dengan lemah.
Mangkuto menggeleng pelan. "Tidak apa. Kamu tidak perlu merasa bersalah akan hal itu. Aku juga tidak bisa mengelakkan apa yang dikatakan mereka. Tetapi aku tidak akan menerima perkataan mereka? Apa, hukuman dari Sang Maha Kuasa? Kesialan? Kesengsaraan? Tidak ada hubungannya dengan aku menikahi Zylia. Tidak ada yang salah akan hal itu. Dan mereka hanya menyimpulkan dari apa yang terjadi. Bukankah setiap orang akan berada di titik teratas maupun terbawah? Mungkin sekarang aku berada di titik terendah. Menjalani hidup dengan ujian yang diberikan. Tidak ada yang salah dengan hal itu.
"Bukankah setiap orang memiliki masalahnya masing-masing? Dan aku sekarang sedang berada dalam masalah. Dan itu juga tidak ada sangkut pautnya dengan Zylia. Lagipun aku tidak tahu dari mana mereka mengetahui jika Zylia tidaklah perawan lagi ketika aku menikahinya?"
Tabib terdiam. Mereka berdua masih berada di depan pintu ruang tamu. Awan putih berarak di atas langit biru cerah. Terik matahari yang sudah berada di atas kepala terasa menyengat. Hawa panas terasa dimana-mana, ditambah hati Mangkuto kian panas.
"Mari kita masuk tabib. Zylia sudah menunggu kita di meja makan."
Belum usai mereka masuk rumah, terdengar suara orang berjalan dengan amat tergesa-gesa. Memanggil-manggil nama Mangkuto dengan keras. Langkah laki-laki itu terhenti. Membalikkan badannya. Mencari sumber suara yang meneriakkan namanya dengan kencang itu.
Seorang perempuan berbadan bongsor tampak berjalan cepat ke arah rumahnya. Di tangan kanannya memegang parang yang berkilauan ditempa cahaya matahari. Mangkuto menatap ibu-ibu itu kebingungan dan tertegun ketika meilhat apa yang dibawanya. Tabib langsung memasang badan di depan Mangkuto tatkala perempuan itu sudah di dekatnya.
"Apa yang kau bawa ke desa ini?" tanya perempuan itu. Parangnya mengacung ke arah Mangkuto.
"Maksudnya apa?" Laki-laki itu bertanya dengan sopan. Dia tidak tahu apa yang dikatakan oleh perempuan itu.
"Bala apa yang kau bawa kemari sampai-sampai desa ini banyak mengalami kesialan sebab ulahmu?"
"Tunggu. Kau bisa menjelaskannya dengan pelan-pelan Biah." Tabib berusaha menenangkan perempuan yang masih mengacungkan parang.
Tubuh perempuan itu bergetar. Isak tangisnya terdengar pelan dan menyakitkan. Perlahan tubuh bongsornya itu jatuh. Terduduk di atas tanah disirami cahaya matahari yang begitu terik. Dia berusaha menenangkan dirinya dari isak tangis yang kian keras. Dalam rauangannya dia berkata:
"Anakku telah mati. Dan itu semua akibat ulahmu menikahi perempuan itu."