Chereads / TIRTA NIRWANA / Chapter 14 - 13 | PETAKA

Chapter 14 - 13 | PETAKA

Zylia memasuki ruang tamu diiringi oleh seorang perempuan yang tak kalah cantiknya dengan gadis yang disebut oleh Khaz. Lebih tinggi daripada Zylia. Ada yang membedakan mereka berdua. Terlihat jelas dari wajahnya, meskipun sama-sama cantik. Rambut hitam legamnya bergelombang. Berayun mengikuti langkahnya yang begitu anggun dan mempesona.

Wajah yang dibingkai oleh rambut panjang itu tak kalah menarik. Dagunya lancip sehingga membuat wajahnya lonjong. Pipinya berisi dan tambah terlihat ketika jika perempuan itu tersenyum. Matanya besar dengan bulu mata yang lentik. Alis tebal yang bteretngger di atasnya menambah kesan misterius tapi entah kenapa sekaligus mendatangkan rasa penasaran yang begitu tinggi. Dia memperkenalkan dirinya sebagai dari ibunya Zylia.

Tapi dilihat dari mana pun, tidak ada kemiripan rupa sama sekali antara anak dengan ibunya itu.

Mangkuto beralih memperhatikan Jen, ayahnya. Ada gambaran sedikit dari Zylia yang dibawa dari ayahnya, tapi itu tidak kentara. Dan sangat terlalu jauh untuk bisa dibilang mirip. Bahkan Zylia dengan kedua orang tuanya itu tidak ada kemiripannya sama sekali. Ketika pemuda itu tidak sengaja pandangannya beralih pada orang yang membawanya kemari, dia terkejut. Menahan napas barang sesaat dengan sesak memikirkan kenapa Zylia begitu mirip dengan Khaz. Bahkan hingga auranya itu seperti diturunkan oleh Khaz kepada Zylia.

"Silakan diminum, Mangkuto." Ibunya Zylia meletakkan gelas the di hadapan pemuda itu.

Pikirannya terputus. Dia tidak sadar dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di rumah ini lantaran sibuk dengan pikirannya sendiri. Mangkuto tidak mengetahui jika perempuan itu sudah beranjak dari ruang tamu untuk pergi ke dapur dan kemudian datang kembali membawa minuman lalu kembali ke dapur entah untuk mengambil apa. Khaz dan Jen sejak kedatangannya sibuk membahas banyak perihal. Mulai dari permasalahan Zylia dengan orang yang tidak jelas sehingga bisa membuat keadaan seperti ini. Masalah sengketa tanah dengan beberapa tetangga. Masalah tempat gembala ternak, air untuk perkebunan, dan puncaknya Khaz meninggikan suaranya.

"Kenapa tidak kau urus sendiri masalah-masalah kau itu? Bukankah sudah aku katakan untuk sebisa mungkin memanfaatkan keadaan yang di sana, bukan memperkeruh. Nampak! Kau sendiri yang kesusahan jadinya. Tidak bisakah kau untuk menggunakan isi kepalamu itu? Kali ini aku menolong kau hanya karena Zylia. Keponakanku itu. Sebagai paman, tidak mungkin tidak aku tolong dia. Dan kau sebagai orang tuanya berhentilah untuk menambah masalah, terlebih untukku. Hidupmu di luar sana tidak ada tanggung jawabku di sana untuk membantumu."

"Tapi bukankah abang yang akan membantu adiknya jika dalam kesusahan?"

Khaz memukul meja dengan keras. Zylia sedikit terkejut. Mangkuto hanya bisa diam menatap dinding di depannya yang kosong tanpa ada pajangan apa pun. Dia tidak sanggup untuk melihat wajah Zylia untuk lebih lanjut lagi ataupun untuk mengikuti pembicaraan dua orang laki-laki itu. Meskipun dalam niatannya tidak ada untuk menguping sama sekali pembicaraan itu, tetapi mereka berdua berbicara dengan suara yang begitu lantang. Dia juga tidak bisa untuk berpura-pura untuk tidak mendengar.

Apanya yang tidak akan menarik perhatian tetangganya? Toh mereka bertengkar dengan suara yang lantang, tentunya akan membuat ornag-orang yang tinggal di dekat rumahnya Khaz penasaran atas apa yang terjadi di rumah itu. Mangkuto menghela napas memikirkan itu. Dia tidak habis pikir bagaimana dengan yang dingiinkan oleh Khaz sementara itu dia sendiri yang memancing ornag untuk datang orang lain ke rumahnya karena sekarang baik Khaz maupun Jen sudah menggenggam pedang masing-masing.

Zylia sudah berdiri dari kursinya. Berdiri di antara dua orang yang wajahnya merah padam. Menggenggam kedua tangan yang sedang mengacungkan pedang kepada satu sama lain. Dia menunduk dalam-dalam. Punggungnya naik turun entah apa yang ditahannya. Rambut panjangnya tergerai jatuh menutupi seluruh wajahnya, tidak bisa mengetahui apakah wajah itu sedang marah atau apa.

"Sudah. Aku tidak menginginkan seperti ini." Gadis itu berkata lemah. Untuk kemudian tubuhnya jatuh ke lantai. Melepaskan genggaman tangannya pada kedua orang laki-laki dewasa itu. Zylia terisak dengan suara yang mengiris hati. Air mata yang tidak keluar membuatnya semakin sesak.

"Maafkan aku Paman, atas semua masalah ini. Aku tidak tahu lagi akan kemana mengadu jika Paman tidak ada. Menggantukan badan ini pada seutas tambang lebih baik daripada menanggung malu. Kalau Paman tidak berkenan mambantuku, sudilah jika kami pergi dari sini sekarang juga. Terima kasih untuk malam kemarin dan sekarang. Kita pergi sekarang, Ayahnda." Gadis itu perlahan mengamit tangan laki-laki yang dipanggil ayah. Berdiri dengan perlahan juga. Dia masih menahan amarahnya terhadap orang yang dipanggilnya paman.

Seorang perempuan datang dari arah dapur, membawa bekas yang berisi kue-kue kering. Menatap dengan nanar apa yang ada di depannya. Anak perempuannya sudah berdiri di belakang suaminya, membelakangi Khaz, iparnya. Dia kian terkejut ketika melihat mereka berdua sama-sama sedang menggenggam pedang. Perempuan itu menghela napas dengan begitu berat.

Bekas berisi kue kering diletakkannya di atas meja dengan ketergesaannya. Berlari kecil ke arah putrinya, untuk kemudian memeluknya. Mendekapnya dengan begitu erat. Tangis mereka berdua pecah. Isakan yang tidak bisa keluar tadi kini terdengar memilukan dengan air mata yang bersimbah. Tangan kanan perempuan itu bergeser dari punggung anaknya ke tangan suaminya yang memegang pedang. Menuntunnya untuk melepaskan senjata itu.

Bilah perak itu berkelontang. Jatuh di atas lantai. Memecah hening dan mengiringi isak tangis untuk menjadi-jadi.

Mangkuto tidak bisa memalingkan pandangannya lagi. Tidak bisa terus untuk berpura-pura melihat dinding kayu. Tidak bisa untuk berpura-pura tidak mendengar apa yang terjadi. Pemuda itu memandang apa yang terjadi di depannya dengan diam. Terpaku pada kursi lengannya dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak pernahe kejadian ini selama hidupnya. Bahkan ketika kedua orang tunya masih hidup sekalipun, pertengkaran mengenai masalah keluarga di rumah itu tidak pernah terjadi.

Kehidupannya begitu tentram, damai dari yang namanya masalah keluarga ini. Dia tertegun ketika pedang itu terangkat. Merinding ketika Zylia datang menghampiri kedua laki-laki itu. Dan tidak bisa menahan air matanya ketika Zylia dan ibunya berpelukan. Mangkuto paham apa yang dirasakan oleh Zylia. Kesendirian ketika masalah datang dari berbagai penjuru. Kebingungan untuk mencari tempat yang bisa bernaung ketika rumah tidak bisa jadi tempat pulang lagi. Kepasrahannya kepada takdir untuk menjalani hidup untuk ke depannya.

"Terima kasih Khaz atas budi baikmu selama ini. Aku tidak akan mengungkit apa pun lagi darimu. Mengenai Zylia, anakku atau sebagai keponakanmu, biarlah aku dan Bang Jen yang akan mengurusnya. Bagaimana ke depannya itu akan menjadi tanggung jawab kami. Terima kasih." Perempuan itu menatap laki-laki yang membawa Mangkuto kemari dengan wajah sembap.

Pintu depan dibuka. Udara dingin langsung menusuk masuk hingga tulang. Pekatnya gelap malam langsung terlihat ketika pintu itu benar-benar terbuka. Zylia masih terisak, walaupun tidak keras, tetapi bisa mengundang orang lain untuk ingin tahu apa yang terjadi di sini.

"Tunggu!"

Ketiga orang yang ingin keluar rumah menghentikan langkahnya. Memutar badan untuk mencari tahu pemilik suara lantang dan berwibawa.

"Aku datang kemari atas permintaan Tuan Khaz. Katanya dia-"

"Aku tahu. Sebelumnya terima kasih kamu sudah datang jauh-jauh dari negeri lain untuk menemui putri kami dan telibat masalah ini. Ketika kami keluar dari rumah ini, kamu tidak perlu terlibat lagi dengan masalah ini. Sudah cukup. Aku sangat minta maaf sudah mengganggu waktumu untuk datang kemari. Kamu tidak perlu merasa terbebani oleh masalah ini. Kamu punya kehidupanmu, dan sudah selayaknya untuk kamu kejar. Bukan untuk mengurus masalah orang."

Mangkuto terkejut atas apa yang dikatakan oleh ibunya Zylia. Dia tidak menyangka akan seperti ini dan juga dirinya tidak tahu entah bagaimana bisa menyukai Zylia dalam pertemuannya pertama kali ini walaupun dia bukanlah seorang perawan. Tubuhnya yang liat dengan daging itu bergegas keluar sebelum ketiga orang itu meninggalkan rumah. Pemuda itu mendahului mereka, kemudian berdiri di luar. Menghadang mereka tepat di depan jalan mereka.

Sebelum perempuan itu berkata lagi, Mangkuto sudah berkata yang membuat perempuan itu terdiam.

"Kini aku sudah di luar rumah. Kita bisa bicarakan sebagai orang yang mengetahui masalah ini. Sebagai teman dari Zylia. Tidak ada sangkut pautnya dengan Tuah Khaz sekarang."

"Kalaupun sekarang kamu sebagai teman Zylia, apa yang bisa kamu lakukan untuk anakku?"

"Aku akan menikahinya. Aku yang akan bertanggung jawab demi seorang manusia yang ada di dalam perutnya."

Perempuan itu menelan ludah. Tidak percaya terhadap apa yang didengarnya. Zylia menatap Mangkuto dengan tatapan tidak percaya dan ayahnya sama sekali tidak menduga atas apa yang dilakukan oleh pemuda ini. Khaz menyimpul senyum dari dalam rumah.

"Apa yang bisa aku pegang dari ucapanmu, anak muda?"

"Demi Tirta Nirwana, aku berikrar akan menikahinya Zylia. Lahir batinnya aku terima. Apapun kekurangannya akan aku terima dan melengkapinya. Tidak ada dusta dalam ucapanku."